Jumat, 25 Maret 2011

Jalan Penyelesaian Ahmadiyah (Bersambung 2)

Doktrin Khatam an-Nabiyyin ini mengantarkan pada satu titik simpul, bahwa tidak ada Nabi setelah Muhammad (saw) wafat. Jikapun ada seorang tokoh agama yang berpengaruh setelahnya, tokoh itu tak pernah bisa disebut sebagai Nabi. Dalam teologi Syiah, tokoh tersebut dikenal sebagai Imam, sehingga Syiah mengenal teologi tentang imam dua belas (itsna asyariyah). Kelompok Sunni menyebutnya dengan beragam istilah: mujaddid, wali, ulama, kyai, ajengan dan lain sebagainya. Intinya, para pembaharu yang oleh Nabi Muhammad dijanjikan akan hadir pada setiap satu abad itu, tetap tidak bisa menyebut dirinya, atau disebut oleh pengikutnya, sebagai Nabi. Di pesantren Asshogiri Bogor, misalnya, Abdul Qadir Zaelani diagungkan dengan gelar yang sangat tinggi: Sulthan al-Awliya (Raja para wali) tetapi tetap tak disebut Nabi. Sebab, para pemuka agama tak lebih dari pewaris Nabi.
Meski telah berkali-kali Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) menjelaskan bahwa mereka mengucapkan kalimat syahadat yang sama, namun masyarakat muslim Indonesia tak percaya dengan penjelasan tersebut. Hal ini disebabkan dua hal. Hal Pertama: teologi Ahmadiyah memilah tiga istilah Nabi. Yaitu “naby mustaqil” (nabi independen), “naby ghayr mustaqil” (nabi tidak independen) dan naby al-dzil (nabi bayangan). Naby mustaqil adalah mereka yang kepadanya diturunkan kitab suci, seperti Nabi Musa, Isa, dan Muhammad (saw). Naby ghayr mustaqil adalah para Nabi yang kepada mereka tidak diberikan kitab suci dan bertugas melanjutkan risalah sebelumnya, seperti Nabi Harun yang melanjutkan tugas Musa. Sedangkan Nabi al-dzil adalah para pembaharu dan tokoh agama yang bertugas “memberi kabar baik dan buruk”.
Para pengikut Ahmadiyah Qadiyaniah memandang MGA sebagai naby ghayr mustaqill, sementara pengikut Ahmadiyah Lahore menganggapnya sebagai naby al-dzill. Kedua-duanya tetap menggunakan istilah Nabi. Istilah yang tidak dapat diterima oleh kalangan Islam karena doktrin khatam an-Nabiyyin yang sudah final tersebut. Hal inilah yang menyebabkan mereka dinyatakan non-muslim di Pakistan.
Hal Kedua: sebagai salah satu bukti penyebutan istilah Nabi yang terus dilakukan, stasiun TV Ahmadiyah (MTA channel), dengan tegas dan jelas, setiap kali nama MGA disebut, selalu dibarengi dengan doa, “Alaihi Salam”. Bagi kalangan Islam (Sunni), doa tersebut hanya diperuntukkan bagi para nabi sebelum Nabi Muhammad saw seperti Isa, Musa, Ismail, dan yang lainnya. Untuk para sahabat Nabi Muhammad saja, teologi Sunni hanya menyebutkan doa, “radiallahu anhu” (Semoga Allah meridhoinya). Artinya, bagi umat Islam, pelafalan kaum Ahmadiyah dengan do’a “allaihi salam” menunjukkan bahwa MGA lebih mulia dari sahabat Nabi, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab dan lain-lain. Alasan-alasan teologis seperti inilah yang mengusik ketenangan masyarakat Pakistan, empat puluh tahun lalu, dan mereka menyelesaikannya dengan menyatakan Ahmadiyah non-muslim, baik kelompok Ahmadiyah Qadiani atau Lahore. Ketegangan yang sama kini tengah merebak di Indonesia.
Kedua: Secara hukum. Sejak Surat Keputusan Bersama (SKB) dikeluarkan pada bulan Juni tahun 2008 menyusul kasus kerusuhan Monas, penyerangan Ahmadiyah di Pandeglang adalah yang terparah dan paling mengerikan di awal tahun 2011 ini. Menurut saya, muara dari persoalan ini adalah ketidaktegasan aturan dalam SKB itu. Jika di Pakistan, Ahmadiyah dengan tegas disebut non-muslim dalam konstitusi mereka, kita hanya mengaturnya dengan SKB yang menggunakan bahasa bersayap seperti “Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad S.a.w;” (Poin 2 SKB).

