Minggu, 29 Agustus 2010

ABRAJ AL-BAIT TOWER MEKKAH -SAUDI ARABIA

dakwatuna.com – Jakarta. Sejumlah tokoh Islam menanggapi positif wacana pengalihan acuan waktu internasional dari Greenwich Mean Time (GMT) ke waktu Mekkah. Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ma’ruf Amin, sudah saatnya umat Islam memiliki acuan waktu tersendiri yang berbeda dengan acuaan yang sekarang ada. Apalagi Makkah adalah tempat dimana kiblat umat Islam berada. “Tidak masalah acuan waktu dialihkan ke Makkah justru lebih baik,”kata di Jakarta, Kamis (12/8)Selain itu, tambah Ma’ruf, Makkah merupakan tujuan haji umat Islam. Jika memang peralihan tersebut terwujud maka akan mempermudah kalangan Muslim merujuk waktu ibadah mereka. Dia berharap agar rencana ini tak sekadar wacana dan bisa direalisasikan agar identitas umat Islam semakin kuat. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Tarjih, Tajdid dan Pemikiran Islam, Yunahar Ilyas, mengatakan apabila wacana pengalihan terwujud maka menjadi kebanggaan tersendiri bagi umat Islam. Meskipun, dia mengakui upaya ke arah sana belum tentu diterima oleh berbagai pihak karena masih menunggu konvensi internasional. Akan tetapi, Yunahar menyatakan dukungannya terhadap wacana tersebut. Selain itu, dia mendorong negara-negara Islam turut mendukung agar wacana te,rsebut disepakati. Dia mengajak ilmuwan dan pakar terkait di Indonesia mengkaji relevansi dan validitas pengalihan itu.“Mudah-mudahan bawa persatuan umat Islam,”harap dia.Hal senada disampaikan Kepala Badan Hisab Rukyat (BHR) Kementerian Agama (Kemenag), Rohadi Abdul Fatah. Upaya pengalihan ini dinilai sebagai gebrakan inovatif yang memberikan rasa bangga bagi Muslim.Rohadi menuturkan, rencana ini akan menghadapi halangan dari komunitas anti Islam terutama bangsa Yahudi. Ketidaksukaan mereka terhadap Islam salah satunya akan disalurkan dengan membendung terjadinya kesepakatan internasional. “Lihat saja apa hasil konvensi internasional nantinya, tapi sebagai Muslim saya setuju (pengalihan-red),”ujar dia.Sebagaimana diberitakan, pemerintah Arab Saudi telah membangun sebuah jam raksasa di puncak gedung pencakar langit, Abraj Al Bait Tower, di kota Makkah. Selain berambisi menjadi acuan waktu dunia, pemerintah Arab Saudi ingin jam ini menjadi acuan waktu bagi 1,5 miliar Muslim di seluruh negara, termasuk Indonesia.Akan tetapi, pemerintah Arab Saudi harus bersabar menunggu konvensi internasional. Sampai saat ini, acuan waktu yang digunakan sebaga standar internasional adalah GMT yang merupakan hasil konvensi internasional tahun 1884. (Krisman Purwoko/Nashih Nashrullah/RoL)

Prof. KH. Ali Yafie: Menjaga Alam Wajib Hukumnya

Republika, Minggu, 2008 Juni 22

Islam mengajarkan hidup selaras dengan alam. Banyak ayat Alquran maupun hadis yang bercerita tentang lingkungan hidup. Dan kitab fikih yang menjadi penjabaran keduanya, masalah lingkungan ini masuk dalam bidang jinayat (hukum). “Artinya, kalau sampai ada seseorang menggunduli hutan dan merusak hutan, itu harus diberlakukan sanksi yang tegas. Harus dicegah. Harus dihukum,” ujar mantan Rois A’am Nahdlatul Ulama, Prof KH Ali Yafie, Selasa (6/2). Kepada Damanhuri Zuhri dari Republika, penulis buku “Merintis Fiqh Lingkungan Hidup” ini bertutur banyak tentang kearifan terhadap alam menurut ajaran Islam. Berikut ini petikannya:
Bagaimana Islam melihat alam?
Ada dua ajaran dasar yang harus diperhatikan umat Islam. Dua ajaran dasar itu merupakan dua kutub di mana manusia hidup. Yang pertama, rabbul’alamin. Islam mengajar bahwa Allah SWT itu adalah Tuhan semesta alam. Jadi bukan Tuhan manusia atau sekelompok manusia, bukan itu. Dari awal manusia yang bersedia mendengarkan ajaran Islam sudah dibuka wawasannya begitu luas bahwa Allah SWT adalah Tuhan semesta alam. Orang Islam tidak boleh berpikiran picik, Allah SWT bukan saja Tuhan kelompok mereka, Tuhan manusia, melainkan Tuhan seluruh alam. Jadi Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan semua alam. Dan alam di hadapan Tuhan, sama. Semuanya dilayani oleh Allah, dilayani oleh Allah sama dengan manusia. Itu dasar pertama.
Kutub yang kedua adalah rahmatan lil’alamin. Artinya manusia diberikan sebagai amanat untuk mewujudkan segala perilakunya dalam rangka kasih sayang terhadap seluruh alam. Kalau manusia bertindak dalam semua tindakannya berdasarkan kasih sayangnya kepada seluruh alam, tidak saja sesama manusia, namun juga kepada seluruh alam.
Dalam Alquran ada ayat yang mengatakan ”Laa tufsiduu fil ardhi ba’da ishlahiha (jangan merusak alam ini, merusak bumi ini sesudah ditata sedemikian baik). Sekarang orang mengatakan teorinya keseimbangan, itu sebenarnya yang dimaksud dengan kata-kata ba’da ishlaahiha. Jadi kalau berbicara mengenai lingkungan alam, itu bagi Islam sejak awal sudah dibicarakan. Dunia Barat, dunia modern baru ribu dengan masalah lingkungan alam baru di penghujung abad ke-20. Sebelumnya mereka sudah merusak alam.

Artinya, seorang Muslim yang benar-benar meyakini Alquran dan hadis, dia tidak akan sewenang-wenang terhadap alam?
Ya, tentu kalau memang dia memahami kandungan Alquran dan hadis dengan baik. Kalau dia bisa memahami makna rabbal’alamin dan rahmatan lil’alamin dengan baik, sudah pasti dia tidak akan merusak alam lingkungan. Dan memang tidak ada sejarahnya umat Islam sejak jaman Nabi Muhammad SAW yang merusak alam. Bahkan, dalam pelaksanaan ibadah haji, seseorang yang berihram dilarang untuk mencabut pohon, tidak boleh membunuh binatang. Itu jelas satu implementasi dari pada ajaran dasar tadi itu. Di sana itu hanya latihan. Kemudian untuk dilakukan selamanya di tengah masyarakat. Jadi harus dipahami seperti itu.
Judul buku Anda “Merintis Fiqh Lingkungan”, kesannya kok baru “digagas” sebuah fikih tentang lingkungan?
Sejak Islam ada, ya sudah ada fikih lingkungan. Cuma tidak dibahasakan menurut bahasa sekarang. Semua kitab fikih yang namanya kitab kuning memuat tentang lingkungan. Rujukan buku saya itu ya kitab kuning. Ada dua kendalanya, yakni proses beribadah yang tiga tingkat. Itu yang tidak dijelaskan. yang kedua, kitab-kitab kuning yang rinci mengenai lingkungan hidup tidak dibahasakan menurut bahasa sekarang. Yang namanya kitab fikih itu adalah penjabaran dari Alquran dan hadis di dalam empat bidang kehidupan. Pertama namanya ibadat, yakni tata cara beribadah. Kedua muamalat tentang hubungan antar manusia. Ketiga munakahat pembinaan keluarga dan keempat jinayat penegakan hukum. Nah, masalah lingkungan ini masuk dalam bidang jinayat. Artinya, kalau sampai ada seseorang menggunduli hutan dan merusak hutan, itu harus diberlakukan sanksi yang tegas. Harus dicegah. Harus dihukum.
Sayang, dalam bidang keempat ini banyak yang tidak memahaminya ya?
Betul. Banyak yang tidak memahami soal jinayat. Kebanyakan orang memahami jinayat itu adalah hukuman Islam yang kejam-kejam seperti potong tangan, rajam. Itu yang dipahami oleh kebanyakan orang. Mereka tidak memahami, kalau membalak hutan, membakar hutan itu termasuk jinayat juga. Jadi perlu ada penegakan hukum. Jika selama ini ada lima komponen hidup yang harus dipelihara oleh seluruh manusia yakni hifdzul nafs (menjaga jiwa), hifdzul aql (menjaga akal), hifdzul maal (menjaga harta), hifdzul nasl (menjaga keturunan) dan hifdzud diin (menjaga agama). Saya ini menggali bahwa termasuk sekarang ini menjadi masalah besar dan harus diberi tempat perkembangannya yaitu kerusakan lingkungan hidup. Jadi kalau kita dalam kaidah mengatakan perlu ada hifdzul nafs atau hifdzud diin, maka sekarang ini patut kita masukkan ke dasar agama adalah hifdzul bi-ah (memelihara lingkungan hidup). Itu kepentingan kehidupan manusia. Seluruh manusia berkepentingan terhadap kebersihan lingkungan, terhadap keselamatan lingkungan. Ini yang saya coba gali.
Memang di dalam agama itu ada tiga tingkatan atau tiga proses yang harus dilalui sehingga tuntas. Pertama adalah ta’abbud artinya kita melakukan shalat, puasa atau haji hanyalah ta’abbud artinya sebagai menyatakan kepatuhan kita terhadap petunjuk Allah. Itu tingkat pertama dan itu semua orang lakukan. Ada dua tingkat lagi yang sangat menentukan. Sesudah ta’abbud mesti ada lagi tingkatan ta’aqqul artinya menggunakan otak untuk memahami ibadah. Kita disuruh wudlu untuk apa? Supaya bersih. Kita disuruh berpakaian untuk apa? Agar menjadi manusia terhormat, karena aurat kita terjaga. Itu namanya penghayatan agama. Tingkat ketiga yang paling menentukan adalah takhalluq artinya ibadah harus dijadikan sebagai perilaku. Ibadah itu harus dijadikan sebagai akhlak. Kita sayangkan, misalnya mempelajari bab thaharah, tapi hanya kalau mau shalat. Thaharah tidak dijadikan sebagai akhlak.
Padahal sebenarnya pada bab thaharah pun sudah berbicara soal kebersihan lingkungan. Coba kita lihat soal adab membuang air kecil atau air besar. Tidak boleh membuang air kecil apalagi air besar pada air yang tidak mengalir. Tidak boleh membuang air kecil apalagi air besar di bawah pohon yang rindang, karena itu tempat orang berteduh. Kalau Anda selalu buang air di sana, tak ada orang yang mendekati pohon itu. Akhirnya pohon tidak terpelihara dan matilah. Sayangnya tidak dikaji sejauh itu.
Diposkan oleh Fajar Suhartono di 19:54
Sumber: http://sekedarcoretankecil.blogspot.com/2008/06/prof-kh-ali-yafie-menjaga-alam-wajib.html
Fiqih Lingkungan
29/09/2007 08:40 WIB
Penulis: Drs. H. Gunawan Adnan, MA, Ph.D
Masalah lingkungan adalah berbicara tentang kelangsungan hidup (manusia dan alam). Melestarikan lingkungan sama maknanya dengan menjamin kelangsungan hidup manusia dan segala yang ada di alam dan sekitarnya. Sebaliknya, merusak lingkungan hidup, apapun bentuknya, merupakan ancaman serius bagi kelangsungan hidup alam dan segala isinya, tidak terkecuali manusia.
Islam sebagai agama paripurna, memiliki kebenaran universal dan absolut -karena berasal dari zat yang maha absolut (Allah; Rabb al-Jalil), sejak 14 abad lalu telah memiliki perhatian khusus terhadap persoalan lingkungan, lewat warning (memberi peringatan) akibat kerusakan lingkungan, antara lain dinyatakan dalam Alquran, surat Ar-Ruum: 41. Dalam ayat itu dikatakan, kerusakan lingkungan akibat ulah tangan manusia yang fasid (destroyer/perusak akan ditimpakan kepada manusia itu sendiri (baik mereka yang merusak mapun yang tidak terlibat) supaya mereka kembali ke jalan yang benar (la‘allahum yarji‘un).
Sayangnya manusia tidak pernah jera dan mau mengambil pelajaran di balik bencana alam yang terjadi. Mereka bebal dan buta tuli terhadap tanda-tanda yang dihadirkan oleh alam sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap prilaku manusia yang rakus dan pongah dalam mengesploitasi alam. Sepertinya syair Ebiet G.Ade “mungkin alam sudah enggan bersahabat dengan kita” semakin menunjukkan kebenaran faktualnya. Bahkan bukan lagi sekedar ’mungkin‘ tapi sudah benar-benar benci dan marah terhadap prilaku dekonstruktif manusia terhadap alam sekitarnya. Buktinya hampir tiap hari bencana alam akrab mengancam hidup manusia.
Ancamam pemanasan global menjadi salah satu akibat stubborn (keras kepala)nya manusia. Padahal pemanasan global ini telah menjadi isu internasional, namun penghancuran lingkungan khususnya di Indonesia terus terjadi. Perambahan hutan dan perusakan ekosistem pesisir terus berlanjut, sementara reboisasi yang dilakukan berjalan sangat lambat, kalau tidak dikatakan hampir tidak ada.
Cuma butuh waktu kurang dari satu jam untuk menebang kayu-kayu besar di rimba, tapi butuh ratusan tahun untuk membesarkan kayu-kayu itu kembali. Demikian juga dalam hal pelestarian hutan. Hutan dapat dihanguskan dan dirusak dalam hitungan jam, baik dengan satu biji korek api atau pembalakan liar yang dilakukan dengan menggunakan teknologi modern dan lain-lain, tapi butuh waktu puluhan, bahkan ratusan tahun untuk mengembalikannya ke kondisi semula.
Melestarikan lingkungan hidup, ditempu pendekatan prventif, di antaranya melalui pemahaman ajaran agama secara komprehensif dan integratif. Dalam kontek lingkungan sering disebut istilah “Fiqh Lingkungan”. Istilah ini dilihat dalam ajaran Islam (content/isi dan spirit) berdasarkan nash agama (lquran dan hadis), bukanlah hal yang baru. Perlu dipertegas bahwa ketika kata “Fiqh” itu disebutkan, tidak serta-merta ia merefleksikan kitab kuning, bahasa Arab Jawi ataupun bahasa Arab, dan lainnya.
Fiqh dalam konteks lingkungan adalah hasil bacaan dan pemahaman manusia terhadap dalil naqli, baik yang maktubah (tertulis) maupun yang kauniyyah (tidak tertulis) yang tersebar di alam jagad raya. Jadi, Fiqh Lingkungan berarti pemahaman manusia tentang lingkungan hidup melalui pendekatan-pendekatan holy scriptures (teks-teks suci) dan natural signs (tanda-tanda alam) yang pada akhirnya akan melahirkan suatu konsep dan sikap mareka terhadap alam semesta, khususnya menyangkut pelestariannya. Karenanya pemahaman umat terhadap ajaran Islam perlu dikembangkan dan diperdalam agar Islam bisa dilihat comprehensif.
Perlu pemahaman yang cerdas dan arif, bahwa memasukkan isu-isu pelestarian lingkungan dalam kurikulum pendidikan pesantren dan dayah, materi khutbah, sebagai suatu hal penting daripada membicarakan masalah ruknun min arkan al-Islam (rukun dari rukun Islam yang lima itu). Karena menjaga lingkungan hidup dan alam semesta ini adalah konsekuensi dari kepercayaan Tuhan kepada manusia yang telah Dia angkat menjadi khalifah (pengganti-Nya) di muka bumi ini. Tanggungjawab ini harus dipegang teguh semua orang.
