Sabtu, 18 September 2010

TIPE MANUSIA DALAM BERAGAMA
Ada 4 (empat) tipe manusia dalam beragama:
(1) Tipe pertama: Mencari ketenangan atau pelarian dari rasa stress. Dan biasanya, tipe semacam ini sering mencari-cari figur dlm upayanya mencari ketenangan. Ketenangan pun segera diperoleh ketika ia telah menemukan figur yg sesuai, pas dgn keinginannya. Apakah Islam membenarkan tipe manusia semacam ini dan cara-cara yang ditempuhnya?
(2) Tipe kedua: Mencari uang (harta). Ada titik temu atau simbiosis mutualism antara tipe pertama dgn tipe kedua; yg pertama mencari ketenangan, yaitu mencari figur, sedangkan yg kedua mencari uang, yaitu menjadikan dirinya sebagai figur. Jadi, bukannya Rasulullah saw yg dia jadikan figur, tetapi dirinya.
Syaikhul-Islam Muhammad bin 'Abdul-Wahhab berkata tentang tipe kedua ini: "Innad-Da'iya Idza Da'an-Nasa Fahuwa Yad'u Ila Nafsihi" (Para Da'i, pada umumnya ketika ia menyeru manusia, ia menyeru mereke kepada --kepentingan-- dirinya); yaitu harta, populari tas, ngetop dll. Apakah Islam membenarkan tipe manusia seperti ini dan cara2 yg ditempuhnya?
(3) Tipe ketiga: Mencari pembenaran. Tipe semacam ini menjadikan agama sebagai alat legitimasi segala tindakan2nya. Ia meyakini sesuatu berdasarkan sudut pandangnya, lalu mencari-cari dalil (ayat atau hadits) utk membenarkan pandangannya. Dan baginya tdk ada org yg benar selain dirinya atau kelompoknya.
Syaikh 'Utsaimin telah mengkritik cara beragama tipe ketiga ini, beliau berkata:"La Ta'taqid Tsumma Tastadil, Fatadhillu" (Janganlah engkau meyakini sesuatu lalu men-cari2 dalil --utk. membenarkannya--,karena --dgn cara seperti itu-- engkau akan tersesat). Apakah Islam membenarkan tipe manusia seperti ini dan cara2 yg ditempuhnya?
(4) Tipe ke-empat:Mencari kebenaran. Tipe ke-empat ini selalu berusaha memperbaiki pemahaman, amal dan perbuatan sesuai dengan A-Quran dan As-Sunnah. Prinsipnya: "Fa'alaika An-Ta'rifal-Haqqa Bidalilihi La Bi Qa-ilihi"; artinya:"Wajib bagi-mu utk mengetahui kebenaran (al-haq) berdasarkan dalilnya, bukan siapa yg mengatakannya".
Syaikh 'Utsaimin mengatakan bila kita ingin memilih tipe ke-empat, yaitu mencari kebenaran:"Istadil Tsumma'-Taqid";artinya:"Kaji dalilnya, lalu yakini". Maka, tipe ke-empat ini selalu berusaha, ber-sungguh-sungguh mengkaji, mempelajari ilmu agama serta medalaminya. Inilah cara beragama kaum Salaf. Sekarang, terserah kepada kita masing-masing jalan manakah akan kita pilih?
Bersyukur Dengan Hati
Bersyukur (menghargai nikmat) dengan hati. Imam Ibnul-Qayyim mengistilahkannya dengan "Al-I'tirafu Biha Bathinan"; artinya: "Mengakui nikmat tersebut secara batin". Maksudnya, hatinya benar-benar mengakui bahwa nikmat itu se-mata-mata pemberian Allah. Bersyukur dengan hati lebih sulit daripada bersyukur dengan lisan/ucapan.
Rasulullah saw telah memerintahkan hal ini, sabda Beliau: "Liyattakhidz Ahadukum Qalban Syakiran.."; artinya: "Hendaklah tiap seseorang diantara kalian --berusaha-- membuat hatinya selalu bersyukur...". Bagaimana petunjuk Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. untuk. membuat hati selalu bersyukur kepada Allah?