Jalan Penyelesaian Ahmadiyah (Tamat)

Ada beberapa kelemahan dalam SKB tersebut. Pertama, mengutip Prof. Yusril Ihza Mahendra, SKB sesungguhnya sudah tidak lagi dikenal dalam hirarki hukum kita sejak diundangkannya Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No. 10 tahun 2004 tersebut menyatakan, antara lain, hirarki undang-undang terdiri atas Undang-Undang Dasar, Undang Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. (Pasal 7). Dengan kata lain, bentuk keputusan hukum yang tepat bukanlah sebuah Surat Keputusan Bersama (SKB), tetapi Peraturan Presiden (bila yang hendak dilarang Ahmadiyah sebagai organisasi) atau Peraturan Menteri (jika yang hendak dilarang orang/perorang.)
Kedua; SKB telah “melemahkan” ketentuan Pasal 2 UU No. 1/PNPS/1965. Kata “diberi perintah dan peringatan keras” sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Nomor 1/PNPS/1965 tersebut telah dilunakkan menjadi “memberi peringatan dan memerintahkan”. Namun demikian, walaupun isi SKB itu tidak memuaskan, SKB itu adalah kebijakan (beleid) Pemerintah, yang oleh yurisprudensi Mahkamah Agung, dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak dapat diadili.
Kini, bola penyelesaian hukum tentang Ahmadiyah (dan gerakan penodaan agama lainnya) ada di tangan presiden. Presiden tidak perlu lagi “prihatin” atau membentuk satuan tugas (satgas) dalam menyelesaikannya. Presiden tinggal menerbitkan Peraturan Presiden untuk membubarkan organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Sebab, faktanya, kegiatan Ahmadiyah di Indonesia bukan sekedar kegiatan individu para penganutnya, tetapi suatu kegiatan yang terorganisasikan melalui JAI. Organisasi ini terdaftar di Kementerian Kehakiman RI sebagai sebuah vereneging atau perkumpulan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 13 Maret 1953. Berdasarkan ketentuan Pasal (2) UU Nomor 1/PNPS/1965, apabila kegiatan kegiatan penodaan ajaran agama itu dilakukan oleh organisasi, maka Presiden dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakannya sebagai “organisasi/aliran terlarang”, setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung.
Dalam hal setelah Peraturan Presiden yang membubarkan Ahmadiyah diterbitkan, dan pihak Ahmadiyah tetap melakukan kegiatannya, ketentuan Pasal 156a KUH Pidana berlaku. Yaitu, “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap sesuatu agama yang dianut di Indonesia”. Sehingga, alur hukum penyelesaian tentang Ahmadiyah menjadi jelas tanpa perlu berputar-putar. (Selesai) Oleh: Inayatullah Hasyim
Wallahua’lam bishowab.