Penegakan hukum
Salah satu masalah dan kendala sangat alert dan akut, khususnya menyangkut lingkungan hidup di Indonesia adalah ketidak-pastian hukum. Kenyataannya, sering orang mangadu tentang oknum pelaku pembalakan hutan baik melalui HPH aspal dan serupa, maupun para oknum bos pabrik yang memalsukan surat Amdal dan lainnya divonis bersalah oleh hukum “yang tidak pasti itu” dan dijebloskan ke dalam penjara. Sedang aktivitanya bebas berkeliaran dan meneruskan pengrusakan lingkungan seenaknya. Jadi, kalau aparat penegak hukum masih bisa dibeli dengan uang receh hasil perusakan lingkungan semacam itu, maka jangan pernah bermimpi lingkungan hidup -terutama hutan tropis Indonesia yang menjadi paru-paru dunia, akan lestari.
Suatu keniscayaan, hukum itu harus mendapatkan supremasinya di Indonesia dan diperlakukan sama terhadap semua orang. Siapapun yang merusak lingkungan, misalnya, pelaku ilegal logging harus ditindak sesuai hukum secara adil, pasti dan transparan tanpa pertimbangan siapa, darimana, dan apa posisi sipelaku itu.
Jika hukum tidak bisa ditegakkan, maka jangan pernah salahkan Tuhan kalau musibah demi musibah, bencana demi bencana akan menimpa kita. Karenanya bila bencana itu ditimpakan, tidak akan mengenal siapa yang bersalah telah merusak lingkungan (alam) atau siapa yang tidak. Tragedi banjir bandeng Krueng Seuruwei, Aceh Tamiang (tahun 2006), banjir bandeng di Aceh Tenggara, Kasus Lumpur Lapindo Berantas Sidoarjo (Jawa Timur), dan lainnya, begitu banyak menelan korban. Ironisnya rakyat kecil dan miskin terus menjadi tumbal. Padahal mereka tidak bersalah dan tidak menerima apa-apa dari exploitasi alam di sekitar mereka itu.
Bila ditelaah atas kenyataan alam tersebut, hukum syariyyah seyogianya tidak berhenti pada level normatif (Haram, Sunnah, Makruh, Mubah, Wajib, dan lain-lain) tapi juga dapat diterjemahkan kedalam poin-poin jinayah, denda, hukuman (hukum perdata dan pidana) seperti dicambuk, dipermalukan di depan umum, dipenjara dan sebagainya. Sebab manusia sering hanya percaya Tuhan dan mereka juga meyakini Tuhan melihat semua perbuatan mereka, tapi mereka tetap saja melakukan kejahatan. Menurut mereka persoalan hukum nanti di akhirat.
*) Penulis adalah Koordinator EPW (Environmental Parliament Watch) NAD dan Senior Researcher & Program Coordinator pada IPI-Interpeace Aceh Programm
Sumber: http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaopini&opinid=1229
Fiqh al-Bi’ah; Fiqh Ramah Lingkungan
Posted by Hatim Gazali
Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan penuh harap (akan dikabulkan). Sesungguhnya, rahmat Allah sungguh dekat dengan orang-orang yang berbuat baik..” (QS. al-A’raf/7: 56)
Baru-baru ini banjir bandang melanda Pulau Kalimantan, menenggelamkan ratusan rumah penduduk. Sebelumnya, banjir yang lebih dahsyat telah memporak-porandakan sebagian wilayah Blitar Jawa Timur. Juga wilayah Aceh, pasca diguncang gempa dan Tsunami, terendam banjir. Sedangkan di Jakarta, banjir hampir terjadi setiap tahun. Malapetaka ini disebabkan oleh rusaknya lingkungan dan hancurnya ekosistem alam, krisis ekologi, karena dijahili tangan-tangan rakus manusia. Mereka mengeksploitasi alam tanpa henti.
Anehnya, umat beragama cuek saja dengan persoalan lingkungan. Padahal, dampak dari eksploitasi itu sangat parah. Bisa mengamblaskan harta milyaran rupiah dan menelan ribuan korban jiwa. Termasuk juga umat Islam, keberpihakannya terhadap pemeliharaan lingkungan masih kabur.
Islam menekankan umatnya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan berlaku arif terhadap alam (ecology wisdom). Dalam QS. al-Anbiya’/21: 35-39 Allah mengisahkan kasus Nabi Adam. Adam telah diberi peringatan oleh Allah untuk tidak mencabut dan memakan buah khuldi. Namun, ia melanggar larangan itu. Akhirnya, Adam terusir dari surga. Ia diturunkan ke dunia. Di sini, surga adalah ibarat kehidupan yang makmur, sedangkan dunia ibarat kehidupan yang sengsara. Karena Adam telah merusak ekologi surga, ia terlempar ke padang yang tandus, kering, panas dan gersang. Doktrin ini mengingatkan manusia agar sadar terhadap persoalan lingkungan dan berikhtiar melihara ekosistem alam.
Akan tetapi, doktrin tersebut tidak diindahkan. Perusakan lingkungan tidak pernah berhenti. Eksplorasi alam tidak terukur dan makin merajalela. Dampaknya, ekosistem alam menjadi limbung. Ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Alam akan menjadi ancaman kehidupan yang serius. Ia senantiasa siap mengamuk sewaktu-waktu.
Fiqh Islam pun tumpul. Fiqh belum mampu menjadi jembatan yang mengantarkan norma Islam kepada perilaku umat yang sadar lingkungan. Sampai saat ini, belum ada fiqh yang secara komprehensif dan tematik berbicara tentang persoalan lingkungan. Fiqh-fiqh klasik yang ditulis oleh para imam mazhab hanya berbicara persoalan ibadah, mu’amalah, jinayah, munakahat dan lain sebagainya. Sementara, persoalan lingkungan (ekologi) tidak mendapat tempat yang proporsional dalam khazanah Islam klasik.
Karena itulah, merumuskan sebuah fiqh lingkungan (fiqh al-bi’ah) menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Yaitu, sebuah fiqh yang menjelaskan sebuah aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim berdasarkan teks syar’i dengan tujuan mencapai kemaslahatan dan melestarikan lingkungan.
Dalam rangka menyusun fiqh lingkungan ini (fiqh al-bi’ah), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, rekonstruksi makna khalifah. Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa menjadi khalifah di muka bumi ini tidak untuk melakukan perusakan dan pertumpahan darah. Tetapi untuk membangun kehidupan yang damai, sejahtera, dan penuh keadilan. Dengan demikian, manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi ini secara otomatis mencoreng atribut manusia sebagai khalifah (QS. al-Baqarah/2: 30). Karena, walaupun alam diciptakan untuk kepentingan manusia (QS. Luqman/31: 20), tetapi tidak diperkenankan menggunakannya secara semena-mena. Sehingga, perusakan terhadap alam merupakan bentuk dari pengingkaran terhadap ayat-ayat (keagungan) Allah, dan akan dijauhkan dari rahmat-Nya (QS. al-A’raf/7: 56).
Karena itulah, pemahaman bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi ini bebas melakukan apa saja terhadap lingkungan sekitarnya sungguh tidak memiliki sandaran teologisnya. Justru, segala bentuk eksploitasi dan perusakan terhadap alam merupakan pelanggaran berat. Sebab, alam dicipatakan dengan cara yang benar (bi al-haqq, QS. al-Zumar/39: 5), tidak main-main (la’b, QS. al-Anbiya’/21: 16), dan tidak secara palsu (QS. Shad/38: 27).
Kedua, ekologi sebagai doktrin ajaran. Artinya, menempatkan wacana lingkungan bukan pada cabang (furu’), tetapi termasuk doktrin utama (ushul) ajaran Islam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi dalam Ri’ayah al-Bi’ah fiy Syari’ah al-Islam (2001), bahwa memelihara lingkungan sama halnya dengan menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid al-syari’ah). Sebab, kelima tujuan dasar tersebut bisa terejawantah jika lingkungan dan alam semesta mendukungnya. Karena itu, memelihara lingkungan sama hukumnya dengan maqashid al-syari’ah. Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan, ma la yatimmu al-wajib illa bihi fawuha wajibun (Sesuatu yang membawa kepada kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya wajib).
Ketiga, tidak sempurna iman seseorang jika tidak peduli lingkungan. Keberimanan seseorang tidak hanya diukur dari banyaknya ritual di tempat ibadah. Tapi, juga menjaga dan memelihara lingkungan merupakan hal yang sangat fundamental dalam kesempurnaan iman seseorang. Nabi bersabda bahwa kebersihan adalah bagian dari iman. Hadits tersebut menunjukkan bahwa kebersihan sebagai salah satu elemen dari pemeriharaan lingkungan (ri’ayah al-bi’ah) merupakan bagian dari iman. Apalagi, dalam tinjauan qiyas aulawi, menjaga lingkungan secara keseluruhan, sungguh benar-benar yang sangat terpuji di hadapan Allah.
Keempat, perusak lingkungan adalah kafir ekologis (kufr al-bi’ah). Di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah adanya jagad raya (alam semesta) ini. Karena itulah, merusak lingkungan sama halnya dengan ingkar (kafir) terhadap kebesaran Allah (QS. Shad/38: 27). Ayat ini menerangkan kepada kita bahwa memahami alam secara sia-sia merupakan pandangan orang-orang kafir. Apalagi, ia sampai melakukan perusakan dan pemerkosaan terhadap alam. Dan, kata kafir tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Allah, tetapi juga ingkar terhadap seluruh nikmat yang diberikanNya kepada manusia, termasuk adanya alam semesta ini (QS. Ibrahim/14: 7).
Selain itu, kita perlu memperjuangkan politik hijau (green politic), sebuah gerakan mendampingi pembangunan agar berperspektif ekologis. Kebijakan-kebijakan politik yang anti-ekologi, mekanistik, dan materialistik diarahkan menuju kebijakan politik yang sadar lingkungan (ecological politic). Hal ini penting karena kerusakan alam yang sedemikian parah tidak mungkin hanya diselesaikan melalui pendekatan agama. Akan tetapi, perlu pendekatan yang komprehensif. Mulai dari agama, ekonomi, politik, budaya, dan sosial bersatu padu menangani krisis ekologis ini.
Al-hasil, menjaga dan memelihara lingkungan adalah kewajiban bagi setiap individu manusia, fardhu ‘ain. [Hatim Gazali]
Sumber: http://www.islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=216. Dimuat di Bulletin An-Nadhar P3M, 30/03/2005 — http://gazali.wordpress.com/2007/11/10/artikel-15/
Menggagas Fiqh Lingkungan
Oleh: Achmad Faisal*
Sungguh menyedihkan membaca laporan Kompas Jawa Barat edisi Jumat, 5 Januari 2007 mengenai kondisi hutan di Jawa Barat yang sebagian besarnya mengalami kerusakan berat. Kerusakan hutan, tentu akan berakibat pada ancaman bahaya yang akan dihadapi oleh manusia. Jika hutan rusak, maka berbagai jenis bencana siap mengancam kehidupan manusia, mulai dari banjir, longsor, dll. Lebih tersentak lagi manakala membaca bahwa penyebab kerusakan hutan itu adalah akibat kejahatan yang dilakukan karena keserakahan manusia, mulai dari pencurian pohon, perambahan, perusakan hutan, penggembalaan, dan kebakaran. Hanya satu yang disebabkan oleh kekuatan di luar manusia, yaitu bencana alam.
Memang sebagai manusia kita akhirnya harus merasa malu, karena segala macam persoalan yang melilit bangsa ini, khususnya yang berkaitan dengan persoalan lingkungan adalah “buah tangan” manusia. Padahal manusia Indonesia adalah manusia beragama terbukti dengan Sila Pertama dasar negara kita yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kalau melihat komposisi penduduk Indonesia, sebagian besar manusia beragama di negeri ini menganut agama Islam. Sebagai seorang muslim saya juga akhirnya harus merasa malu, karena itu berarti kebanyakan pelaku perusakan lingkungan itu adalah juga beragama Islam. Keprihatinan saya itu kemudian merangsang untuk mengkaji dimana posisi agama saya (Islam) dalam menyelesaikan persoalan lingkungan. Kepenasaranan saya tersebut kebetulan bertemu pada sebuah majelis dengan seorang Prof. Dr. H.M. Abdurrahman, yang sedang giat-giatnya membanguan paradigma untuk sebuah wacana bernama “Fiqh Lingkungan”.
Selama ini umat Islam sering berdebat dan berbeda pendapat tentang persoalan fiqh Islam dalam konteks yang terbatas semisal fiqh ibadah, mengenai tatacara sholat, wudhu, haji, dll. Maka kini, sudah saatnya umat Islam diarahkan untuk bisa berdebat, memahami, dan mengamalkan “Fiqh Lingkungan”. Wacana “Fiqh Lingkungan” ini patut digulirkan bukan semata-mata latah ikut gerakan para aktivis pencinta lingkungan, tetapi tentu saja berdasarkan literatur yang sangat sahih yang terdapat pada Kitab Suci Al-Quran sebagai pedoman utama umat Islam, dan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW sebagai penjelas dari kitab suci tersebut.



Bagaimana sebetulnya Al-Quran dan Al-hadits berbicara tentang lingkungan sehingga kita perlu berwacana dan bahkan mengamalkan “Fiqh Lingkungan”?
Landasan Teologis
Ketika Allah SWT bermaksud menciptkan makhluk bernama manusia, Allah SWT berujar: “Aku akan menciptakan di muka bumi ini seorang Khalifah (manusia)”. Setelah itu maka muncul apatisme dari Malaikat, yang mempertanyakan: “Apakah Engkau menciptakan makhluk yang akan melakukan kerusakan di muka bumi dan mengalirkan darah?” Maka Tuhan pun menjawab: “Sesungguhnya Aku lebih tahu apa yang tidak kamu ketahui”. (Q.S. 2:30)
Tuhan menyebut manusia dengan sebutan Khalifah. Karakter Khalifah itu sendiri digambarkan dalam Al-Quran Surat Shaad ayat 26: “Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah mengikuti hawa nafsu”. Seorang khalifah yang adil dalam pandangan Tuhan bukanlah seorang yang mengurung diri berzikir di dalam masjid, tanpa mau melihat dan menyelesaikan perosalan masyarakat. Khalifah yang adil adalah manusia yang yang mau dan mampu melaksanakan amal shalih, mereka itulah yang akan mendapat gelar taqwa yang akan diberikan kebahagiaan di akhirat. Salah satu karakter utama dari taqwa adalah tidak melakukan perusakan lingkungan. Perhatikan firman Tuhan berikut ini: “Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Q.S. Al-Qashsash: 83)
Jadi, seseorang yang melakukan perusakan lingkungan dalam bentuk pencurian pohon, illegal logging, perambahan, pembalakan liar, dsb, bukan termasuk kelompok orang yang bertaqwa yang akan mendapatkan surga-Nya. Secara sederhana, ini bisa menjadi sebuah landasan teologis bahwa penyelamatan lingkungan adalah bagian penting dari ajaran Islam.
Landasan Yuridis
Lantas apa hukumannya bagi orang-orang yang melakukan kerusakan tersebut? mereka layak mendapat sanksi berat berupa hukum mati, disalib, dipotong tangannya, bahkan diasingkan. Sebagaimana Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 33: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”
Dalam kajian ushul fiqh, dikenal sebuah kaidah bahwa diantara tujuan disyariatkannya ajaran Islam diantaranya jalb al-mashalih (mengutamakan perbaikan dan kedamaian), dan juga ada istilah dar’ul mafaasid (menghilangkan kerusakan dan perusakan). Bahkan Rasulullah SAW pernah bersabda: “Laa dharaara walaa dhiraara” (Tidak ada kesulitan dan menyulitkan).