Bersyukur dengan hati atau membuat hati selalu bersyukur kepada Allah, dilakukan dengan 2 (dua) cara:
PERTAMA: Selalu mengingat nikmat Allah, terutama sekali nikmat Al-Quran dan Hikmah, sebagaimana firman Allah: "Wadzkuru Ni'matallahi 'Alaikum Wa Ma Anzala 'Alaikum-minal-Kitab Wal-Hikmah Ya'izhukum Bihi".

artinya: "Dan ingatlah selalu akan nikmat Allah, dan juga apa yang Dia turunkan untuk kalian dari Al-Kitab (Al-Quran) serta Hikmah; yang dengannya (Al-Quran), Dia memberi nasehat kepada kalian" (Surah Al-Baqarah :231). Adapun yang dimaksud "Hikmah" ialah: Perkara yang benar dan lurus, keadilan, pengetahuan dan sikap santun. Ayat ini menyatakan bahwa Al-Quran dan Hikmah adalah nikmat yang besar yang harus selalu diingat.

Ibnu Hajar mengatakan: Mengingat ayat-ayat Allah dan nikmat-nikmat Allah akan melahirkan 4 (empat) sikap utama:
(1) Tauhid; yaitu percaya sepenuhnya terhadap ke-Esaan Allah dalam. Dzat, Perbuatan dan Sifat; tidak ada seorang pun yang menyamai-Nya
(2) Keyakinan; yaitu yakin terhadap semua janji-janji Allah
(3) Rasa Cinta kepada Allah, dan
(4) Perasaan bersyukur atau kesyukuran hati.

KEDUA: ialah dengan memperbanyak berdzikir; yaitu mengingat dan menyebut nama Allah; sebagaimana firman-Nya: "Fadzkuruni Adzkurkum, Wasy-Kuruli Wa La Takfurun"; artinya: "Maka berdzikirlah (ingatlah) kalian kepada-Ku, maka Aku pun akan mengingat kalian, dan bersyukurlah kepada.-Ku, dan jangan mengingkari --nikmat--Ku. (Surah Al-Baqarah:152).
Disebutkan bahwa Nabi Musa a.s. pernah bertanya kepada Allah: "Wahai Rabb-ku, bagaimanakah cara aku bersyukur kepada Mu". Maka Allah SWT menjawab:"Tadzkuruni Wa La Tansani, Fa-Idza Dzakartani Faqad Syakartani, WA Idza Nasitani Faqad Kafartani"; artinya: "Berdzikirlah (Ingatlah) engkau senantiasa kpd.-Ku; jangan engkau lalai (lupa) dari –mengingat-Ku.
maka jika engkau senantiasa berdzikir kpd.-ku; berarti engkau bersyukur kepada-.Ku; dan jika engkau lalai (lupa) dari --mengingat--Ku, maka berarti engkau mengingkari --nikmat--Ku. Jadi, banyak berdzikir kepada Allah akan mendorong hati bersyukur kepada nikmat Allah. Inilah pengikat nikmat yang kedua; bersyukur dengan hati.
Nabi saw. menunjukkan cara menjaga hati agar tetap mensyukuri nikmat Allah; sabda Beliau: "Idza Nazhara Ahadukum Ila Man Fudhdhila 'Alaihi Fil-Mal Wal-Khalq, Fal-yanzhur Ila Man Huwa Asfala Minhu"; artinya:"Jika seorang dari kalian melihat orang lain yang diberi kelebihan dalam harta dan ketampanan,maka hendaklah ia melihat orang yang dibawahnya" (H.R. Mulim).

Dalam hadits lain, sabda Nabi saw:"Fahuwa Ajdaru An-La Tazdaru Ni'matallahi 'Alaikum" artinya: "Maka --melihat orang yang di bawah kalian-- merupakan sikap yang tepat untuk tidak meremehkan nikmat Allah pada Kalian" (Muttafaqun 'Alaih). Yang dimaksud "melihat orang yang di bawah" ialah: "Org yang kondisi ekonomi berada dibawah kita, lebih susah dari kita, banyak mendapat cobaan seperti: sakit, cacat fisik, buta dsb."

"Dan jangalah engkau tujukan pandangan mata-mu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan Dunia,agar Kami uji mrk. dengan kesenangan itu. Karunia Rabb-mu lebih baik dan lebih kekal" (Surah Thaha ayat 131).