Jalan Penyelesaian Ahmadiyah

Oleh: Inayatullah Hasyim
Sewaktu masih kuliah di Islamabad, Pakistan, saya sempat beberapa kali ke kota Lahore, ibukota provinsi Punjab. Jarak Islamabad – Lahore sekitar 300 kilometer. Dan, meski Islamabad adalah ibukota negara, sesungguhnya kota budaya Pakistan adalah Lahore. Selain memiliki banyak universitas, Lahore merupakan saksi dari lanskap peradaban yang amat panjang. Di kota itu terdapat Masjid Badhsahi, tempat di mana Allama Iqbal, penyair besar Pakistan, acap mementaskan pembacaan puisi-puisinya yang mengagumkan. Di kota ini pula terdapat pusat jamaah Ahmadiyah (selain Qadian di India) sehingga dikenal jamaah Ahmadiyah Lahore.
Ribut-ribut soal Ahmadiyah di tanah air saat ini, mengingatkan saya saat ke Lahore sekian tahun lalu. Waktu itu, mobil bis yang saya tumpangi mogok di tengah jalan. Oleh sopir, kami dipindah ke mobil wagon yang hanya mampu memuat sebagian penumpang. Karena hari sudah mulai gelap, dan – mungkin – karena saya dianggap foreigner, oleh sopir saya didahulukan bersama sejumlah orang tua. Rupanya, di antara penumpang wagon ada seorang pengikut Ahmadiyah. Saya tahu itu, saat kami sudah sampai di kota Lahore, dan saya mencari masjid untuk shalat Maghrib dan Isya yang digabungkan.
Demi menyadari saya sedang celingukan, Bapak tersebut menawarkan shalat di tempatnya. Namun Bapak itu terlihat ragu. Ia buru-buru menambahkan, “Tapi ini bukan masjid. Kami tidak berhak menyebutnya demikian. Ini adalah Bait al-Hikmah.” Saya pun menolak dengan halus. Saya teringat bahwa Umar bin Khattab menolak shalat di synagogue Yahudi saat ia menguasai Palestina. Tak ada larangan, memang. Tetapi Umar khawatir jika ia melakukannya akan menjadi preseden bagi yang lainnya. Dalam konstitusi Pakistan, Ahmadiyah memang tidak dimasukkan dalam kelompok Islam. Setelah terjadi ketegangan antara Ahmadiyah dan umat Islam Pakistan, Parlemen Pakistan melakukan amandemen ke-dua tahun 1974 atas konstitusinya. Isinya, antara lain, menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah suatu aliran di luar Islam dan menjadi bagian dari agama minoritas (Pasal 260 ayat 3b). Sejak itu, ketegangan tentang Ahmadiyah tidak pernah lagi terdengar di Pakistan. Mereka hidup berdampingan sebagai aliran (agama) baru non-Islam.
Konsekuensinya, secara legal-kultural, mereka tidak berhak menggunakan idiom yang lazim digunakan umat Islam. Seperti masjid, adzan, shalat, haji dan seterusnya. Sehingga, rumah ibadahnya pun disebut sebagai Bait al-Hikmah. Konsekuensi politik pun demikian. Karena tergolong minoritas, Ahmadiyah hanya berhak memperebutkan kursi sepuluh persen di parlemen bersama-sama agama minoritas lain di negeri itu. Bagi para penganut demokrasi liberal, keputusan itu terlihat diskriminatif. Tetapi patut diingat, Pakistan memang bukan sebuah negara demokrasi liberal an-sich. Negeri itu dibangun atas dasar agama (Islam) sehingga pemahaman demokrasi dibatasi dalam dikotomi Islam dan agama minoritas. Harap diingat, pemisahan mereka dari India di tahun 1947 memang didasarkan pada pemisahan agama Hindu (India) dan Islam (Pakistan).
Karena itu, dalam menyikapi kasus Ahmadiyah di Indonesia, setidaknya ada dua hal yang mesti dicermati. Pertama secara teologis. Seperti diketahui, Ahmadiyah mengklaim Mirza Ghulam Ahmad (selanjutnya disebut, MGA) adalah seorang Nabi. Belakangan, karena desakan berbagai pihak, Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) menghapus kata Nabi dan mempertahankan gelar, “pembawa kabar baik dan buruk (mubasyirat)” kepadanya.
Dalam pandangan Islam baik Sunni ataupun Syiah, doktrin kenabian telah mencapai kata sepakat. Yaitu bahwa Nabi Muhammad (saw) adalah “Khatam an-Nabiyyin”. Doktrin ini berbasis pada ayat dalam al-Qur’an, “adalah penutup segala Nabi.” Sedemikian pentingnya doktrin tersebut, sehingga siapapun yang memiliki pandangan menyimpang wajib dinyatakan telah keluar dari Islam. Dalam sejarah Islam, Musailamah adalah tokoh pertama yang mengklaim sebagai Nabi setelah kematian Rasulallah saw. Musailamah kemudian dibunuh oleh Wahsyi, seorang budak hitam yang sebelum masuk Islam membunuh Hamzah, paman Nabi saw. (Bersambung 1)