Secara yuridis, agama Islam menilai bahwa pelaku perusakan lingkungan sama dengan pelaku kejahatan yang layak mendapat hukuman seberat-beratnya. Oleh karena itu, memelihara alam, menanam tumbuhan dan menjaganya, adalah merupakan kewajiban syar’i karena akan berimplikasi terhadap pelaksanaan Islam secara kaaffah (menyeluruh). Pernyataan ini bisa mendapat pembenaran dengan kaidah ushul fiqh: “Maa Laa yatimmulwaajib Illaa bihi, fahuwa waajib” (Suatu kewajiban yang tidak akan bisa dilaksanakan sempurna kecuali dengan suatu media, maka penyediaan media itu pun menjadi wajib hukjumnya). Lingkungan hidup ini adalah media untuk pelaksanaan kewajiban syariat, maka memelihara lingkungan dalam konteks ini merupakan suatu kewajiban yang jika dilaksanakan akan mendapat pahala (reward) dan jika diabaikan akan mendapat siksa (punishment).
Landasan Etis
Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia untuk menyempurnakan etika moral manusia. Etika moral ini menjadi bagian integral dalam keseluruhan ajaran Islam itu sendiri. Banyak sekali tuntunan Rasulullah yang menyiratkan wajibnya menjaga perdamaian, kebaikan, dan pemeliharaan terhadap keseimbangan alam, sekalipun dalam kondisi peperangan. Perhatikan sabda Rasulullah berikut: “Apabila engkau membunuh (dalam suatu peperangan), maka bunuhlah dengan cara yang baik dan apabila engkau menyembelih pun harus dengan cara yang baik pula.” Berperang dan menyembelih saja, harus dengan cara yang baik, maka menebang pohon, memanfaatkan hasil hutan, menggunakan sumber mata air, tentu harus dengan cara yang sangat sangat baik. Lebih tegas lagi, Islam mengajarkan bahwa memelihara tanaman saja diserupakan nilainya dengan ibadah shadaqah / zakat yang memiliki posisi penting dalam ajaran Islam. Rasulullah juga pernah bersabda: “Barangsiapa memiliki kelebihan air bekas minum, terus air tersebut dituangkan pada pohon, maka itu termasuk shadaqah.”
Selain dari landasan-landasan tersebut, kita juga bisa melihat pendapat para fuqoha (ahli hukum Islam) yang sangat pro lingkungan, dan mengecam keras para perusak lingkungan. Pernyataan Imam Malik dan Abu Hanifah: “Menggunakan hak pribadi yang akan membahayakan orang lain adalah perbuatan melawan hukum (agama). Umpamanya, menggunakan kepemilikan tanah yang membawa kepada kerusakan lingkungan, sehingga membahayakan orang lain”. Imam Ibnu Qudamah dari Mazhab Hambali menyatakan, “Diperlukan adanya peraturan khusus dalam eksploitasi air lewat penggalian (sumur) karena tidak ada hak bagi seseorang mengganggu sumur tetangganya, sehingga berbahaya bagi tetangganya itu atau mengakibatkan merendahnya air dari permukaan atau mengakibatkan polusinya lapisan tanah bebatuan yang mengandung air”.
Melihat realitas perusakan lingkungan yang sangat mengerikan akhir-akhir ini, ada baiknya para ulama di negeri ini lebih memfokuskan kajian dan dakwahnya kepada perbaikan dan pemeliharaan lingkungan. Perdebatan dan pembahasan yang kurang produktif seperti tentang poligami hendaklah disimpan dulu dan beralih kepada peredebatan tentang hukuman seberat apa yang pantas diberikan kepada perusak lingkungan. Gagasan Fiqh Lingkungan seperti yang digulirkan Prof. Abdurrahman di atas, hendaklah disambut oleh para alim ulama negeri ini, sehingga menjadi sebuah disiplin kajian fiqh tersendiri disamping fiqh ibadah yang banyak menyita perhatian umat Islam selama ini. Landasan-landasan yang tertuang dalam Al-Quran, Al-Hadits, bahkan pendapat para ulama terdahulu sudah lebih dari cukup untuk melahirkan sebuah “Fiqh Lingkungan”. Umat manusia di Indonesia, bahkan di seluruh dunia kini menunggu fatwa ulama mengenai wajibnya memelihara lingkungan dan haram serta dosa besarnya orang yang merusak lingkungan dengan dalih apapun.
Terakhir, perhatikan firman Tuhan berikut: “Barangsiapa membunuh seorang manusia dan membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya”.(Q.S. 5:32). Jika orang yang melakukan pembunuhan dengan menggunakan senjata canggih disebut sebagai teroris, maka mengapakah para perusak lingkungan tidak juga disebut teroris, padahal hakikatnya mereka telah melakukan pembunuhan massal terhadap manusia?. Beranikah para ulama kita mengeluarkan fatwa haram dan kalau perlu “halal darahnya” bagi para perusak lingkungan?
Wallaahu A’lam
*) Penulis adalah aktivis Pemuda Persis Jawa Barat
Sumber: http://www.pbb-bandung.org/?p=27
Prof.DR. Mujiyono Abdillah, MA.*: Pemerintah Membuka Peluang Bagi Perusakan Lingkungan?
Sabtu, 16 Desember 2006, www.suara-muhammadiyah.or.id
Lingkungan alam negeri kita yang dulu sangat indah, subur dan menyejukkan, sekarang berubah menjadi gersang, tandus dan menyesakkan. Hal ini diakibatkan adanya pembabatan hutan, penambangan, penggusuran, dan pembakaran lahan. Kita paham bahwa sebenarnya kerusakan dan perusakan lingkungan ini sebagai masalah struktural, dimana ketidak berdayaan aparat negara dan hukum justru menjadi biang utama. Akhirnya rakyat kecil jua yang selalu menjadi korban dan dikorbankan. Benarkah demikian dan bagiamana pandangan Islam terhadap masalah ini, perlukah adanya Fiqh Lingkungan? Lebih jelasnya berikut kita ikuti wawancara Ton Martono dari SM dengan Prof.DR. Mujiyono Abdillah, MA., Direktur LPER (Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Rakyat), Guru Besar IAIN Walisongo Semarang, Direktur Lembaga Investasi Syari’ah (LIS), Staf Pengajar Ilmu Lingkungan UNDIP dan Ekologi Religi Islam, Penulis buku Teologi Lingkungan Islam dan Fiqh Lingkungan
Kenapa kerusakan dan perusakan lingkungan yang terjadi menjadi sulit diatasi, apakah hal ini disebabkan oleh ketidakberdayaan aparat negara dan hukum dalam mengatasi masalah ini?
Kerusakan lingkungan itu penyebabnya macama-macam, tapi satu diantaranya yang paling serius adalah karena masalah ekonomi. Ekonomi disini bisa jadi karena adanya faktor kemiskinan, jadi siapapun atau masyarakat bahwa merusak lingkungan itu karena terdesak oleh kondisi ekonomi yang miskin, istilah lainnya adalah merusak lingkungan itu karena faktor perut. Dalam keadaan darurat lebih penting lingkungannya atau lebih penting perutnya, kita tahu bahwa di Indonesia ini justru mayoritas masyarakatnya miskin jadi perusakan lingkungan ini bisa jadi karena faktor kemiskinan. Misalnya masyarakat petani yang memiliki lahan yang sangat terbatas otomatis mereka kemudian menggunakan lahan yang terbatas itu secara maksimal, kalau mereka tinggal di daerah pegunungan, maka hutan lindung yang mengitarinya bisa dipastikan dibabat habis untuk kepentingan lahan pertanian, tepian sungai yang seharusnya tidak boleh ditanami dengan tanaman-tanaman semusim, mereka terpaksa menggarap lahan-lahan tepi sungai itu.
Melihat fenomena tadi bagaimana cara mengatasinya?
Solusinya dengan pemberdayaan ekonomi mereka supaya tidak miskin dan tidak merusak lingkungan Jadi mereka menebang kayu di hutan untuk dijual karena faktor kemiskinan, tetapi disisi lain ada orang kuat harta sengaja menenabangi kayu di hutan secara liar bukan karena kemiskinan tetapi karena keserakahan. Pembabatan hutan seperti ini merupakan bentuk kejahatan karena mereka mengakumulasikan dan mengeksploitasi untuk memperkaya diri, salah satu contoh melakukan penambangan, penebangan hutan, yang seharusnya tidak merusak, justru melakukan perusakan dengan menggunakan alat-alat berat ini karena keserakahan untuk menuju hidup tuju turunan. Kalau melihat fenomena tadi penanggulangannya harus dengan pendekatan spiritual agama.
Secara struktural siapa sesungguhnya yang diuntungkan dalam perusakan lingkungan ini?
Secara struktural pemerintah justru membuka peluang dalam perusakan lingkungan, Departemen Kehutanan misalnya mengeluarkan izin prinsip kepada pengusaha tentang galian C , kalau kemudian terjadi kerusakan lingkungan mereka tidak peduli, karena sudah mengantongi izin, memang secara yuridis sudah benar, Tapi kemudian ketika mengadakan eksplorasi dan eksploitasi ditemukan kandungan gas dan minyak mereka dengan rakusnya tidak hanya membabati hutan tapi sekaligus menggali dengan kasarnya, ini jelas kesalahan struktural karena akan terjadi kerusakan yang lebih parah. Karena kesalahan ini merupakan kesalahan struktural maka pertobatannya juga harus secara struktural, eksekutifnya, legislatifnya harus tobat, dan saya kira izin prinsip yang berpeluang menyebabkan kerusakan lingkungan harusa dihentikan.
Kenapa dalam kerusakan dan perusakan lingkungan itu bisa dipastikan rakyat kecil selalu menjadi korban dan dikorbankan?
Karena rakyat kecil itu memiliki nasib yang tidak menguntungkan, meraka tidak mempunyai kekuasaan dan tidak memiliki kekuatan apa-apa, sehingga bila terjadi perusakan dan kerusakan lingkungan rakyat kecil selalu dijadikan korban, bahkan mereka tidak mampu melakukan pembelaan dalam setiap sengketa yang terjadi, karena itu mereka selalu dikalahkan. Yang lebih ironis lagi adalah sudah tahu rakyatnya lemah masih ditindas baik oleh pengusaha maupun oleh pemerintah.
Jadi perusakan dan kerusakan lingkungan itu terjadi sebagai masalah kultural dan moral?
Satu sisi penyebabnya bisa karena kultural dan disisi lain penyebabnya karena masalah moral, bahkan satu lagi penyebabnya karena struktural. Secara moral terjadi karena sekarang ini ada tuntutan materialisme dan hedinistik, bahwa hidup berkelebihan dan hidup bermewah-mewahan ini kan menjadi way of life, hidup serba glamour dan foya-foya baik pengusahanya maupun pejabatnya sama saja.
Melihat fenomena tadi masyarakat menjadi terjangkit untuk melakukan hal yang sama. Supaya hal ini tidak berkembang, maka diperlukan yang namanya etika lingkungan. Dan Islam kan mengajarkan adanya panduan yang namanya etika lingkungan Islam.
Mengapa kearifan kultural lokal yang dulu mampu menjadi penghambat perusakan lingkungan kini kurang berfungsi?
Kearifan lokal yang dulu bersahabat dengan lingkungan itu tumbuh berkembang pada masyarakat yang agraris. Ketika terjadi transformasi perubahan besar dari masyarakat agraris kepada industri, disinilah kearifan lokal itu kemudian bergeser. Di dalam masyarakat tertentu yang masih memiliki kearifan lokal ada upacara-upacara tradisional dalam rangka untuk melestarikan lingkungan, tetapi kemudian saekarang bergeser, satu sisi bergesernya kearifan lokal itu adalah satu sikap perubahan dari transformasi era agraria ke era industrialisasi. Kemudian bisa juga karena rasionalisasi, kearifan lokal itu dulu disebut “ gugon tuhon” artinya nenek moyang kita memiliki keyakinan seperti ini, maka turunannya melakukan upacara ritual, Tapi kemudian rasionalisme yang dangkal dan radikal itu menganggap upacara ritual itu tidak masuk akal seperti sedekah laut, sesaji gunung dan sebagainya, karena Muhammadiyah itu termasuk aliran agama islam yang lebih cenderung rasionalisme maka kemudian ketika melihat upacara ritual itu juga salah satu dakwah Muhammadiyah ini adalah mengiliminasi kearifan lokal tadi (maaf kalau hal ini sedikit menyinggung Muhammadiyah) tanpa pilah-pilah semua itu dianggap tahayul, bid’ah dan khurafat (tbc).
Lalu sekarang ini terjadi keresahan sebab Muhammadiyah diakui atau tidak diakui sebagai salah satu penyebab hilangnya kearifan lokal dalam masyarakat tertentu. Padahal sebenarnya kita harus melakukan resening bahwa kearifan lokal misalnya sedekah bumi, kali, hutan dan sedekah laut substansi dan artikulasi sebenarnya apa yang ada disana, sebenarnya masayarakat nelayan itu adalah masyarakat yang tergantung dengan laut, hidupnya tergantung berkahnya laut oleh karena itu sebagai rasa sukurnya dan rasa terimakasihnya masyarakat terhadap laut maka kemudian mereka melakukan upacara ritual berupa “ larungan” antara lain membawa sesaji sebagai simbul, nah Muhammadiyah melihatnya bukan dari simbolisasinya tetapi musyriknya. Jadi menurut saya yang harus kita tangkap adalah spirit dari kearifannya itu bukan perbuatan musyriknya.
Kenapa secara moral dan etika individu dari warga masyarakat belum bisa menjadi benteng pertahahanan untuk menghambat lajunya perusakan lingkungan?
Kalau kita lihat kasus perkasus sebenarnya banyak semangat etika individu yang melestarikan lingkungan misalnya di Jawa Barat ada seorang nelayan atau petani tambak yang tergiur dengan tren udang maka semua melakukan satu usaha perikanan udang windu yang padat modal tapi memang sekali berhasil milayran rupiah bisa diraup, tetapi bila gagal langsung jatuh, sementara petambak tradisional, penghasilan biasa-biasa saja tidak menyolok, ketika ada orang beramai-ramai menebang pohon bakau ada seorang tokoh lingkungan yang mencegahnya karena pohon bakau merupakan satu ekosistem yang sangat penting. Jadi ada etika moralitas individu untuk kalangan tertentu dan ini perlu kita kembangkan. Masyarakat kita adalah masyarakat primordial, maka perlu ketokohan dan keberhasilan seorang tokoh akan diikuti oleh anggota masyarakat ini barangkali yang perlu kita kembangkan perlu didukung, jadi selain semangat etika dan moral secara individu tetapi juga perlu dukungan moral dari landasan-landasan spiritual, disinilah perlu yang namanya dakwah lingkungan, jadi khotbah-khotbah itu sebaiknya juga diisi dengan upaya pelestarian lingkungan karena itu perlu penyadaran satu sisi adalah melalui nilai positif dari primordialism keteladanan saeseorang tetapi disisi lain perlu juga pencerahan spiritual bahwa ajaran agama kita itu ternyata sangat apresiatif terhadap pelestarian lingkungan. Sekarang ini diakui atau tidak kalangan agamawan itu belum banyak yang peduli terhadap masalah lingkungan. Jadi kerusakan lingkungan itu bukan hanya tanggungjawab individu tetapi merupakan tanggungjawab kita bersama masyarakat, pengusaha, legislatif dan pemerintah.
Melihat fenomena tersebut bagaimana pandangan Islam (ajaran agama) kaitannya dengan masalah lingkungan?