Disebutkan dalam sebuah hadits Qudsi: "An-Nazharu Sahmun Min Sihami Iblis, Wa Man Tarakahu Makhafati Abdaltuhu 'Ibadatan Yajid Halawataha"; artinya: "Pandangan (mata) merupakan panah dari panah-panah Iblis yang beracun. Dan siapa-saja yang meninggalkannya --tidak mengikuti dorongannya-- karena merasa takut kepada-Ku (Allah), maka Aku akan memberi ganti untuknya dengan ibadah (ketaatan) yang ia dapat merasakan manisnya --ketaatan –“
Bersyukur Dengan Perbuatan
Bersyukur (menghargai nikmat) dengan perbuatan; Ibnul-Qayyim mengatakan ada 2 cara menghargai nikmat dgn perbuatan; pertama: menceritakan nikmat tersebut, dan kedua: menggunakan nikmat tersebut dalam hal yang diridhai Allah. Yang pertama dalilnya surah Adh-Dhuha ayat 11: Wa Amma Bini'mati Rabbika Fahaddits;artinya: "Adapun dengan nikmat Rabb-mu, maka ceritakanlah".

Menceritakan nikmat Allah ialah dalam rangka ingin berbagi bukan untuk pamer atau riya. Dan yg kedua dalilnya surah Al-Qashash ayat 77: "Wab-taghu Fima Atakallahud-Darul-Akhirah Wa La Tansa Nashibaka Minad-Dun-ya"; artinya: "Dan carilah dengan apa yang Allah anugerahkan kepada-mu (kebahagiaan) negeri akhirat dan jangan kamu lupakan bagian-mu dari (kenikmatan) dunia.

Ayat ini dengan jelas memerintahkan menggunakan potensi-potensi nikmat yang Allah berikan, seperti harta, kesehatan, ilmu dsb untuk mencari kebahagiaan akhirat, bukan untuk mencari kesenangan dunia; namun ayat ini juga mengingatkan untuk tidak melupakan bagian kenikmatan dunia, yaitu kenikmatan-kenikmatan yang dihalalkan oleh Allah. Dan orang yang menggunakan potensi-potensi nikmat untuk mencari akhirat akan memperoleh keutamaan yang luar-biasa.

Nabi saw bersabda: "Wa Man Kanatil-Akhiratu Niyatuhu Jama'allahu Lahu Amrahu, Wa Ja'ala Ghinahu Fi Qalbihi, Wa Atathud-Dun-ya Wa Hiya Raghimatun"; artinya: "Siapa-saja yang niatnya mencari akhirat,maka Allah akan menyelesaikan semua persoalannya, dan menjadikan kekayaan di hatinya; dan Dunia pun akan datang kepada.nya dengan menunduk". (H.R. Ibnu Majah).

Inilah makna bersyukur atau mensyukuri (menghargai) nikmat yang sesungguhnya; dengan lisan, hati dan perbuatan. Ibnul-Qayyim berkata: "Fa-idza Fa'ala Dzalika Faqad Syakaraha"; artinya: "Siapa-saja yang telah melakukan -- ke-3 (tiga) hal-- ini, maka ia benar-benar telah bersyukur".

Dan dengan bersyukur seperti ini, segala nikmat yang dimiliki akan terjaga, tidak akan lepas, bahkan akan semakin bertambah. Inilah yang dimaksud dengan: La-in Syakartum La-azidannakum" (Surah Ibrahim ayat 7); artinya: "Jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah --nikmat-- untuk kalian.

Disamping bersyukur kepada Allah, kita juga diperintah untuk bersyukur kepada manusia; yaitu menghargai jasa atau perbuatan oranglain terhadap kita. Sabda Nabi saw.: "Man Lam Yasykurin-Nasa Lam Yasykuril-Laha"; artinya: "Siapa-saja yang tidak bersyukur --menghargai-- manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah".

Dalam hal ini kita bisa menyaksikan dan mencontoh Rasulullah saw; betapa Beliau sangat menghargai manusia, khususnya para sahabatnya yang setia. Dan Beliau saw melarang siapa pun mencaci sahabatnya, sabda Beliau: "La Tasubbu Ash-habi"; artinya: "Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku. Sekian (Wallahu A'lam)
Kematian
Kata Mati atau Kematian berasal dari bahasa 'Arab; yaitu Mata-Yamutu yang maknanya: "Firaqur-Ruh 'Anil-Jasad" (Berpisahnya ruh dari tubuh). Islam menegaskan bahwa kehidupan dan kematian mutlak milik Allah; berada di bawah ketentuan Allah, sesuai dengan dua Nama-Nya "Al-Muhyi Wal-Mumit": Dia-lah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan.