Selasa, 01 Maret 2011

Janjimu Adalah Utangmu

“Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu.” (Al-Maidah: 1)
Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. Segala perilakunya terjaga dari kekurangan dan keburukan. Sepak terjangnya memberi manfaat buat lingkungan sekitarnya. Pepohonan hijau lestari dalam kekuasaannya. Hewan-hewan tak terzalimi dengan tangan-tangan mukmin itu. Dan manusia sekitar merasa senang dengan kehadirannya.
Siapapun, yang di langit dan di bumi, akan menaruh simpati pada seorang mukmin sejati. Hampir tak satu pun buah amal yang dihasilkan muncul sia-sia. Tak ada yang mentah bergetah. Dan tak ada yang busuk berbau. Ucapannya begitu menyejukkan telinga yang mendengar. Dan janjinya begitu terpelihara.
Betapa beraninya seorang manusia yang mengobral janji. Seolah, tak pernah ada pertanggungjawaban dari janji yang ia sebar. Padahal, tak satu pun janji yang keluar dari lisan seorang kecuali sebuah utang yang harus dibayar. Seberapa besar dan sekecil apa pun, janji akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah swt.
Sungguh mulia baginda Rasulullah saw yang terkenal dengan sifat Al-Amin. Siapa pun yang pernah bergaul dengan beliau akan merasa puas, aman, dan hormat. Tak sekali pun Rasul mulia itu berdusta, walau dalam canda. Tak pernah terucap janji dari lisan beliau kecuali tertunaikan dengan sempurna. Tak ada satu amanah pun terpikul di pundak beliau, melainkan terlaksana memuaskan. Semuanya bergulir lancar, tanpa cacat.
Tak sedikit manusia yang lupa, lalai. Kesibukan duniawi telah menelantarkan seribu satu janji yang pernah terucap. Badai ambisi dan obsesi telah menenggelamkan semua kerikil janji: besar dan kecil. Kasih sayang Allalah yang telah menghidupkan kesadaran hamba Allah akan janji-janji mereka.
Betapa banyak janji yang telah terucap dari mulut seorang manusia. Ada janji-janji pasti yang terikrar sejalan dengan rute hidup yang telah ditempuh seorang anak Adam: janji pada Allah, jamaah dan dakwah, janji sebagai seorang yang mengemban amanah, sebagai suami atau isteri, sebagai orang tua kepada anak-anak, dan sebagai anggota masyarakat. Ada juga janji-janji lain yang lahir bersamaan dengan pergaulan sesama manusia.
1. Janji pada Allah
Sudahkah kita tunaikan janji kita pada Allah swt. Ucapan dua persaksian seorang mukmin kepada Allah dan Rasul adalah janji. Bahwa, tidak ada ilah selain Allah. Dan Muhammad sebagai utusan Allah.
Benarkah persaksian sakral itu telah kita jaga dengan seluruh kesungguhan. Masihkah kita menjadikan tuhan-tuhan lain selain Allah. Adakah hal lain yang lebih kita takuti selain Allah. Adakah hal lain yang lebih kita cintai selain Allah. Adakah hal lain yang lebih kita ikuti aturannya selain aturan Allah swt. Sudahkah kita letakkan sosok teladan bagi diri kita pada Rasulullah saw. Atau, ada idola-idola lain yang dengan penuh keridhaan tertancap kuat dalam hati kita yang paling dalam. Benarkah ungkapan cinta dan pengorbanan kita buat Allah dan RasulNya hanya sekadar hiasan bibir. Ungkapan yang sering terdengar, tapi berat dalam pembuktian.
Kita pun sering berucap janji lain pada Allah. Saat shalat, ada janji terucap. Tak kurang dari tujuh belas kali janji itu mengalir dari lidah kita. “Hanya kepadaMu kami menyembah, dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan.”