Sebenarnya agama Islam itu sangat netral, tapi kemudian ketika Islam itu berkembang maka bisa jadi seakan-akan Islam permisif terhadap kerusakan lingkungan. Sehingga sekarang ini tergantung bagiaman kita akan mengembangkan agama Islam itu seperti apa, misalnya ketika orang ramai-ramai terkena salah satu paham dan juga terkena imbas perkembangan ilmu dan teknologi, Islam tidak ikut-ikutan karena Islam itu sangat menghargai manusia. Karena manusiaa sebagai makhluk istimewa ciptaan Allah, pemahaman yang seperti ini adalah pemahaman yang kurang bersahabat dengan lingkungan. Karena menganggap bahwa manusia adalah segala-galanya, faham seperti itu hingga sekarang masih ada dan berkembang di lingkungan masyarakat, kalau hal itu dikembangkan terus, berarti mendorong kita untuk merusak lingkungan. Padahal sebenarnya agama Islam itu bisa kita kemas menjadi agama yang holistis, agama yang proporsional dan agama yang ramah terhadap lingkungan, jadi artikulasi keramaham agama terhadap lingkungan ini yang harus kita kembangkan. Mencari rejeki mengelola sumberdaya lingkungan itu dianjurkan tetapi harus ada tanggungjawab, kalau kita mau menggunakan maka kita juga harus bersedia merawat dan melestarikan. Disini ada tiga pilar etika Islam yang pertama adalah asas tanggungjawab yang kedua asas penghematan dan ketiga asas peri kemakhlukan. Jadi dalam Islam dikembangkan bahwa hidup itu harus hemat sebab sumberdaya alam ternyata terbatas, energi matahari juga terbatas, kalau sumber itu sampai habis maka habis pula riwayat manusia. Disamping itu sumber air juga terbatas, maka kita harus hemat air, kita setiap hari menggunakan air tetapi kita tidak pernah berfikir bagaimana kita bertanggungjawab untuk membangun sumber air itu dari mana, bahwa sumebr air itu dari pohon yang bisa menyimpan air. Kita tidak pernah berfikir bahwa jariyah pohon itu termasuk amal jariyah yang bisa melestarikan kehidupan kita. Kalau kita wakaf hanya untuk Masjid untuk pondok pesantren, untuk sekolahan tetapi kita tidak pernah wakaf untuk hutan, untuk taman,dan seterusnya, kita bikin rumah tetapi tidak pernah befikir bagaimana membuat sumur resapan. Jadi kalau kita mau membangun apa saja harus memiliki tanggungjawab bahwa sumebr air itu asalnya dari mana, nah disitulah sebenarnya kami mengembangkan yang namanya Fiqh Lingkungan.
Apa yang dimaksud Fiqh Lingkungan itu?
Sebagai penjabaran dari agama Islam yang kita yakini adalah ramah terhadap lingkungan, maka untuk bisa dijabarkan dalam panduan-panduan yang lebih operasional, nah disitulah adanya pedomena yang disebut sebagai Fiqh Lingkungan. Fiqh Lingkungan itu diperlukan untuk panduan opersional dalam membangun fasilitas kehidupan manusia dengan dilengkapi lingkungan yang asri taman-taman yang rindang sejuk dan indah dipandang konsep ini sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Ton.
* Guru besar IAIN Walisongo Semarang
Sumber: http://immunnes.blogspot.com/2006/12/sabtu-16-desember-2006-www.html
Agama dan Kesinambungan Ekosistem
Written by Muhibuddin Hanafiah, S.Ag.,M.Ag,
05-06-2008 10:08
Kerusakan lingkungan semakin hari semakin parah. Kalau didiamkan, berarti kita merelakan kerusakan itu tanpa bisa berbuat apapun untuk menghentikannya. Sebab, lingkungan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia itu sendiri, baik masa sekarang maupun masa yang akan datang. Bila lingkungan mengalami kerusakan, boleh jadi generasi manusia sekarang masih bisa bertahan hidup. Namun bayangkan, bagaimana nasib anak cucu masa mendatang?
Semua makhluk hidup di planet bumi ini sangat bergantung pada lingkungannya, tidak terkecuali manusia. Hubungan simbiosis (saling ketergantungan) antara manusia dengan lingkungan di sekitarnya sangat menentukan kesinambungan antar keduanya. Dengan kata lain, kelangsungan hidup (manusia dan alam) sangat tergantung ada sikap dan perilaku manusia sebagai Khalifah fil Ardh (subjek atau pengelola) bumi. Walaupun sebagai subjek terhadap alam, manusia tidak serta merta dapat memperlakukan alam sekehendaknya. Alam dengan lingkugannya akan melakukan reaksi (perlawanan) terhadap manusia yang mengakibatkan kepunahan umat manusia di bumi. Peran manusia sebagai subjek atas alam tidak mengurangi keharusan manusia dalam kebergantungannya pada lingkungan. Ini artinya, melestarikan lingkungan sama nilainya dengan memelihara kelangsungan hidup manusia dan segala yang eksis di alam. Sebaliknya, merusak lingkungan hidup, dengan bentuk apapun, merupakan bumerang yang serius bagi kelangsungan kehidupan di alam dengan segala isinya ini, termasuk manusia.
Dalam konteks Aceh, cagar alam yang harus dijaga kesinambungannya adalah Taman Nasional Gunung Leuser atau biasa disingkat TNGL. TNGL adalah sebuah kawasan cagar alam berstatus taman nasional yang terletak di perbatasan Provinsi NAD dan Provinsi Sumatera Utara, meliputi wilayah-wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh Sinkil, Aceh Selatan, Gayo Lues dan Langkat. Empat kabupaten pertama termasuk wilayah administrasi NAD dan satu kabupaten terakhir adalah termasuk wilayah Sumatera Utara.
Taman nasional ini mengambil nama dari Gunung Leuser yang menjulang tinggi dengan ketinggian 3404 meter di atas permukaan laut. TNGL meliputi ekosistem alam dari pantai sampai pengunungan tinggi yang diliputi oleh hutan tropis. TNGL merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan pantai, dan hutan hujan tropika dataran rendah sampai pengunungan. Dengan ciri hampir seluruh kawasan ditutupi oleh lebatnya hutan dipterocarpaceae dengan beberapa sungai dan air terjun. Di dalamnya juga terdapat tumbuhan langka dan khas yaitu daun payung raksasa, bunga raflesia serta rhizanthes zippelnii yang merupakan varian bunga terbesar dengan diameter 1,5 meter. Selain itu juga terdapat tumbuhan yang unik yaitu ara atau tumbuhan pencekik. Demikian juga dengan satwa liar, langka dan dilindungi, antara lain mawas, orangutan, siamang, gajah, badak dan harimau Sumatera, kambing hutan, rangkong, rusa sambar dan kucing hutan.
Taman Nasional Gunung Leuser secara resmi ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai Cagar Alam Nasional 1980. UNESCO juga menetapkan taman nasional ini sebagai Cagar Biosfir. Berdasarkan kerjasama antara Indonesia – Malaysia, juga ditetapkan sebagai “Sister Park” dengan Taman Negara National Park di Malaysia. (http://dephut.go.id/informasi/tn%20indo-english/tn_leuser.htm akses /11/9/2007).
Dalam kontalasi tatanan dunia global sekarang ini, TNGL tidak saja menjadi milik dan kepentingan masyarakat lokal di Aceh, atau masyarakat Indonesia dalam skala nasional semata. Bahkan TNGL adalah milik masyarakat dunia. Hutan dengan segala isi hayatinya yang ada di TNGL adalah sangat penting bagi paru-paru bumi. Jadi, masyarakat dunia berkewajiban memelihara kelestarian hayati tersebut demi kelangsungan kehidupan di planet bumi.
Agama ramah Lingkungan
Islam sebagai agama paripurna, memiliki ajaran yang universal dan konprehensif. Islam sejak dirisalahkan oleh para utusan Tuhan telah memusatkan perhatian pada masalah lingkungan. Terlebih dalam misi yang disampaikan Nabi Muhammad SAW, baik melalui kitab al-Qur’an maupun hadits. Kedua referensi dasar Islam dimaksud secara intern memaparkan issu-issu lingkungan kepada umat manusia, antara lain disebutkan bahwa alam ini diciptakan atas sistem yang padu, utuh dan integratif (QS. al-Baqarah: 164). Kehidupan di bumi sebagai bagian dari keteraturan alam jagad raya dengan hukumnya yang ajeg. Untuk menjaga dan memelihara kelangsungan kehidupan (sustainable) di bumi dengan segala keanekaragaman (diversity) hayati, Tuhan menfasilitasi bumi ini dengan sirkulasi musim, hujan, gumpalan awan berarak dan angin secara apik (QS. al-Fathir: 9,27-28, Yasin: 33-34, Rum:48, Qaf:9). Semua itu hanyalah diperuntukkan bagi kenikmatan manusia di bumi. Namun harus diingat oleh manusia bahwa daya dukung alam juga ada batasnya. Karena itu manusia harus memperlakukan alam ini dengan baik dan benar. Hal ini menyangkut etika dengan lingkungan alam salah satunya. Bagaimana manusia membangun sikap proporsional ketika berhadapan dengan lingkungan. Sehingga lingkungan dapat terpelihara dan terjaga kelestariannya sepanjang generasi umat manusia.
Akan tetapi realitas tidak seindah harapan. Tuhan tahu akan perangai manusia tersebut, karena itu manusia diingatkan. Manusia lupa bersyukur (berterima kasih) atas segala nikmat indahnya alam yang diciptakan Tuhan ini (QS. Luqman: 20). Manusia justru kurang bersahabat dengan alam dan lingkungannya. Perihal perilaku destruktif ini, telah diingatkan al-Qur’an maupun hadits nabi. Al-Qur’an menyebutkan bahwa kerusakan di alam (daratan dan lautan) akibat ulah kejahatan manusia. Sehingga berbagai akibat dari perusakan itu ditanggung, oleh manusia juga (QS. al-Baqarah: 205, al-Rum: 41, al-Qashshash: 77). Sementara Nabi juga mengingatkan umat manusia perihal menjaga lingkungan. Salah satu sabda beliau yaitu; “Diriwayatkan dari Mu`az, Rasulullah saw menegaskan, takutlah kalian tiga perbuatan yang dilaknat. Pertama buang air besar di jalan, kedua di sumber air dan ketiga di tempat berteduh (HR. Ibnu Majah). Bahkan di hadits yang lain ditambahkan, Rasulullah SAW juga melarang buang air besar di lubang binatang dan di bawah pohon yang berbuah. Apresiasi Nabi terhadap kelestarian lingkungan amatlah jelas. Sisi gelap manusia terhadap alam sebagaimana disinyalir Tuhan di atas, kiranya menyadarkan manusia akan kekhilafnya itu. Jangankan merusak lingkungan seperti menebang pohon, mengganggu atau mencemari alam sekitar saja tidak dibenarkan.
Kedua rujukan dasar Islam di atas sayogianya dapat dipahami substansinya bagi upaya melestarikan lingkungan hayati yang ada di sekitar kita. Membangun pemahaman terhadap nash agama berkenaan dengan pengungkapan tentang lingkungan dengan cara memihak dan memandang isu lingkungan sebagai suatu yang serius.
Manusia kontra agama
Ironisnya, manusia seakan tidak pernah merenung dan mengambil i`tibar (pelajaran), apalagi jera di balik kemarahan alam. Bencana alam datang menimpa silih berganti. Bencana alam telah benar-benar mengancam hidup manusia. Berbagai tanda-tanda keengganan alam untuk dieksploitir manusia kini akrab menimpa manusia. Eksploitasi hutan dan rimba tanpa mempertimbangkan kesinambungan ekosistemnya menyebabkan hutan kehilangan daya dukungnya bagi konservasi air dan tanah, dan banjir, longsor pun datang. Kerakusan manusia merambah hutan telah mengakibatkan korban jiwa manusia tidak berdosa tak terhitung. Perubahan iklim secara ekstrem tanpa bisa dipredikskan sebelumnya adalah dampak lain dari kerusakan lingkungan oleh ulah manusia. Klimaknya, pemanasan global sebagai efek dari ketidakpahaman manusia terhadap alam pun tak terhindarkan.
Eksploitasi hutan melalui pembalakan liar maupun legal yang dilakukan secara besar-besaran tanpa memperhatikan kelangsungan kehidupan generasi mendatang merupakan tindakan kriminal yang harus dicegah oleh negara dan masyarakat. Hutan lindung, hutan konservasi dan kawasan yang dilindungi lainnya harus diselamatkan mulai sekarang dari kepunahannya. Untuk itu semua pihak perlu memikirkan suatu upaya penyelamatan lingkungan hutan, tidak terkecuali kaum intelektual dan komunitas agama. Masing-masing mereka, sesuai dengan kapasitasnya, tentu memiliki pendekatan tersendiri untuk mengajak masyarakat menjaga kelestarian hutan.
Islam dan Fiqih Lingkungan
Dalam perspektif Islam, salah satu pendekaan yang dapat digunakan adalah dengan membangun paradigma fiqih lingkungan. Yaitu membangun suatu pemahaman yang komprehensif, utuh dan terpadu terhadap substansi ajaran Islam yang berbicara tentang pelestarian lingkungan hidup (Gunawan Adnan, Opini Serambi 29/9/07).
Melalui kerangka berpikir yang konstruktif terhadap ajaran agama ini diharapkan lahir suatu formula logis bagi upaya penyelamatan lingkungan. Bila selama ini wacana yang berkembang dalam kajian fiqih konvensional kurang menekankan aspek lingkungan yang lebih luas, maka melalui paradigma fiqih bisa memberi masukan yang universal.
Fiqih lingkungan adalah kerangka berfikir konstruktif umat Islam dalam memahami lingkungan alam, bumi tempat mereka hidup dan berkehidupan. Membangun pemahaman masyarakat tentang pentingnya memelihara konservasi air dan tanah dengan melindungi hutan dari eksploitasi, dari penebangan hutan dan pembalakan liar adalah termasuk kewajiban agamawan. Melindungi seluruh ekosistem hutan yang ada di dalamnya adalah bagian yang dianjurkan agama. Menjadikan semua upaya itu sebagai kewajiban moral terhadap sesama makhluk Tuhan yang bernilai ibadah.
Sebaliknya, mengabaikan lingkungan sama maknanya dengan melakukan tindakan tercela yang dilarang keras oleh agama. Pelakunya melanggar sunnatullah, mengingkari eksistensi kemakhlukan, kemanusiaan dan sekaligus melawan keharmonisan alam ciptaan Tuhan yang bersahaja ini.
Paradigma berfikir konstruktif dengan menjadikan ajaran agama sebagai landasannya inilah yang dimaksudkan dengan ‘paradigma fiqih lingkungan’, tentu dalam pengertiannya yang luas dan terbuka. Akhirnya, agama diharapkan memainkan perannya yang signifikan bagi upaya penyelamatan lingkungan. Sekali lagi, tentu melalui penafsiran yang lebih cerdas, arif dan terbuka bagi segenap interpretasi persoalan-persoalan baru dan aktual.
Dalam konteks pelestarian ekosistem lingkungan di Aceh, terutama Taman Nasional Gunung Leuser, semua pihak harus memahami fiqih lingkungan—dalam definisi luas. Dan tentu saja Qanun pelestarian lingkungan sangat mendesak disahkan, mengingat tindakan melawan hukum di hutan nyaris tidak terbendung lagi dengan perangkat hukum yang ada sekarang. Penyebaran polisi hutan ke kawasan konservasi alam, diyakini belum mampu menghentikan pembakalan liar, illegal logging dan tindakan perusakan hutan lainnya. Akhirnya, semua pihak harus kita ajak untuk mau mengatakan “Save Our Forest”, “Stop Illegal Logging”.
Muhibuddin Hanafiah, S.Ag.,M.Ag | Mahasiswa Education Program Afialite Schoolars, East West Center University of Hawaii, Honolulu Amerika Serikat.
Sumber: http://id.acehinstitute.org/index.php?
LINGKUNGAN DALAM PERSFEKTIF ISLAM
Oleh : Decky Umamur Rais *)
Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan penuh harap (akan dikabulkan). Sesungguhnya, rahmat Allah sungguh dekat dengan orang-orang yang berbuat baik..
(QS. al-A’raf/7: 56)
Eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam dilihat sebagai penyebab utama terjadinya bencana alam seperti longsor maupun banjir di Indonesia dalam kurun waktu setahun terakhir ini. Bencana alam ini tidak hanya telah mengakibatkan ratusan manusia kehilangan nyawa, tetapi juga ribuan manusia kehilangan tempat tinggal mereka.