Mati; berpisahnya ruh dari tubuh adalah peristiwa besar yang akan dialami oleh semua makhluq hidup, sebagaimana firman-Nya: "Kullu Nafsin Dza-iqatul-Maut"; artinya: "Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian" (Surah Ali 'Imran ayat 185). Jadi, bagi kita yang masih hidup saat ini, hanya menunggu waktu giliran saja. Dan giliran itu pasti kan datang.

Nabi Muhammad saw menasehati kita agar selalu ingat akan kematian; Beliau bersabda: "Aktsiru Hadzimil-Ladzdzat:Al-Maut"; artinya: "Sering2lah kalian mengingat hal yang memutus kelezatan --Dunia-- yakni maut (kematian)" (H.R. At-Tirmidzi, An-Nasa-i dan Ibnu Majah). Hadits ini menyebutkan bahwa kematian membuat hilang seluruh kenikmatan Dunia.

Islam tidak pernah mengajarkan menghindari kematian, karena kematian memang tidak bisa dihindari, tetapi Islam mengajarkan untuk selalu bersiap menghadapi kematian, Nabi saw bersabda: "Al-Kayyisu Man Dana Nafshu Wa 'Amila Lima Ba'dal-Maut"; artinya: "Orang yang cerdas, ialah yang mampu menundukkan nafsunya, dan selalu melakukan --persiapan-- 'amal untuk.--menghadapi --resiko yang datang-- setelah kematian". HR Ahmad

Nabi Muhammad saw menggambarkan "kematian" sebagai sebuah perjalanan yang berat dan jauh; yaitu perjalanan menuju akhirat. Sabda Beliau kepada Abu Dzar: "Ya Aba Dzar, Jaddidis-Safinata Fa-Innal-Bahra 'Amiqun Wa Khudziz-Zada Kamilan Fa-Innass--Safara Ba'idun";artinya: "Ya Abu Dzar, pugarlah perahu-mu, karena lautan sangat dalam, dan bawalah bekal yang sempurna karena perjalanan sangat jauh...".

Para 'Ulama mengatakan yang dimaksud dengan "perahu" adalah niat dan yang dimaksud "bekal sempurna" adalah amal-shalih. Jadi, hadits ini memerintahkan untuk selalu memperbaiki niat agar selalu ikhlas kepada Allah, dan juga mengunakan kesempatan untuk melakukan amal shalih, meskipun sedikit. Nabi saw bersabda: "Akhlishil-'Amal Yajzika Minhul-Qalil"; artinya: "Ikhlaslah dalam. beramal,maka amal yang sedikit dapat mencukupi-mu".

Sehubungan dengan ini Nabi saw bersabda: "La Tahqiranna Minal-Ma'rufi Syai-an Wa Law An Talqa Akhaka Bi Wajhin Thalqin"; artinya: "Janganlah kamu menganggap sepele perbuatan baik yang sedikit; meskipun hanya memperlihatkan senyum ketika berjumpa dengan saudara-mu"(H.R. Ahmad, Muslim & At-Tirmidzi). Subhanallah alangkah sempurnanya Islam; sehingga masalah "senyum" pun mendapat perhatian dan menjadi anjuran.