Benarkah? Benarkah seluruh diri kita secara khusyuk tunduk dalam ibadah hanya pada Allah. Benarkah hati kita hadir dengan seluruh keikhlasan pada Allah. Hanya karena dan untuk Allah. Atau, masih ada bayang-bayang lain selain Allah. Bagaimana mungkin seorang hamba Allah bisa menuntut terkabulnya doa secara sempurna, sementara nilai ibadahnya hanya separuh. Sebagian buat Allah, dan sisanya tercecer ke hal-hal lain: ingin dibilang saleh, dipuji, dihormati.
2. Janji pada Jamaah dan Dakwah
Sebagian besar sahabat ada yang telah berjanji setia pada Rasulullah. Janji setia atau bai’ah itu menjadi pagar yang senantiasa menjaga kelurusan jalan dakwah yang mereka tempuh. Kala tarikan-tarikan kepentingan duniawi mulai menggiring mereka ke jalan lain, janji bai’ah itu menjadi ingatan.
Mungkin, ada di antara kita yang sudah berjanji setia untuk istiqamah dalam jalan dakwah. Sungguh, janji setia itu adalah utang. Kalau ia tertunaikan dengan baik, kebaikan itu akan berpulang pada pelaku itu sendiri. Dan jika terkhianati, buruknya pengkhianatan itu pun akan berbalik pada sang pelaku. Semoga, Allah menjauhi kita dari jalan tempuh yang kedua itu.
Allah swt mengabadikan peristiwa bai’ah nan penuh makna itu dalam surah Al-Fath ayat 10. “Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janji maka akibat pelanggaran itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
3. Janji pada Isteri
Berhati-hatilah buat mereka yang sudah menikah. Secara sadar dan disaksikan orang banyak, para suami telah menyatakan sebuah janji. Bahwa, mereka akan mempergauli isteri-isteri mereka dengan cara yang baik. Dan tidak akan lalai dari pemberian nafkah kepada isteri, baik yang lahir maupun batin.
Itulah janji pada isteri. Suatu saat, Allah swt yang juga diatasnamakan dalam janji itu akan minta pertanggungjawaban para suami. Sudahkah para suami menepati janji itu. Adakah ucapan itu benar-benar janji yang bermakna tinggi. Atau, hanya sekadar basa-basi formalitas. Dan akan terlupakan dalam hiruk-pikuk rutinitas kehidupan berumah tangga.
Pada saatnya, nilai janji seorang suami menjadi luntur dengan gerusan romantisme cinta sesaat. Itulah mungkin, kenapa ada seorang suami yang tega-teganya menelantarkan tanggungjawab sebagai suami hanya karena kebutuhan sesaat. Semoga Allah swt senantiasa menguatkan hati hamba-hamba Allah yang amanah dengan isterinya.
4. Janji pada Anak
Seringkali, seorang ayah atau ibu memberikan janji karena ingin mengalihkan perhatian anak. Mereka tidak sadar, kalau semua ucapan janji itu terekam kuat oleh anak. Ada anak yang berani menuntut. Tapi, tidak sedikit anak yang memendam kecewa. Suatu yang oleh orang tua remeh, padahal buat anak teramat besar.
Dari situlah, anak-anak belajar tentang janji. Seberapa suci dan tingginya sebuah janji sangat bergantung pada kepentingan. Anak-anak menyimpulkan bahwa janji hanya permainan. Bisa ditepati, bisa juga tidak. Tergantung pada kepentingan yang berjanji. Jika kepentingannya sudah terpenuhi, janji tinggallah janji: hanya ucapan basa-basi. Kelak, anak-anak akan mewariskan tabiat buruk itu.
Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. Yaitu, mereka yang senantiasa menjaga amanah dan janji yang telah terutangkan. Maha Benar Allah dalam firmanNya pada surah Al-Fath ayat 10. “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya… Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya.”