Bencana lingkungan seperti tsunami, banjir, tanah longsor, lumpur, dan gempa adalah sederet bencana yang datang silih berganti. Tetapi, bencana-bencana tersebut tidak selamanya disebabkan faktor alam. Banjir dan tanah longsor misalnya, merupakan bencana yang tidak bisa dipisahkan dengan faktor manusia yang kurang ramah dengan alam dan lingkungannya sendiri.
Malapetaka ini disebabkan oleh rusaknya lingkungan dan hancurnya ekosistem alam, krisis ekologi, karena kerakusan manusia, eksploitasi liar tan pa henti terhadap alam adalah bukti kngkrit pada saat ini.
Dalam pelajaran ekologi manusia, kita akan dikenalkan pada teori tentang hubungan manusia dengan alam. Salah satunya adalah anthrophosentis. Di sana dijelaskan mengenai hubungan manusia dan alam. Dimana manusia menjadi pusat dari alam. maksudnya semua yang ada dialam ini adalah untuk manusia.
Allah SWT. juga menjelaskannya dalam Al Qur’an, bahwa semua yang ada dialam ini memang sudah diciptakan untuk kepentingan manusia.“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (al Baqarah: 29). tapi berbeda dengan anthoroposentris yang menempatkan manusia sebagai penguasa yang memiliki hak tidak terbatas terhadap alam, maka islam menempatkan manusia sebagai rahmat bagi alam..“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”(al Anbiyaa’:107)
Kita sudah sama-sama tahu bahwa, pemanfaatan alam yang berlebihan selama ini telah menimbulkan dampak negatif yang besar bagi manusia dan alam itu sendiri. Rusaknya hutan, bencana banjir, tercemarnya air, tanah dan udara. Semua itu merupakan contoh nyata dari hasil pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebih-lebihan. Allah SWT memang melarang kita berlebih-lebihan dalam memanfaatkan alam.“…dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (al An’am:141).
Akibat perbuatan manusia yang rakus manusia saat ini besok dan dimasa yang akan datang harus menanggung resiko menghadapi kekuatan alam yang maha dahsyat. Langkah strategis perlu dilakukan denagan melakukan pendekatan-pendekatan yang lebih spritualis. Hal ini dilakukan untuk mengimbangi strategi melalui jalur sains dan jalur-jalur lainnya yang mulai terhambat.
Pengendalian kerusakan lingkungan harus dimulai dari pengendalian manusia sebagai subjek atas lingkungan lingkungan itu sendiri. Adalah hal yang fatal ketika harus mendikotomikan antara peran lingkungan dan manusia, karena manusia adalah bagian dari tata ekosistem lingkungan itu sendiri dan itu sudah given tidak bisa diutak atik lagi.

Indonesia Kini
Ketika alam sudah marah, siapakah yang salah? Alamkah atau manusia terlalu serakah? Tapi fakta membuktikan, manusia seringkali memperlakukan alam secara tidak proporsional. Padahal semestinya manusia bersikap ramah terhadapnya.
Sebuah rekor yang patut disayangkan dan memalukan. Negara masuk buku rekor dunia (Guinness World Records) yang dirilis bulan September pada tahun ini. Indonesia dijuluki sebagai perusak hutan tercepat di dunia dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 % dari luas hutan di dunia.
Atas penilaian itu, kita sebenarnya tak perlu mencari alasan untuk memungkirinya. Bagaimana pun, kita mesti mengakui, kasus pembalakan hutan secara liar telah menjadi fakta. Sudah tak terhitung jumlah hutan yang digunduli oleh tangan-tangan usil tak bertanggung jawab. Dalam surat resmi berisi sertifikat yang dikirimkan oleh Green Peace tercatat, sekitar 1,8 juta hektare hutan yang dihancurkan pertahun mulai tahun 2000 sampai 2005, berarti kehancuran hutan sekitar 2 % atau 51 kilometer perhari. Sungguh luar biasa. Saking parahnya, anggota Komisi V (Bidang Kehutanan), Tamsil memperkirakan + 40-50 tahun lagi, hutan Indonesia akan pulih seperti sedia kala.
Lebih lanjut, Hasporo menjelaskan penyebab deforestasi (penurunan luas hutan) adalah illegal logging (penebangan hutan tanpa izin pemerintah), legal loging (penebangan hutan dengan izin melalui HPH -Hak Pengelola Hutan- dan HTI -Hutan Tanaman Industri) dan juga akibat kebakaran hutan. Kasus deforestasi ini, menurut juru kampanye hutan Green Peace, Bustar Maitar juga memberi dampak pada sumbangan emisi gas rumah kaca yang mengakibatkan global warming (pemanasan global). Dalam hal ini, Indonesia termasuk penyumbang terbesar ketiga setelah Amerika dan Tiongkok. Ini artinya, Indonesia juga turut ambil bagian atas terjadinya pemanasan global.
Jika masalah kerusakan hutan tak segera ditangani, bukan tidak mungkin hutan di Indonesia akan punah. Dalam hal ini, pemerintah sebenarnya telah mempunyai agenda berupa penghentian penebangan sementara (moratorium). Hanya saja, pemerintah masih lemah dalam penegakan hukum. Masih banyak penebang liar yang lolos dari jeratan hukum. Ini pasti ada pihak aparat yang menyusup menjadi si ‘Raja Hutan’.
Padahal, dampak kerusakan hutan ini sungguh berbahaya. Sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan rentan bencana. Baik bencana kekeringan, maupun tanah longsor. Sejak 1998 sampai pertengahan 2003, telah terjadi 647 bencana di Indonesia dengan korban 2.022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah. 85 % berupa banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan. (baca: JP, Jum’at 04 Mei 2007)
Selain itu, kerusakan hutan bisa menimbulkan polusi udara, yang menyebabkan mewabahnya pelbagai penyakit, seperti saluran pencernaan, influenza, pernafasan, lading paru-paru, jaringan kulit dan sebagainya. Kita tentu tak ingin dampak buruk ini terjadi di negeri kita. Karena itu, pemerintah harus secepatnya melakukan renovasi hutan, apalagi pada tahun ini, anggaran sebesar 4.2 triliyun dialokasikan untuk keperluan rehabilitasi hutan.
Relasi Peran dan Fungsi Agama (Islam) dengan Lingkungan
Ajaran Islam menawarkan kesempatan untuk memahami Sunatullah serta menegaskan tanggung jawab manusia. Ajaran Islam tidak hanya mengajarkan untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, tetapi juga mengajarkan aturan main dalam pemanfaatannya dimana kesejahteraan bersama yang berkelanjutan sebagai hasil keseluruhan yang diinginkan.
Salah satu Sunnah Rasullullah SAW menjelaskan bahwa setiap warga masyarakat berhak untuk mendapatkan manfaat dari suatu sumberdaya alam milik bersama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sepanjang dia tidak melanggar, menyalahi atau menghalangi hak-hak yang sama yang juga dimiliki oleh orang lain sebagai warga masyarakat. Penggunaan sumberdaya yang langka atau terbatas harus diawasi dan dilindungi
Pemahaman untuk melindungi lingkungan hidup merupakan bagian dari perwujudan ibadah manusia Sebagai khalifah, dimuka bumi ini.
Diperlukan pandangan yang arif dan komprehensif agar dapat melihat persoalan-persoalan di lingkungan secara bijaksana agar dapat memberikan solusi yang terbaik. Terdapat empat hal dalam memahami masalah lingkungan, diantaranya, pendekatan scientific (pembuktian empiris, penelitian, kajian ilmiah), konstruksi sosial budaya (interpretasi sosial budaya terhadap alam lingkungan), dan agama (teologi)
Peran agama dalam hal ini adalah memberikan ruang integrasi berbagai kearifan (keilmuan, budaya, politik, ekonomi, dsb), untuk menjadi kanal dari terbentuknya transformasi sosial, serta menyediakan wahana untuk memahami peristiwa alam contoh, kasus Merapi yang diinterpretasikan lain oleh setiap orangnya.
Masalah lingkungan diantara posisi agama dalam lingkungan, merupakan masalah non-market but moral issues. Sistem nilai dalam agama akan sangat membantu dalam mendukung keberlanjutan kehidupan manusia dengan memberikan kesempatan bagi generasi mendatang untuk menghuni bumi dengan segala lingkungannya yang masih asri. Tak ada satu ajaranpun yang mengajarkan atau memberi hak kita untuk memakai alam ini seenaknya.
Agama dan lingkungan, membentuk pandangan baru terhadap alam, misalnya melalui pemahaman kontekstual kitab-kitab suci dan tradisi religius keagamaan tentang alam, meningkatkan kesadaran untuk membangun basis untuk aksi, baik melalui fiqih lingkungan/teologi lingkungan, pemuka agama, dan lembaga keagamaan.
Islam menekankan umatnya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan berlaku arif terhadap alam (ecology wisdom). Dalam QS. al-Anbiya/21: 35-39 Allah mengisahkan kasus Nabi Adam. Adam telah diberi peringatan oleh Allah untuk tidak mencabut dan memakan buah khuldi. Namun, ia melanggar larangan itu. Akhirnya, Adam terusir dari surga. Ia diturunkan ke dunia. Di sini, surga adalah ibarat kehidupan yang makmur, sedangkan dunia ibarat kehidupan yang sengsara. Karena Adam telah merusak ekologi surga, ia terlempar ke padang yang tandus, kering, panas dan gersang. Doktrin ini mengingatkan manusia agar sadar terhadap persoalan lingkungan dan berikhtiar melihara ekosistem alam.
Selain itu kita juga harus mampu memahami konteks missi Islam sebagai Rahmatan Lil Alamiin atau rahmat bagi sekalian alam. Kata alam disini jelas bukan hanya makhluk hidup seperti mausia dan binatang, tetapi juga alam semesta. Bahkan jika melihat Al-Quran , dipastikan akan banyak ditemui ayat-ayat yang berbicara tentan lingkungan hidup.
Mantan Rais Aam PBNU KH Ali Yafie dalam bukunya Merintis Fiqih Lingkungan HIdup (2006) mengatakan, sekitar 95 ayat Al-Quran berbicara tentang lingkungan hidup beserta larangan-larangan Allah SWT untuk berbuat kerusakan. Antara lain QS Al-Baqoroh 11, 12, 27, 30, 60, 220, 251; Ali Imran : 63; Al-Maidah: 64; dan Al-A’raf : 56, 74, 85, 86, 103, 127, 142. Demikian pula hadist-hadist nabi yang berbicara tentang lingkungan hidup juga tidak sedikit. Salah satu contohnya adalah keteadanan rosulullah SAW yang menganjurkan pemeliharaan lingkungan . “ Barang siapa yang memotong pohon sidrah maka Allah akan meluruskan kepalanya tepat kedalam neraka” (HR. Abu Dawud dalam Sunan-Nya).
Jauh sebelumnya, Islam sebenarnya telah mewanti-wanti kepada kita agar berbuat ramah terhadap alam dan lingkungan sekitar. Islam telah memberi tuntunan bagaimana kita berinteraksi dengan lingkungan.
Jagad raya ini diciptakan oleh Tuhan supaya manusia bisa melanjutkan evolusinya hingga mencapai tujuan penciptaan. Karenanya, seluruh potensi alami memiliki manfaat untuk tujuan yang sama. Tak ada yang sia-sia. Pada surat Shad ayat 27, Tuhan berfirman, “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah”. Jadi, Tuhan tidak pernah menciptakan makhluk kecuali ada tujuan agung yang akan dicapai. Tuhan berfirman dalam surat al-Ahqaf ayat 3 :”Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan.”
Salah satu tujuan penciptaan alam adalah untuk menjaga keseimbangan. Penciptaan hewan, tumbuh-tumbuhan, air, batu-batuan dan gunung berfungsi sebagai pengokoh bumi agar tidak goyah dan terhindar dari banjir dan erosi. Langit dan hujan berguna untuk menumbuhkan tanaman di bumi. Semua itu bertujuan sebagai ekosistem kehidupan manusia. Semuanya telah diukur sesuai kadarnya. Sehingga, ketika salah satu komponen isi alam raya ini terganggu, maka yang lainya ikut terganggu pula (Zad al-Masir, IV, 58, )
Secara tersirat, pengaturan ciptaan itu dapat kita ketahui dari beberapa ayat dalam al-Quran, antara lain pada surat al-Hijr ayat 9: “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran.”
Dan pada surat Luqman ayat 10: “Dia (Allah) menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembangbiakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik”.
Kita harus menyadari bahwa semua makhluk hidup di muka bumi ini hidup serba ketergantungan antara satu dengan lainnya. Tanaman, hewan dan kekayaan alam lainnya butuh perawatan dari kita agar keberlangsungan hidupnya terjaga dengan baik, sebaliknya kita juga memerlukan kekayaan alam untuk bertahan hidup di muka bumi. Jadi, hubungan kita dengan alam bersifat simbiosis mutualisme (saling menguntungkan). Karenanya keseimbangan dan keserasian perlu dijaga agar tidak terjadi kerusakan.
Hal itu memang tugas kita sebagai khalifah fil ardhi. Kita dituntut untuk berhubungan baik dengan alam, baik sesama manusia serta dengan alam dan segala isinya. Kita diharapkan bisa berinteraksi secara harmonis dengan lingkungan. Bersikap ramah dan menjaga kelestarian alam. Tapi kenyataannya, manusia terlalu rakus. Membuat keonaran, kerusakan dan pencemaran serta mengeksploitasi alam secara tidak seimbang. Kekayaan alam hanya dipandang sebagai alat tujuan konsumtif belaka. Ia dianggap tak lebih sebagai piranti mesin-mesin ekonomi. Padahal, lebih dari itu, alam mempunyai peran atas ekosistem kehidupan manusia (Tafsir Alusi, I, 256, Tafsir Razi, XII, 264)
Islam tentu tak merestui tindakan sewenang-wenang dengan memperlakukan alam secara dzalim. Hal itu bisa kita lihat dari anjuran agama dalam beberapa hal. Antara lain: (1) Nabi memberi nama pada benda tak bernyawa agar si ‘empu’-nya juga dihormati layaknya manusia. (2) kita dilarang mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebihan (boros) sehingga mengakibatkan alam kehilangan keseimbangan (3) kita disuruh untuk menghindari dua kutukan, membuang kotoran di jalan dan di tempat orang berteduh (5) kita dilarang mengganggu proses yang dilakukan oleh makhluk sampai mencapai tujuan penciptaannya. Karenanya, kita tidak boleh memetik buah sebelum bisa dipakai untuk dimanfaatkan dan bunga sebelum berkembang. Begitulah salah satu cara Islam memberlakukan alam. Dan cara-cara yang lain tentu masih banyak. (baca: Quraisy Shihab; Membumikan al-Quran)
Lalu bagaimana Islam menanggapi para perusak alam (hutan, gunung, lautan, dll)? Memang, ketika ilmu pengetahuan dan tekhnologi semakin maju manusia akan merasa kuat dan akan melakukan segalanya tanpa perhitungan matang. Tuhanpun mengakui sikap gegabah manusia. Coba kita baca surat al-’Alaq ayat 6-7: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.”
Jauh sebelumnya, Islam telah melarang kita untuk berbuat kerusakan di muka bumi. Tuhan berfirman pada surat al-A’raf ayat 56 : “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.”