Sumber Kajian Ahad Pagi oleh Bang Deby
BEKERJA , MENCARI NAFKAH MENURUT ISLAM (BERSAMBUNG 5)
Dalam hadits yang lain Nabi saw bersabda: "Wa In-Qamatis-Sa'ah Wa Fi Yadi Ahadikum Fasilatun, Fa-inis-Tatha'a An La Yaquma Hatta Yaghrisaha Fal-Yaghrisha"; artinya: "Meskipun Kiamat terjadi, tapi ditangan seorang dari kalian ada cangkokan pohon kurma, maka jika ia masih mampu (sempat) menanamnya sebelum berdiri, maka tanamlah" (H.R. Ahmad).
Subhanallah, coba perhatikan sabda Nabi saw ini: "Meskipun Kiamat, yaitu kehancuran alam semesta sedang berlangsung, tapi kalian masih memegang cangkokan pohon kurma, jika kalian masih sempat untuk menanamnya, tanamlah". Nabi saw tidak menyuruh membuang cangkokan pohon tsb.
Dengan kata-lain, Nabi saw tidak menyuruh seorang muslim berhenti bekerja meskipun kehancuran alam semesta sedang berlangsung, selama bekerja itu masih mungkin ia lakukan. Nabi saw tidak mengatakan percuma bekerja karena tidak akan ada hasil yang bisa dinikmati, toh alam semesta sudah hancur lebur. Nabi saw juga tidak mengatakan tinggalkan pekerjaan, lebih baik berdzikir dan berdo'a dalam suasana gawat seperti ini.

Tidak ! Nabi saw tidak mengatakan apa-apa kecuali teruskan pekerjaan walaupun Kiamat sedang berlangsung. Di sini terasa sekali arahan Nabi yang luar-biasa ini, bahwa bagi seorang muslim bekerja adalah perbuatan mulia, seorang muslim tidak dibenarkan mendikotomikan antara mu'amalah (bekerja mencari rezeki) dan amal ritual. Soal hasil ? Bukan urusan dia, itu urusan Allah semata.

'Umar bin Khaththab (r.a) pernah berkata: "Ma Min Maudhi'in Ya'tinil-Maut Fihi Ahabbu Ilayya Min Mauthinin Atasawwaqu Fihi Li-Ahli, Ubayyi' Wa Asytari"; artinya: "Tidak ada satu tempatpun yang aku sukai untuk mati di tempat tersebut, melainkan tempat (pasar) dimana aku melakukan usaha untuk keluarga-ku; yaitu berjual-beli" (Ihya juz I hal. 485).

Luqmanul-Hakim pernah menasehati anaknya; beliau berkata: "Ya Bunayya, istaghni bikasbil-halal minal-faqri"; artinya: "Hai anak-ku, jadikanlah diri-mu kaya dengan bekerja yang halal sehingga engkau bebas dari kefaqiran". Lalu beliau berkata: "Fa-inna Maftaqara Ahadun Illa Ashabahu Tsalatsu Hilalin"; artinya: "Karena, tidaklah seorang itu ditimpa kefaqiran, melain ia akan ditimpa 3 masalah", yaitu:
(1) Riqatu Fi dinih: "Tipis agamanya".
(2) Wa Dha'fu Fi 'Aqlihi: "Lemah aqalnya".
(3) Wa Dzahabu Muru-atihi: " Hilang sifat hati2nya". Lalu beliau berkata lagi: "Wa A'zhamu Min Hadzihits-Tsalatsi, Istikhfafun-Nasu Bihi"; artinya: Masih ada lagi yang lebih parah dari 3 masalah itu; yaitu: "Manusia memandang enteng kepadanya" (Ihya' juz I hal. 385)
Inilah bahaya yang dibawa oleh kefaqiran:
(1) Tipisnya agama atau ketaatan kepada Allah
(2) Lemahnya aqal alias tdk mampu berfikir panjang
(3) Tidak memiliki sifat hati2; ceroboh dalam bertindak. Akibatnya, lebih parah lagi; yaitu tidak dihormati oleh orang lain.
Wajarlah jika Nabi saw bersabda: "Ista'idzu Billahi Minal-Faqri
Wal-'Ilati"; artinya: "Minta perlindunganlah kalian kpd. Allah dari
kefaqiran dan kemiskinan" (H.R. Ath-Thabrani)

Sumber: FB Bang Deby
BEKERJA , MENCARI NAFKAH MENURUT ISLAM (BERSAMBUNG 4)

Tawakal yaitu sikap menyerah sepenuhnya kepada keputusan Allah, hanya dibenarkan setelah kita melakukan usaha secara maksimal, sebagaimana sabda Nabi saw: "Law Annakum Tawakkaluna 'Alallahi Haqqa Tawakkulihi Larazaqakum Kama Yarzuquth-Thaira Taghdu Khimashan Wa Taruhu Bithanan"; artinya : "Seandainya kalian benar2 berserah diri (tawakal) kpd Allah --setelah melakukan upaya2 maksimal--,maka pasti Allah akan memberi rezeki kpd kalian,seperti Ia memberi rezeki kepada burung yang berangkat diwaktu pagi dalam keadaan lapar, dan pulang diwkt sore dalam keadaan kenyang".(H.R.At-Tirmidzi, An-Nasa-i dan Ibnu Majah).