Beruswah Kepada Nabi Muhammad

– Sahabatku, kita punya cara untuk mengenang orang paling mulia di dunia, Nabi Muhammad saw.. Catatan ringkas ini semoga menjadi renungan buat kita. Berteladan kepada Nabi saw. Dia sejatinya uswah, pasti tidak akan membuat kita kecewa!
1) Kalau ada pakaian yang koyak, Nabi saw menambalnya sendiri tanpa perlu menyuruh isterinya. Beliau juga memerah susu kambing untuk keperluan keluarga maupun untuk dijual.
2) Setiap kali pulang ke rumah, bila belum tersaji makanan karena masih dimasak, sambil tersenyum beliau menyingsingkan lengan bajunya untuk membantu isterinya di dapur. Aisyah menceritakan bahwa kalau Nabi berada di rumah, beliau selalu membantu urusan rumahtangga.
3) Jika mendengar azan, beliau cepat-cepat berangkat ke masjid, dan cepat-cepat pula kembali sesudahnya.
4) Pernah beliau pulang menjelang pagi hari. Tentulah beliau teramat lapar waktu itu. Namun dilihatnya tiada apa pun yang tersedia untuk sarapan. Bahkan bahan mentah pun tidak ada karena ‘Aisyah belum ke pasar. Maka Nabi bertanya, “Belum ada sarapan ya Khumaira?’ Aisyah menjawab dengan agak serba salah, ‘Belum ada apa-apa wahai Rasulullah.’ Rasulullah lantas berkata, ‘Jika begitu aku puasa saja hari ini.’ tanpa sedikit tergambar rasa kesal di raut wajah beliau.
5) Sebaliknya Nabi saw sangat marah tatkala melihat seorang suami sedang memukul isterinya. Rasulullah menegur, ‘Mengapa engkau memukul isterimu?’ Lantas lelaki itu menjawab dengan gementar, “Isteriku sangat keras kepala! Sudah diberi nasihat dia tetap membangkang juga, jadi aku pukul dia.” Jelas lelaki itu.
“Aku tidak bertanya alasanmu,” sahut Nabi saw.
“Aku menanyakan mengapa engkau memukul teman tidurmu dan ibu dari anak-anakmu?”
6) Kemudian Nabi saw bersabda,”Sebaik-baik suami adalah yang paling baik, kasih dan lemah-lembut terhadap isterinya.’ Prihatin, sabar dan tawadlu’nya beliau dalam posisinya sebagai kepala keluarga langsung tidak sedikitpun merubah kedudukannya sebagai pemimpin umat.
7) Pada suatu ketika Nabi saw menjadi imam shalat. Dilihat oleh para sahabat, pergerakan Nabi antara satu rukun ke rukun yang lain agak melambat dan terlihat sukar sekali. Dan mereka mendengar bunyi gemeretak seakan sendi-sendi di tubuh Nabi mulia itu bergeser antara satu dengan yang lain. Lalu Umar ra tidak tahan melihat keadaan Nabi yang seperti itu langsung bertanya setelah shalat.
‘Ya Rasulullah, kami melihat sepertinya engkau menanggung penderitaan yang amat berat. Sakitkah engkau ya Rasulullah?”
“Tidak, ya Umar. Alhamdulillah, aku sehat wal ‘afiat.”
“Ya Rasulullah.. .mengapa setiap kali engkau menggerakkan tubuh, kami mendengar suara gemeretak pada sendi-sendi tulangmu? Kami yakin engkau sedang sakit…” desak Umar penuh cemas.
Akhirnya Rasulullah mengangkat jubahnya. Para sahabat amat terkejut. Ternyata perut beliau yang kempis, kelihatan dililit sehelai kain yang berisi batu kerikil, untuk menahan rasa lapar beliau. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi gemeretak setiap kali bergeraknya tubuh beliau.
“Ya Rasulullah! Apakah saat engkau menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kemudian kami tidak akan mengusahakannya buat engkau?’
Lalu Nabi saw menjawab dengan lembut, “Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu. Tetapi apakah akan aku jawab di hadapan ALLAH nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban kepada umatnya?’ ‘Biarlah kelaparan ini
sebagai hadiah ALLAH buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di Akhirat kelak.”
8) Nabi saw pernah tanpa rasa canggung sedikitpun makan di sebelah seorang tua yang dipenuhi kudis, miskin dan kotor.
9) Beliaupun hanya diam dan bersabar ketika kain sorbannya ditarik dengan kasar oleh seorang Arab Badawi hingga berbekas merah di lehernya. Begitupun dengan penuh rasa kehambaan beliau membersihkan tempat yang dikencingi seorang arab Badawi di dalam masjid sebelum beliau tegur dengan lembut perbuatan itu.
10) Kecintaannya yang tinggi terhadap ALLAH swt dan rasa penghambaan yang sudah menghunjam dalam diri Rasulullah saw menolak sama sekali rasa ingin diistimewakan (dipertuan).
11) Seolah-olah anugerah kemuliaan dari ALLAH langsung tidak dijadikan sebab untuknya merasa lebih dari yang lain, ketika di depan keramaian (publik) maupun saat seorang diri.
12) Pintu Syurga terbuka seluas-luasnya untuk Nabi, namun beliau masih tetap berdiri di sepinya malam, terus-menerus beribadah hingga pernah beliau terjatuh lantaran kakinya bengkak-bengkak.
13) Fisiknya sudah tidak mampu menanggung kemauan jiwanya yang tinggi. Bila ditanya oleh ‘Aisyah, ‘Ya Rasulullah, bukankah engaku telah dijamin Syurga? Mengapa engkau masih bersusah payah begini?’ Jawab baginda dengan lembut, ‘Ya ‘Aisyah, bukankah aku ini hanyalah seorang hamba? Sesungguhnya aku ingin menjadi hamba-Nya yang bersyukur.’