Menurut kajian ushul fiqh, ketika kita dilarang melakukan sesuatu berarti kita diperintah untuk melakukan kebalikannya. Misalnya, kita dilarang merusak alam berarti kita diperintah untuk melestarikan alam. Adapun status perintah tersebut tergantung status larangannya. Contoh, status larangan merusak alam adalah haram, itu menunjukkan perintah melestarikan alam hukumnya wajib. (Jam’ul Jawami’, I. 390)
Sementara itu, Fakhruddin al-Raziy dalam menanggapi ayat di atas, berkomentar bahwa, ayat di atas mengindikasikan larangan membuat mudharat (bahaya). Dan pada dasarnya, setiap perbuatan yang menimbulkan mudharat itu dilarang oleh agama. Al-Qurtubi menyebutkan dalam tasfirnya bahwa, penebangan pohon juga merupakan tindakan pengrusakan yang mengakibatkan adanya mudharat. Beliau juga menyebutkan bahwa mencemari air juga masuk dalam bagian pengrusakan. (al-Tafsir al-Kabir, IV, 108-109 ; Tafsir Al-Qurtubi, VII, 226)
Larangan di atas bukan lantas melarang kita memanfaatkan kekayaan jagat raya ini. Sebab kekayaan alam ini diperuntukkan bagi manusia. Kita dibolehkan mengambil manfaat dari kekayan alam ini asal tidak sampai berlebihan. Di samping itu, perlu dicatat untuk konteks Indonesia, memanfaatkan kekayaan alam harus mendapat izin dari pemerintah. Makanya, illegal loging dan pemanfaatan lain secara illegal haram hukumnya. Sebab, mengikuti peraturan yang telah ditetapkan pemerintah adalah sebuah kewajiban yang sangat mengikat, selama peraturan itu tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan demi kemaslahatan rakyat. (Hawasyi al-Syarwaniy, VII, 76 ; al-Fiqh al-Islamiy, V, 505)
Lalu, sanksi apa yang patut diberikan kepada perusak alam? Para pelaku kejahatan harus mendapat ganjaran yang setimpal. “Barang siapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan (telah diperbuat) itu.” (QS. Ghafir: 40)
Kalau kerusakan yang dilakukan tidak sampai mengakibatkan bahaya besar, maka hukuman yang bisa diterima cukup dengan di-ta’zir. Artinya pemerintah bisa menyanksi sesuai dengan kadar kejahatannya. Namun, jika perbuatannya mengakibatkan dampak besar, seperti penebangan pohon secara besar-besaran yang mengakibatkan banjir, longsor, gempa dan musibah lainnya, maka tak ada tawaran lain, pelakunya harus diberi hukuman yang berat. Bahkan, menurut fikih, perbuatan itu termasuk kejahatan besar dan pelakunya sudah sepantasnya dibunuh. Apalagi perbuatan itu telah dilakukan berkali-kali. Begitu juga, pihak keamanan (polisi hutan) yang mendukung aksi illegal logging juga harus dibunuh. Pembunuhan ini berlaku pada setiap tindak kriminal lainnya yang sulit dicegah kecuali dengan cara dibunuh. (Bughyah al-Mustarsyidin, 250; al-Fiqh al-Islamiy, VI, 200 ; al-Islam li Sa’id Hawwa, 585; al-Fiqh al-Islamiy, VI, 200).
Allah memerintahkan kita untuk memakmurkan bumi ini dengan mengelola dan memanfaatkannya dan tidak menyia-nyiakan potensinya. Apalagi sampai pada tingkat, lebih mementingkan kelangsungan hidup satwa atau tumbuhan dari pada kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia. “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (al Baqarah: 29). ” Dia menciptakan langit dan bumi dengan hak. Maha Tinggi Allah daripada apa yang mereka persekutukan. Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata. Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya. (an Nahl: 3-8).
Manusia (Kalifah) Berkewajiban Untuk Melindungi Lingkungan Hidup
Ajaran Islam menawarkan kesempatan untuk memahami Sunatullah serta menegaskan tanggung jawab manusia. Ajaran Islam tidak hanya mengajarkan untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, tetapi juga mengajarkan aturan main dalam pemanfaatannya dimana kesejahteraan bersama yang berkelanjutan sebagai hasil keseluruhan yang diinginkan.
Salah satu Sunnah Rasullullah SAW menjelaskan bahwa setiap warga masyarakat berhak untuk mendapatkan manfaat dari suatu sumberdaya alam milik bersama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sepanjang dia tidak melanggar, menyalahi atau menghalangi hak-hak yang sama yang juga dimiliki oleh orang lain sebagai warga masyarakat. Penggunaan sumberdaya yang langka atau terbatas harus diawasi dan dilindungi. Pemahaman untuk melindungi lingkungan hidup merupakan bagian dari perwujudan ibadah harus dikongkrtkan dalm bentuk dalil-dalil syar’iyah yang bisa dijadikan landasn teologis dalm konservasi lingkungan
Fiqih lingkungan (fiqh al-bi’ah) Sebuah Keharusan
“Kebersihan adalah sebagian dari iman.”
“Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan” (Al-Hadis).
Kasus bencana nasional Lumpur lapindo yang belum usai diporong, sidoarjo seakan merupakan sinyal yang dimaksudkan untuk menggugat kembali komitment agama (Islam) terhadap permasalahan ekologi. Mempertanyakan komitment agama terhadap lingkungan hidup kian menemukan mumentumnya mengingat akan datangnya musim hujan. Berbagai daerah di Tanah Air akan disibukkan dengan permasalahan klasik semisal banjir dan longsor. Padahal, sebelumnya kalau musim kemarau kita diuji dengan kekeringan dan kebakaran hutan.
Islam menekankan umatnya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan berlaku arif terhadap alam (ecology wisdom). Dalam QS. al-Anbiya/21: 35-39 Allah mengisahkan kasus Nabi Adam. Adam telah diberi peringatan oleh Allah untuk tidak mencabut dan memakan buah khuldi. Namun, ia melanggar larangan itu. Akhirnya, Adam terusir dari surga. Ia diturunkan ke dunia. Di sini, surga adalah ibarat kehidupan yang makmur, sedangkan dunia ibarat kehidupan yang sengsara. Karena Adam telah merusak ekologi surga, ia terlempar ke padang yang tandus, kering, panas dan gersang. Doktrin ini mengingatkan manusia agar sadar terhadap persoalan lingkungan dan berikhtiar melihara ekosistem alam.
Akan tetapi, doktrin tersebut tidak diindahkan. Perusakan lingkungan tidak pernah berhenti. Eksplorasi alam tidak terukur dan makin merajalela. Dampaknya, ekosistem alam menjadi limbung. Ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Alam akan menjadi ancaman kehidupan yang serius. Ia senantiasa siap mengamuk sewaktu-waktu.
Karena itulah, merumuskan sebuah fiqh lingkungan (fiqh al-biah) menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Yaitu, sebuah fiqh yang menjelaskan sebuah aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim berdasarkan teks syar’i dengan tujuan mencapai kemaslahatan dan melestarikan lingkungan.
Dalam rangka menyusun fiqh lingkungan ini (fiqh al-biah), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, rekonstruksi makna khalifah. Dalam Al Qur’an ditegaskan bahwa menjadi khalifah di muka bumi ini tidak untuk melakukan perusakan dan pertumpahan darah. Tetapi untuk membangun kehidupan yang damai, sejahtera, dan penuh keadilan. Dengan demikian, manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi ini secara otomatis mencoreng atribut manusia sebagai khalifah (QS. al-Baqarah/2: 30). Karena, walaupun alam diciptakan untuk kepentingan manusia (QS. Luqman/31: 20), tetapi tidak diperkenankan menggunakannya secara semena-mena. Sehingga, perusakan terhadap alam merupakan bentuk dari pengingkaran terhadap ayat-ayat (keagungan) Allah, dan akan dijauhkan dari rahmat-Nya (QS. al-A’raf/7: 56).
Karena itulah, pemahaman bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi ini bebas melakukan apa saja terhadap lingkungan sekitarnya sungguh tidak memiliki sandaran teologisnya. Justru, segala bentuk eksploitasi dan perusakan terhadap alam merupakan pelanggaran berat. Sebab, alam dicipatakan dengan cara yang benar (bi al-haqq, QS. al-Zumar/39: 5), tidak main-main (lab, QS. al-Anbiya/21: 16), dan tidak secara palsu (QS. Shad/38: 27).
Kedua, ekologi sebagai doktrin ajaran. Artinya, menempatkan wacana lingkungan bukan pada cabang (furu), tetapi termasuk doktrin utama (ushul) ajaran Islam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi dalam Riayah al-Biah fiy Syariah al-Islam (2001), bahwa memelihara lingkungan sama halnya dengan menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid al-syariah). Sebab, kelima tujuan dasar tersebut bisa terejawantah jika lingkungan dan alam semesta mendukungnya. Karena itu, memelihara lingkungan sama hukumnya dengan maqashid al-syariah. Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan, ma la yatimmu al-wajib illa bihi fawuha wajibun (Sesuatu yang membawa kepada kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya wajib).
Ketiga, tidak sempurna iman seseorang jika tidak peduli lingkungan. Keberimanan seseorang tidak hanya diukur dari banyaknya ritual di tempat ibadah. Tapi, juga menjaga dan memelihara lingkungan merupakan hal yang sangat fundamental dalam kesempurnaan iman seseorang. Nabi bersabda bahwa kebersihan adalah bagian dari iman. Hadits tersebut menunjukkan bahwa kebersihan sebagai salah satu elemen dari pemeriharaan lingkungan (riayah al-biah) merupakan bagian dari iman. Apalagi, dalam tinjauan qiyas aulawi, menjaga lingkungan secara keseluruhan, sungguh benar-benar yang sangat terpuji di hadapan Allah.
Keempat, perusak lingkungan adalah kafir ekologis (kufr al-biah). Di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah adanya jagad raya (alam semesta) ini. Karena itulah, merusak lingkungan sama halnya dengan ingkar (kafir) terhadap kebesaran Allah (QS. Shad/38: 27). Ayat ini menerangkan kepada kita bahwa memahami alam secara sia-sia merupakan pandangan orang-orang kafir. Apalagi, ia sampai melakukan perusakan dan pemerkosaan terhadap alam. Dan, kata kafir tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Allah, tetapi juga ingkar terhadap seluruh nikmat yang diberikanNya kepada manusia, termasuk adanya alam semesta ini (QS. Ibrahim/14: 7).
Melihat konsepsi diatas Al-Quran telah membuat prinsip-prinsip etika dalam menjaga dan berhubungan antara manusia dengan makhlik hidup lainnya, yang bisa membentuk dasar-dasar etika bagi konservasi lingkungan hidup
Al-hasil, kalau kita tidak ingin alam ini kembali murka, maka kita harus merawatnya dengan baik. Bersahabatlah dengan lingkungan sekitar dengan ramah. Pemerintah jangan sampai melupakan komitmennya untuk menjaga kelestarian alam khususnya hutan. Jangan hanya membuat agenda, sementara realisasinya tidak ada. Lakukan reboisasi dan sanksi tegas para perusak alam. Masyarakat juga harus sadar terhadap bahaya perusakan hutan serta berpartisipasi untuk membangun kesadaran yang ramah lingkungan.
Sungguh, akan sangat efektif jika isu keagamaan bisa menjadi entry point bagi isu penyelamatan dan konservasi lingkungan hidup, mengingat agama merupakan salah satu ranah yang pada saat-saat tertentu mampu menjadi rem yang ampuh bagi hasrat manusia untuk melakukan suatu hal yang bersifat merusak.
Memang, tidak selamanya agama mampu memerankan perannya yang semacam itu. Namun, ketika jalur sains, atau jalur-jalur lainnya terhambat, ‘pintu agama’ bisa menjadi salah satu pintu untuk masuk ke dalam jiwa setiap orang, yang pada akhirnya mempengaruhinya agar tidak merusak lingkungan., atau dalam konteks keindonesiaan bermakna Fiqih Lingkungan Hidup, atau Islamic Environmental Law, merupakan salah satu pranata yang bisa mendukung visi tentang sinergi antara isu keagamaan dan isu konservasi lingkungan hidup tadi.
Manusia Dan Lingkungan Dalam Bingkai Al-Islam
Secara ekologis, manusia adalah bagian dari lingkungan hidup. Komponen yang ada disekitar manusia yang sekaligus sebagai sumber mutlak kehidupannya merupakan lingkungan hidup manusia. Lingkungan hidup inilah yang menyediakan berbagai Sumber Daya Alam (SDM) yang menjadi daya dukung bagi kehidupan manusia dan komponen lainnya. Kelangsungan hidup manusia tergantung dari keutuhan lingkungannya, sebaliknya keutuhan lingkungan tergantung bagaiman kearifan manusia dalam mengelolanya. Oleh karena itu, lingkungan hidup tidak semata mata dipandang sebagai penyedia Sumber Daya Alam yang harus di eksploitasi, tetapi juga sebagai tempat hidup yang mensyaratkan adanya keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungannya seperti yang digambarkan dalam Al-Quran.
Melalui Kitab Suci Al-Qur’an, Allah telah memberikan informasi spiritual kepada manusia untuk bersikap ramah terhadap lingkungan. Informasi tersebut memberikan sinyalamen bahwa manusia harus selalu menjaga dan melestarikan lingkungan agar tidak menjadi rusak, tercemar bahkan menjadi punah, sebab apa yang Allah berikan kepada manusia semata-mata merupakan suatu amanah. Melalui Kitab Suci yang Agung ini (Al-Qur’an) membuktikan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kepada umatnya untuk bersikap ramah lngkungan. Firman Allah SWT Di dalam Al-Qur’an sangat jelas berbicara tentang hal tersebut. Sikap ramah lingkungan yang diajarkan oleh agama Islam kepada manusia dapat dirinci sebagai berikut :
1. Agar manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya
Dalam surat Ar Ruum ayat 9 “ Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri. Pesan yang disampaikan dalam surat Ar Ruum ayat 9 di atas menggambarkan agar manusia tidak mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan yang dikwatirkan terjadinya kerusakan serta kepunahan sumber daya alam, sehingga tidak memberikan sisa sedikitpun untuk generasi mendatang. Untuk itu Islam mewajibkan agar manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya.Mengolah serta melestarikan lingkungan tercermin secara sederhana dari tempat tinggal (rumah) seorang muslim. Rasulullah SAW menegaskan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani :”Dari Abu Hurairah : jagalah kebersihan dengan segala usaha yang mampu kamu lakukan. Sesungguhnya Allah menegakkan Islam di atas prinsip kebersihan. Dan tidak akan masuk syurga, kecuali orang-orang yang bersih” . (HR. Thabrani). Dari Hadits di atas memberikan pengertian bahwa manusia tidak boleh kikir untuk membiayai diri dan lingkungan secara wajar untuk menjaga kebersihan agar kesehatan diri dan keluarga/masyarakat kita terpelihara.Demikian pula, mengusahakan penghijauan di sekitar tempat tinggal dengan menanamkan pepohonan yang bermanfaat untuk kepentingan ekonomi dan kesehatan, disamping juga dapat memelihara peredaran suara yang kita hisap agar selalu bersih, bebas dari pencemaran.Dalam sebuah Hadits disebutkan :”Tiga hal yang menjernihkan pandangan, yaitu menyaksikan pandangan pada yang hijau lagi asri, dan pada air yang mengalir serta pada wajah yang rupawan (HR. Ahmad)
2. Agar manusia tidak berbuat kerusakan terhadap lingkungan
Di dalam surat Ar Ruum ayat 41 Allah SWT memperingatkan bahwa terjadinya kerusakan di darat dan di laut akibat ulah manusia. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Serta surat Al Qashash ayat 77 menjelaskan sebagai berikut : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. Firman Allah SWT di dalam surat Ar Ruum ayat 41 dan surat Al Qashash ayat 77 menekankan agar manusia berlaku ramah terhadap lingkungan (environmental friendly) dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi ini. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Anas, dijelaskan bahwa : ”Rasulullah ketika berwudhu’ dengan (takaran air sebanyak) satu mud dan mandi (dengan takaran air sebanyak) satu sha’ sampai lima mud” (HR. Muttafaq ’alaih). Satu mud sama dengan 1 1/3 liter menurut orang Hijaz dan 2 liter menurut orang Irak (lihat Lisanul Arab Jilid 3 hal 400). Padahal hasil penelitian yang dilakukan oleh Syahputra (2003) membuktikan bahwa rata-rata orang berwudhu’ sebanyak 5 liter. Hal ini membuktikan bahwa manusia sekarang cenderung mengekploitasi sumber daya air secara berlebihan, atau dengan kata lain, setiap manusia menghambur-hamburkan air sebanyak 3 sampai 3 2/3 liter setiap orangnya setiap kali mereka berwudhu’. Dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Nabi pernah bersabda :”Hati-hatilah terhadap dua macam kutukan; sahabat yang mendengar bertanya : Apakah dua hal itu ya Rasulullah ? Nabi menjawab : yaitu orang yang membuang hajat ditengah jalan atau di tempat orang yang berteduh” Di dalam Hadits lainnya ditambah dengan membuang hajat di tempat sumber air. Dari keterangan di atas, jelaslah aturan-aturan agama Islam yang menganjurkan untuk menjaga kebersihan dan lingkungan. Semua larangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah agar tidak mencelakakan orang lain, sehingga terhindar dari musibah yang menimpahnya.Islam memberikan panduan yang cukup jelas bahwa sumber daya alam merupakan daya dukung bagi kehidupan manusia, sebab fakta spritual menunjukkan bahwa terjadinya bencana alam seperti banjir, longsor, serta bencana alam lainnya lebih banyak didominasi oleh aktifitas manusia. Allah SWT Telah memberikan fasilitas daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, secara yuridis fiqhiyah berpeluang dinyatakan bahwa dalam perspektif hukum Islam status hukum pelestarian lingkungan hukumnya adalah wajib (Abdillah, 2005 : 11-12).