Hadits ini mengajarkan pengertian tawakal (berserah diri) kepada Allah; yaitu berusaha mencari rezeki, seperti burung-burung yang pergi meninggalkan sarang mencari makan. Jadi, bukan pasrah, menyerah kepada nasib atau merasa cukup dengan do'a tanpa usaha. 'Umar bin Khaththab berkata:
La Yaq'udu Ahadukum 'An Thalabir-Rizqi,Yaqulu:Allahummar-Zuqni,Faqad 'Alimtum Annas-Sama-i La Tumthiru Dzahaban Wa La Fidhdhatan; artinya: "Jangan sampai seorang pun dari kalian --hanya--duduk2 saja tidak mencari rezeki, lalu ia berdo'a: "Ya Allah, berikan aku rezeki", padahal kalian sudah tahu bahwa langit tidak akan menurunkan emas dan perak. (Ihya' juz I hal. 485)

'Umar pernah berkata kpd temannya:"Ala Unabbi-ukum Manil-Mutawakkilun?"; artinya: "Maukah aku beritahukan kalian,siapakah sebenarnya orang yang bertawakal?". Temannya pun menjawab: "Baiklah". 'Umar pun berkata:"Huwal-Ladzi Yulqil-Habba Fil-Ardhi, Tsumma Yatawakkalu 'Ala Rabbihi 'Azza Wa Jalla";
artinya:"Orang yang bertawakal itu, ialah orang yang menanam benih ke dalam tanah (maksudnya: melakukan upaya memetik hasil), lalu ia berserah diri kepada Rabb-nya Yang Maha Mulia dan Maha Agung".(Nizhamil-Iqtishadi Fil-Islam hal.64). Jelaslah, tawakal dilakukan sesudah usaha. Tidak ada tawakal tanpa usaha.

Tawakal, pasrah kepada Allah setelah melakukan usaha yang maksimal, adalah sikap yang menjamin datangnya rezeki yang cukup, Allah berfirman: "Wa Man Yatawakkal 'Alal-Lahi Fahuwa Hasbuhu"; artinya: "Siapa-saja yang bertawakal kepada Allah, maka Ia pasti akan memberi kecukupan kepadanya". (Surah Ath-Thalaq ayat 3) Artinya, Allah akan memberikan hasil yang sangat cukup untuk kebutuhannya.

Tawakal juga merupakan syarat keimanan kepada Allah; firman-Nya: "Wa 'Alal-Lahi Fatawakkalu In Kuntum Mu'minin"; artinya: "Hendaklah kalian bertawakal kepada Allah jika kalian orang-orang yang beriman". (Surah Al-Maidah ayat 23)

Dan Tawakal akan mendatangkan kecintaan Allah; firman-Nya: "Innal-Laha Yuhibbul-Mutawakkilin"; artinya: "Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang2 yang bertawakal" (Surah Ali 'Imran ayat 159).

Berusaha adalah tindakan pertama, berdoa'a tindakan kedua dan tawakal adalah tindakan ketiga, Nabi saw bersabda: "Ihrish 'Ala Ma Yanfa'uka,Wasta'in Billahi, Wa La Ta'jizanna";artinya: "Kerahkan seluruh kemampuan-mu utk meraih apa saja yg bermanfaat; dan minta bantuanlah (berdo'a) kpd Allah; dan jangan engkau bersikap lemah (negatif thinking)" (H.R. Muslim) (Next)
BEKERJA , MENCARI NAFKAH MENURUT ISLAM (BERSAMBUNG 3)


Dan salah satu syarat "kebenaran" juru da'wah seorang da'i, ialah tidak ada unsur-unsur komersialisasi dalam da'wahnya; sebagaimana firman Allah: "Ittabi'u Man La Yas-alukum Ajran, Wa Hum Muhtadun"; artinya:"Ikutilah orang (juru da'wah) yang tidak minta balasan (upah) pada kalian. dan mereka adalah orang2 yang mendapat hidayah".(Surah Yasin ayat 21).