3. Agar manusia selalu membiasakan diri bersikap ramah terhadap lingkungan
Di dalam Surat Huud ayat 117, Allah SWT berfirman : ‘Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan”.
Fakta spritual yang terjadi selama ini membuktikan bahwa Surat Huud ayat 117 benar-benar terbukti. Perhatikan bencana alam banjir di Jakarta, tanah longsor yang di daerah-daerah di Jawa Tengah, intrusi air laut, tumpukan sampah dimana-mana, polusi udara yang tidak terkendali, serta bencana alam di daerah atau di negara lain membuktikan bahwa Allah akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, melainkan penduduknya terdiri dari orang-orang yang berbuat kebaikan terhadap lingkungan.Dalam suatu kisah diriwayatkan, ada seorang penghuni surga. Ketika ditanyakan kepadanya perbuatan apakah yang dilakukannya ketika di dunia hingga ia menjadi penghuni surga?. Dia menjawab bahwa selagi di dunia, ia pernah menanam sebuah pohon. Dengan sabar dan tulus, pohon itu dipeliharanya hingga tumbuh subur dan besar. Menyadari akan keadaannya yang miskin ia teringat bunyi sebuah hadits Nabi, “Tidak seorang muslim yang menanam tanaman atau menyemaikan tumbuh-tumbuhan, kemudian buah atau hasilnya dimakan manusia atau burung, melainkan yang demikian itu adalah shodaqoh baginya”. Didorong keinginan untuk bersedekah, maka ia biarkan orang berteduh di bawahnya, dan diikhlaskannya manusia dan burung memakan buahnya. Sampai ia meninggal pohon itu masih berdiri hingga setiap orang (musafir) yang lewat dapat istirahat berteduh dan memetik buahnya untuk dimakan atau sebagai bekal perjalanan. Burung pun ikut menikmatinya. Riwayat tersebut memberikan nilai yang sangat berharga sebagai bahan kontemplasi, artinya dengan adanya kepedulian terhadap lingkungan memberikan dua pahala sekaligus, yakni pahala surga dunia berupa hidup bahagia dan sejahtera dalam lingkungan yang bersih, indah dan hijau, dan pahala surga akhirat kelak di kemudian hari.Untuk mendapatkan dua pahala tersebut seorang manusia harus peduli terhadap lingkungan, apalagi manusia telah diangkat oleh Allah sebagai khalifah. Hal ini dapat dilihat pada surat Al-Baqarah ayat 30 berikut : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”.
Manusia dituntut untuk memelihara, membimbing dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud dan tujuan penciptaanNya. Karena itu, Nabi Muhammad SAW melarang memetik buah sebelum siap untuk dimanfaatkan, memetik kembang sebelum mekar, atau menyembelih binatang yang terlalu kecil. Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan agar selalu bersikap bersahabat dengan segala sesuatu sekalipun tidak bernyawa. Al-Qu’an tidak mengenal istilah ”penaklukan alam” karena secara tegas Al-Qur’an menyatakan bahwa yang menaklukan alam untuk manusia adalah Allah. Secara tegas pula seorang muslim diajarkan untuk mengakui bahwa ia tidak mempunyai kekuasaan untuk menundukkan sesuatu kecuali dengan penundukan Allah (Shihab, 1996 : 492-493). Dari beberapa argument an dalil sahih diatas bahwa memelihara lingkungan adalah kewajiban bagi setiap individu manusia, hukumnya adalah fardhu Ain.
Secara ekologis pelestarian lingkungan merupakan keniscayaan ekologis yang tidak dapat ditawar oleh siapapun dan kapanpun. Oleh karena itu, pelestarian lingkungan tidak boleh tidak harus dilakukan oleh manusia. Sedangkan secara spiritual fiqhiyah Islamiyah Allah SWT memiliki kepedulian ekologis yang paripurna. Paling tidak dua pendekatan ini memberikan keseimbangan pola pikir bahwa lingkungan yang baik berupa sumber daya alam yang melimpah yang diberikan Allah SWT kepada manusia tidak akan lestari dan pulih (recovery) apabila tidak ada campur tangan manusia. Hal ini diingatkan oleh Allah dalam Surat Ar Ra’d ayat 11 : “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
Umat Islam selalu berkeyakinan untuk tidak terperosok pada kesalahan yang kedua kalinya. Kejadian yang sangat dasyat yang kita alami akhir-akhir ini, sebut saja bencana alam Tsunami misalnya, pencemaran udara, pencemaran air dan tanah, serta sikap rakus pengusaha dengan menebang habis hutan tropis melalui aktifitas illegal logging, serta sederet bentuk kerusakan lingkungan hidup lainnya, haruslah menjadi pelajaran yang sangat berharga. Hal ini ditegaskan oleh dalam firmanNya di dalam surat Al-Hasyr ayat 2 : ”Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”
Bersikaplah menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya, tidak berbuat kerusakan terhadap lingkungan, dan selalu membiasakan diri bersikap ramah terhadap lingkungan.
*) Penulis adalah Mahasiswa Administrasi Negara Fisip Universitas Jember, dan Ketua PPD HMI Cabang Jember
Sumber: http://musafirofficer.wordpress.com/2008/08/30/lingkungan-dalam-persfektif-islam/
Al-Quran dan As-Sunnah Tentang Lingkungan Hidup
September 19, 2006
Pendahuluan
Pendidikan yang baru dan termasuk paling penting pada masa sekarang ialah pendidikan lingkungan. Pendidikan tersebut berkaitan dengan pengetahuan lingkungan di sekitar manusia dan menjaga berbagai unsurnya yang dapat mendatangkan ancaman kehancuran, pencemaran, atau perusakan.
Pendidikan lingkungan telah diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Abu Darda’ ra. pernah menjelaskan bahwa di tempat belajar yang diasuh oleh Rasulullah SAW telah diajarkan tentang pentingnya bercocok tanam dan menanam pepohonan serta pentingnya usaha mengubah tanah yang tandus menjadi kebun yang subur. Perbuatan tersebut akan mendatangkan pahala yang besar di sisi Allah SWT dan bekerja untuk memakmurkan bumi adalah termasuk ibadah kepada Allah SWT.[1]
Pendidikan lingkungan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW berdasarkan wahyu, sehingga banyak kita jumpai ayat-ayat ilmiah Al-Qur’an dan As Sunnah yang membahas tentang lingkungan. Pesan-pesan Al-Qur’an mengenai lingkungan sangat jelas dan prospektif. Ada beberapa tentang lingkungan dalam Al-Qur’an, antara lain : lingkungan sebagai suatu sistem, tanggung jawab manusia untuk memelihara lingkungan hidup, larangan merusak lingkungan, sumber daya vital dan problematikanya, peringatan mengenai kerusakan lingkungan hidup yang terjadi karena ulah tangan manusia dan pengelolaan yang mengabaikan petunjuk Allah serta solusi pengelolaan lingkungan[2].
Adapun As-Sunnah lebih banyak menjelaskan lingkungan hidup secara rinci dan detail. Karena Al-Qur’an hanya meletakkan dasar dan prinsipnya secara global, sedangkan As-Sunnah berfungsi menerangkan dan menjelaskannya dalam bentuk hukum-hukum, pengarahan pada hal-hal tertentu dan berbagai penjelasan yang lebih rinci.
1. Lingkungan Sebagai Suatu Sistem
Suatu sistem terdiri atas komponen-komponen yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Atau seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. [3] Lingkungan terdiri atas unsur biotik (manusia, hewan, dan tumbuhan) dan abiotik (udara, air, tanah, iklim dan lainnya). Allah SWT berfirman :
“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakannya pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” (QS. 15 : 19-20)
Hal ini senada dengan pengertian lingkungan hidup, yaitu sistem yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang menentukan perikehidupan serta kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya.[4] Atau bisa juga dikatakan sebagai suatu sistem kehidupan dimana terdapat campur tangan manusia terhadap tatanan ekosistem.
2.Pembangunan Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan manusia guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Allah SWT berfirman :
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. 67 : 15)
Akan tetapi, lingkungan hidup sebagai sumber daya mempunyai regenerasi dan asimilasi yang terbatas. Selama eksploitasi atau penggunaannya di bawah batas daya regenerasi atau asimilasi, maka sumber daya terbaharui dapat digunakan secara lestari. Akan tetapi apabila batas itu dilampaui, sumber daya akan mengalami kerusakan dan fungsinya sebagai faktor produksi dan konsumsi atau sarana pelayanan akan mengalami gangguan.[5]
Oleh karena itu, pembangunan lingkungan hidup pada hakekatnya untuk pengubahan lingkungan hidup, yakni mengurangi resiko lingkungan dan atau memperbesar manfaat lingkungan. Sehingga manusia mempunyai tanggung jawab untuk memelihara dan memakmurkan alam sekitarnya. Allah SWT berfirman :
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata : “Hai kaumku, sembalah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) dan lagi memperkenankan (do’a hamba-Nya).” (QS. 11 : 61)
Upaya memelihara dan memakmurkan tersebut bertujuan untuk melestarikan daya dukung lingkungan yang dapat menopang secara berkelanjutan pertumbuhan dan perkembangan yang kita usahakan dalam pembangunan. Walaupun lingkungan berubah, kita usahakan agar tetap pada kondisi yang mampu untuk menopang secara terus-menerus pertumbuhan dan perkembangan, sehingga kelangsungan hidup kita dan anak cucu kita dapat terjamin pada tingkat mutu hidup yang makin baik. Konsep pembangunan ini lebih terkenal dengan pembangunan lingkungan berkelanjutan.[6]
Tujuan tersebut dapat dicapai apabila manusia tidak membuat kerusakan di bumi, sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya Allah amat dekat kepada orang yang berbuat baik.” (QS. 7 : 56)
Berkaitan dengan pemeliharaan lingkungan, Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita tentang beberapa hal, diantaranya agar melakukan penghijauan, melestarikan kekayaan hewani dan hayati, dan lain sebagainya.
“Barangsiapa yang memotong pohon Sidrah maka Allah akan meluruskan kepalanya tepat ke dalam neraka.” (HR. Abu Daud dalam Sunannya)
“Barangsiapa di anatara orang Islam yang menanam tanaman maka hasil tanamannya yang dimakan akan menjadi sedekahnya, dan hasil tanaman yang dicuri akan menjadi sedekah. Dan barangsiapa yang merusak tanamannya, maka akan menjadi sedekahnya sampai hari Kiamat.” (HR. Muslim)
”Setiap orang yang membunuh burung pipit atau binatang yang lebih besar dari burung pipit tanpa ada kepentingan yang jelas, dia akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah.” Ditanyakan kepada Nabi : “Wahai Rasulullah, apa kepentingan itu ?” Rasulullah menjawab : “Apabila burung itu disembelih untuk dimakan, dan tidak memotong kepalanya kemudian dilempar begitu saja.”[7]
3. Sumber Daya Vital dan Problematikanya
Manusia telah sedikit banyak berhasil mengatur kehidupannya sendiri (birth control maupun death control) dan sekarang dituntut untuk mengupayakan berlangsungnya proses pengaturan yang normal dari alam dan lingkungan agar selalu dalam keseimbangan. Khususnya yang menyangkut lahan (tanah), air dan udara, karena ketiga unsur tersebut merupakan sumber daya yang sangat penting bagi manusia.
Sumber Daya Lahan atau Tanah
Manusia berasal dari tanah dan hidup dari dan di atas tanah. Hubungan antara manusia dan tanah sangat erat. Kelangsungan hidup manusia diantaranya tergantung dari tanah dan sebaliknya, tanahpun memerlukan perlindungan manusia untuk eksistensinya sebagai tanah yang memiliki fungsi.[8] Allah SWT berfirman :
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuhan-tumbuhan yang baik? Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu tanda kekuasaan Allah. Dan kebanyakan mereka tidak Beriman.” (QS. 26 : 7-8)
Dengan lahan itu manusia bisa membuat tempat tinggal, bercocok tanam, dan melakukan aktivitas lainnya.
Namun, pemandangan ironis di Indonesia terlihat cukup mencolok diantaranya penebangan hutan untuk ekspor (tanpa diikuti upaya peremajaan yang memadai) dan perluasan kota yang melebar, mencaplok tanah-tanah subur pedesaan. Polis berkembang menjadi metropolis untuk kemudian membengkak menjadi megapolis (beberapa kota besar luluh jadi satu) dan Ecumenopolis (negara kota). Akhirnya salah satu nanti akan menjadi Necropolis (kota mayat).[9]
Penebangan hutan tanpa diikuti peremajaan kembali menyebabkan rusaknya tanah perbukitan sehingga terjadi bencana tanah longsor. Apalagi adanya kebakaran hutan di Indonesia semakin menyebabkan rusaknya ekologi hutan. Padahal keberadaan hutan sangat berguna bagi keseimbangan hidrologik dan klimatologik, termasuk sebagai tempat berlindungannya binatang.[10]
Adanya pembangunan tata ruang yang kurang baik, seperti pembangunan kota dan perumahan, menyebabkan semakin sempitnya lahan pertanian yang subur. Selain itu, juga terjadi kerusakan tingkat kesuburan tanah yang disebabkan pemakaian teknologi kimiawi yang over dosis. Dan bahkan pemakaian pupuk kimiawi tersebut merusak ekosistem pertanian, diantaranya semakin resistensi dan resurjensinya hama dan penyakit tanaman. Sehingga hasil produksi pertanian pun menurun yang akhirnya berdampak pada kehidupan sosial-ekonomi penduduk.
Melihat kenyataan tersebut, mestinya perkara konservasi tanah dan lahan sudah merupakan suatu keharusan, condition sine qua non, demi berlangsungnya kehidupan manusia. Usaha yang dapat dilakukan antara lain reboisasi, perencanaan tata ruang yang baik (lahan subur untuk pertanian dan lahan tandus untuk industri atau bangunan), dan penerapan sistem pertanian yang ramah lingkungan (pertanian organik atau lestari).
Sumber Daya Air
Selain lahan atau tanah, yang tak kalah pentingnya adalah air. “Everything originated in the water. Everything is sustained by water”. Manusia membutuhkan air untuk hidupnya, karena dua pertiga tubuh manusia terdiri dari air. Allah SWT berfirman : “Dan Kami beri minum kamu dengan air tawar ?” (QS. 77 : 27). Dan bahkan tanpa air seluruh gerak kehidupan akan terhenti.
Yang ironis adalah bahwa kekeringan datang silih berganti dengan banjir. Pada suatu saat kita kekurangan air, tapi pada saat yang lain justru kelebihan air. Mestinya manusia bisa mengatur sedemikian hingga sepanjang waktu bisa cukupan air (tidak kurang dan tidak lebih). Hal itu sebenarnya telah ditunjukkan oleh alam dalam bentuk siklus hidrologis dari air yang berlangsung terus menerus, volume air yang dikandungnya tetap, hanya bentuknya yang berubah. Allah SWT berfirman : “Demi langit yang mengandung hujan (raj’i)” (QS. 86 : 11). Kata Raj’i berarti “kembali”. Hujan dinamakan raj’i dalam ayat ini, karena hujan itu berasal dari uap air yang naik dari bumi (baik dari air laut, danau, sungai dan lainnya) ke udara, kemudian turun ke bumi sebagai hujan, kemudian kembali ke atas, dan dari atas kembali ke bumi dan begitulah seterusnya. Atau terkenal dengan siklus hidrologik.
Kisah perjalanan air yang urut dan runtut itu telah memberikan kontribusi yang sangat vital pada daur kehidupan dan pembaharuan sumber daya alam. Namun manusia melakukan sesuatu yang menyebabkan terhambatnya siklus hidrologi tersebut. Manusia membuat saluran drainase dengan lapisan semen yang kedap air dan mengecor jalan dengan semen, sehingga air mengalir cepat ke laut dan mengingkari fungsinya sebagai pemberi kehidupan (life giving role). Dan menipislah persediaan air tanah.
Sungai-sungai yang dulu sebagai organisme yang mampu memamah biak benda-benda yang dibuang kedalamnya dan memberikan pasokan air bersih yang memadai untuk kehidupan. Sekarang sungai-sungai tersebut lebih berwujud berupa tempat pembuangan sampah yang terbuka, dijejali dengan limbah industri dan buangan rumah tangga yang tidak mungkin lagi atau tidak mudah dicerna guna menghasilkan air yang sedikit bersih sekalipun.
Kerusakan lingkungan pada ekosistem pantai yakni rusaknya hutan bakau (mangrove) di tepi pantai, seperti di Cilacap, dan rusaknya terumbu karang. Padahal hutan bakau dan terumbu karang sangat berfungsi bagi keseimbangan dan keberlangsungan ekosistem pesisir dan lautan, rantai makanan, melindungi abrasi laut dan keberlanjutan sumber daya lautan.[11]
Sumber Daya Udara
Selain kedua sumber daya tersebut di atas, ciptaan Allah SWT yang tidak kalah penting tetapi sering terlupakan atau disepelekan adalah udara. Padahal tanpa udara takkan pernah ada kehidupan. Tanpa udara bersih takkan diperoleh kehidupan sehat. Setiap hari rata-rata manusia menarik napas 26.000 kali berkisar antara 18 sampai 22 kali setiap menitnya.
Pentingnya udara sering diabaikan terutama karena sampai kini kita masih bisa memperolehnya tanpa harus mengeluarkan biaya. Padahal di Tokyo saat ini mulai dijual udara bersih (oksigen) dalam tabung. Suatu kejutan pertama yang menyadarkan manusia akan bahaya udara kotor terjadi di Inggris pada tahun 1952 yang dikenal dengan “The Great London Smog” yang menyebabkan sekitar 4000 jiwa melayang dan sejumlah besar penduduk menderita penyakit bronkitis, jantung dan berbagai penyakit pernapasan lainnya. Bahkan bangunan, lukisan, patung atau monumenpun hancur, karena asap dan gas mobil.
Polusi udara juga terjadi di Yogyakarta akibat konsumsi bahan bakar yang terus meningkat. Konsumsi tertinggi dari kendaraan bermotor (konsumsi bahan bakar solar dan bensin mencapai 170.000 liter pada tahun 1990-1991) dan kedua bahan bakar rumah tangga (rata-rata 84.000 liter). Hal itu menyebabkan CO2 dan timbal (Pb) melewati ambang batas yang diperkenankan. Ambang batas timbal (Pb) yang diperkenankan hanya 0,03 ug/l, kini rata-rata diatas 0,09 ug/l di beberapa tempat, seperti Kantor Pos Besar, Bunderan, Jl. Jend. Sudirman, dan Gedungkuning.[12] Begitu juga di Jakarta, dari kendaraan umum, 765.000 atau 60 % mengeluarkan gas buang diatas ambang batas baku mutu. Artinya setiap menit selalu keluar kandungan racun dari knalpot mobil itu, sulfur oksida, nitrogen oksida, dan timbal (Pb). Konsentrasi timbal di udara mencapai 1,7-3,5 mirogram per meterkubik dan pada 2005 mencapai 1,8-3,6 mikrogram per meterkubik. Padahal jumlah kendaraan roda empat di Jakarta mencapai 9,1 juta (1.274.000 berstatus kendaraan umum).[13]
Upaya yang bisa di tempuh antara lain : memperluas kawasan hijau (hutan kota), pemakaian bahan bakar akrab lingkungan (BBL), knalpot dipasang filter, dan mengurangi pemakaian kendaraan pribadi.
4. Kerusakan Lingkungan
Manusia telah diperingatkan Allah SWT dan Rasul-Nya agar jangan melakukan kerusakan di bumi, akan tetapi manusia mengingkarinya. Allah SWT berfirman : “Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah membuat kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. 2 : 11). Keingkaran mereka disebabkan karena keserakahan mereka dan mereka mengingkari petunjuk Allah SWT dalam mengelola bumi ini. Sehingga terjadilah bencana alam dan kerusakan di bumi karena ulah tangan manusia. Allah SWT berfirman :
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Katakanlah : “Adakan perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS. 30 : 41-42).
Di samping adanya problematika ketiga sumber daya vital di atas, Otto Soemarwoto membagi kerusakan lingkungan yang mengancam kehidupan bumi menjadi dua, yaitu kerusakan yang bersifat regional (seperti hujan asam) dan yang bersifat global (seperti pemanasan global, kepunahan jenis, dan kerusakan lapisan ozon di stratosfer).
Hujan asam disebabkan oleh pencemaran udara yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, yaitu gas bumi, minyak bumi dan batu bara. Pembakaran itu menghasilkan gas oksida belerang dan oksida nitrogen. Kedua jenis itu dalam udara mengalami reaksi kimia dan berubah menjadi asam (berturut-turut menjadi asam sulfat dan asam nitrat). Asam yang langsung mengenai bumi disebut deposisi kering dan asam yang terbawa hujan yang turun ke bumi disebut desposisi basah. Keduanya disebut hujan asam. Hujan asam menyebabkan kematian organisme air sungai dan danau serta kerusakan hutan dan bangunan.
Pemanasan global (global warning) adalah peristiwa naiknya intensitas efek rumah kaca (ERK) yang terjadi karena adanya gas dalam atmosfer yang menyerap sinar panas (sinar inframerah) yang dipancarkan bumi. Gas itu disebut gas rumah kaca (GRK). Dengan penyerapan itu sinar panas terperangkap sehingga naiklah suhu permukaan bumi.
Seandainya tidak ada GRK dan karena itu tidak ada ERK, suhu permukaan bumi rata-rata hanya -18oC saja, terlalu dingin bagi kehidupan makhluk. Dengan adanya ERK suhu bumi adalah rata-rata 15oC, sehingga ERK sangat berguna bagi kehidupan di bumi. Akan tetapi, akhir-akhir ini semakin naiknya kadar GRK dalam atmosfer, yaitu CO2 dan beberapa gas lain (seperti CO2, CH4, dan N2O) menyebabkan naiknya intensitas ERK, sehingga suhu permukaan bumi akan naik pula. Inilah yang disebut global warning.
Berbagai dampak negatif pemanasan global, yaitu menyebabkan perubahan iklim sedunia (perubahan curah hujan), naiknya frekuensi maupun intensitas badai (seperti di Banglades dan Filipina semakin menderita), dan bertambahnya volume air laut dan melelehnya es abadi di pegunungan dan kutub. Hal itu juga menyebabkan keringnya tanah dan kekeringan yang berdampak negatif terhadap pertanian dan perikanan.
Bertambahnya volume air laut, maka permukaan laut akan naik. Dengan laju kenaikan kadar GRK seperti sekarang diperkirakan pada sekitar 2030 suhu akan naik 1,5-4,5oC. Kenaikan suhu ini menyebabkan naiknya permukaan laut 25-140 cm. Dampak naiknya permukaan laut yakni tergenangnya daerah pantai, tambak, sawah dan kota yang rendah seperti Jakarta, Surabaya, dan Semarang serta beberapa pulau di Indonesia. Kenaikan permukaan laut juga menyebabkan laju erosi pantai. Untuk kenaikan permukaan laut 1 cm, garis pantai akan mundur 1m, sehingga kenaikan permukaan laut 25-140 cm, garis pantai mundur 25-140 m.
Kepunahan jenis berarti hilangnya sumber daya gen yang mengurangi kemampuan kita dalam pembangunan pertanian, perikanan, peternakan, dan kehutanan. Penyebabnya antara lain karena adanya hujan asam dan penyusutan luas hutan, serta penggunaan sistem monokultur atau varietas unggul sehingga varietas lokal hilang, seperti varietas padi lokal yang hampir sirna.
Ozon ialah senyawa kimia yang terdiri atas tiga atom oksigen. Di lapisan atmosfer yang rendah ia mengganggu kesehatan dan di lapisan atas atmosfer ia melindungi makhluk hidup dari sinar ultraviolet yang dipancarkan matahari. Apabila kadar ozon di stratosfer berkurang, kadar sinar ultraviolet yang sampai ke bumi bertambah. Maka resiko untuk mengidap penyakit kanker kulit, katarak dan menurunnya kekebalan tubuh akan meningkat. Penurunan kadar ozon disebabkan karena rusaknya ozon oleh segolongan zat kimia yang disebut clorofuorokarbon yang banyak digunakan dalam industri dan kehidupan kita, seperti gas freon (pendingin AC dan almari es), gas pendorong dalam aerosal (parfum, hairspray, dan zat racun hama) dan lainnya.
Bila kita tetap saja berkeras kepala menjejalkan gas rumah kaca ke atmosfer, sebelum akhir abad mendatang pasti akan terjadi perubahan iklim yang tak terduga, banyak angin ribut dan angin topan, air laut meredam pulau-pulau berdataran rendah, disamping munculnya padang pasir baru karena bumi yang makin panas.
Upaya nyata yang perlu dilakukan untuk menghindari bencana itu antara lain dengan menggunakan energi secara efisien, mengembangkan sumber energi baru dan aman, mencegah terjadinya kebakaran dan penggundulan hutan atau penebangan pohon secara besar-besaran, menanam pepohonan baru, menggalakan penggunaan transportasi umum. Atau kampanye besar-besaran untuk mengurangi penggunaan traktor, diesel, lemari es, kaleng semprot, AC dan lain-lain. Langkah ini mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan. Namun hal itu tetap harus dilakukan, seperti yang dicetuskan oleh Gurmit Singh : “Global warning on global warming demands global action”. Peringatan global terhadap pemanasan global menuntut adanya tindakan global.
5. Solusi Pengelolaan Lingkungan
Proses kerusakan lingkungan berjalan secara progresif dan membuat lingkungan tidak nyaman bagi manusia, bahkan jika terus berjalan akan dapat membuatnya tidak sesuai lagi untuk kehidupan kita. Itu semua karena ulah tangan manusia sendiri, sehingga bencananya juga akan menimpa manusia itu sendiri QS. 30 : 41-42.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pendekatan yang dapat kita lakukan diantaranya dengan pengembangan Sumber Daya Manusia yang handal, pembangunan lingkungan berkelanjutan, dan kembali kepada petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya dalam pengelolaan lingkungan hidup. Adapun syarat SDM handal antara lain SDM sadar akan lingkungan dan berpandangan holistis, sadar hukum, dan mempunyai komitmen terhadap lingkungan.
Kita diajarkan untuk hidup serasi dengan alam sekitar kita, dengan sesama manusia dan dengan Allah SWT. Allah berfirman : “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmatan lil’alamiin” (QS. 21 : 107). Pandangan hidup ini mencerminkan pandangan yang holistis terhadap kehidupan kita, yaitu bahwa manusia adalah bagian dari lingkungan tempat hidupnya. Dalam pandangan ini sistem sosial manusia bersama dengan sistem biogeofisik membentuk satu kesatuan yang disebut ekosistem sosiobiogeofisik, sehingga manusia merupakan bagian dari ekosistem tempat hidupnya dan bukannya hidup diluarnya. Oleh karenanya, keselamatan dan kesejahteraan manusia tergantung dari keutuhan ekosistem tempat hidupnya. Jika terjadi kerusakan pada ekosistemnya, manusia akan menderita. Karena itu walaupun biogeofisik merupakan sumberdaya bagi manusia, namun pemanfaatannya untuk kebutuhan hidupnya dilakukan dengan hati-hati agar tidak terjadi kerusakan pada ekosistem. Dengan begitu manusia akan sadar terhadap hukum yang mengatur lingkungan hidup dari Allah SWT dan komitmen terhadap masalah-masalah lingkungan hidup.
Pandangan holistik juga berarti bahwa semua permasalahan kerusakan dan pengelolaan lingkungan hidup harus menjadi tanggung jawab oleh semua pihak (pemerintah, LSM, masyarakat, maupun orang perorang) dan semua wilayah (baik lokal, regional, nasional, maupun internasional). Atau dalam konsep Partai Keadilan, lingkungan hidup harus dikelola secara integral, global dan universal menuju prosperity dan sustainability.[14]
Kesimpulan, bahwa ini adalah alasan yang mungkin mengapa Allah menyebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an tentang petingnya lingkungan hidup dan cara-cara Islami dalam mengelola dunia ini. Kualitas lingkungan hidup sebagai indikator pembangunan dan ajaran Islam sebagai teknologi untuk mengelola dunia jelas merupakan pesan strategis dari Allah SWT untuk diwujudkan dengan sungguh-sungguh oleh setiap muslim.
[1] Yusuf Al Qaradlawi, Dr. 1997. Fiqih Peradaban : Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan. Surabaya. Dunia Ilmu. Hal.183
[2] Abdul Majid bin Aziz Al-Qur’an Zindani (et. Al-Qur’an.). 1997. Mujizat Al-Qur’an dan As-Sunnah Tentang IPTEK. Jakarta. Gema Insani Press. Hal. 194.
[3] Depdikbud. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. Hal. 849.
[4] Undang-Undang No. 4 Tahun 1982.
[5] Otto Soemarwoto. 1997. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta. Djambatan. Hal. 59.
[6] Bruce Mitchell, dkk. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
[7] Imam Ahmad, al-Nasa’i, al-Darami, dan Imam al-Hakim meriwayatkan dan al-Hakim menganggap sahih hadits tersebut dari Abdullah bin Amr Ra.
[8] Moh. Soerjani, dkk. 1987. Lingkungan : Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Jakarta. UI-Press. Hal. 39.
[9] Eko Budihardjo, Prof. Ir. MSc. 1997. Lingkungan Binaan dan Tata Ruang Kota. Yogyakarta. Andi Offset. Hal. 26-27
[10] Lihat Kompas, 18 Januari 2001. Hal. 8, 18.
[11] Widi Agus Pratikno, dkk. 1997. Perencanaan Fasilitas Pantai dan Laut. Yogyakarta. BPFE. Hal. 10-12.
[12] Kedaulatan Rakyat. Minggu, 16 April 2000. Tahun LV Nomor 197. Hal. 8.
[13] Republika. Minggu, 23 April 2000. Nomor 103 Tahun Ke-8. Hal. 1.
[14] ______. 1999. Visi Pembangunan IPTEK dan Lingkungan Hidup Partai Keadilan : Kesejahteraan, Kemandirian dan Kesinambungan. Jakarta. Departemen IPTEK-Lingkungan Hidup. Hal. 23.