Ayat ini menyebutkan dua hal yang harus dimiliki oleh seorang juru da'wah:
Pertama: Tidak minta upah (bayaran) atas da'wahnya atau mengkomersilkan da'wahnya. Kedua: Memiliki hidayah (petunjuk), yaitu ilmu yang benar yang membedakan antara yang haq (benar) dan yang bathil (salah).

Disebutkan dalam sebuah riwayat:
"Innallaha Yuhibbu An Yaral-'Abda Yattakhidzul-Mihnata Liyastaghniya Biha 'Anin-Nasi, Wa Yubghidul-'Abda Yata'allamul-'Ilma Yattakhidzuhu Mihnatan": artinya: "Allah sangat suka melihat seorang hamba yang mengambil (berusaha) bekerja agar ia tidak bergantung kepada orang lain. Dan Allah sangat benci kepada seorang hamba yang belajar ilmu agama untuk dijadikannya sebagai mata pencaharian. (Al-Ihya' juz I hal. 484)

Dalam riwayat yang lain disebutkan: "Innallaha Yuhibbu An Yara 'Abdahu Ta'ban Fi Thalabil-Halal"; artinya: "Sesungguhnya Allah sangat suka melihat hamba-Nya yang letih karena bekerja mencari --rezeki-- yg halal". Jadi, tdk ada dalil yg menyatakan bhw Allah suka melihat hamba-Nya yang letih beribadah, letih karena shalat malam atau letih karena dzikir atau berdo'a dsb.

Bekerja keras mencari rezeki adalah perintah Allah; dlm surah Al-Mulk (67) ayat 15 "Huwalladzi Ja'ala Lakumul-Ardha Dzalulan Fam-syu Fi Manakibiha Wa Kulu Min Rizqihi, Wa Ilaihin-Nusyur";artinya:"Dia (Allah) Yang menjadikan bumi itu mudah buat kalian, maka berjalanlah di seluruh penjurunya,dan makanlah sebagian dari rezekinya. Dan kepada-Nya-lah tempat kembali".

15 abad yang lalu dimana sarana transportasi masih sangat terbatas, Allah (dlm ayat ini) sudah mengatakan bahwa bumi Ia jadikan mudah untuk diarungi, lalu Ia perintahkan; "Famsyu Fi Manakibiha"(Berjalanlah kalian diseluruh penjurunya); Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya.

Bahwa ayat ini merupakan perintah Allah untuk melakukan perjalanan ke seluruh penjuru bumi yang kalian inginkan, dan mondar-mandir di berbagai daerah dan negara lain dalam rangka melakukan berbagai pekerjaan dan berniaga". (Tafsir Ibnu Katsir juz IV hal.397)

Setelah Allah perintahkan kita menjelajahi dunia dlm rangka mencari rezeki dengan bekerja atau berdagang, Ia katakan:"Wa Kulu Min Rizqihi" (Makanlah dari rezeki-Nya);Ibnu Katsir mengatakan bhw bekerja atau berdagang --keluar negeri-- merupakan faktor penyebab datangnya rezeki; dan bersikap --proaktif-- seperti itu justru membuka peluang utk bertawakal kpd Allah,bukan sebaliknya (Ibnu Katsir juz IV hal.398)
BEKERJA , MENCARI NAFKAH MENURUT ISLAM (BERSAMBUNG 2)

Ibnu Katsir mengatakan, bahwa yang dimaksud berjalan di pasar-pasar ialah mereka
(para nabi) juga melakukan kegiatan ekonomi, yaitu bekerja atau berdagang di pasar. Pasar adalah tempat berkumpulnya berbagai jenis manusia, dari yang baik sampai yang paling buruk. Ayat ini secara eksplisit menegaskan, bahwa para nabi bergaul, membaur dengan semua jenis manusia di pasar, mereka bukan tokoh spiritual yang tinggal di menara gading

Ibnu Katsir juga mengatakan, bahwa para nabi dalam melakukan kegiatan ekonomi di pasar, bergaul dan membaur dengan semua jenis manusia tanpa pilih bulu, 4 (empat) sifat utama mereka, yaitu Shiddiq (Jujur), Amanah (Bisa dipercaya), Tabligh (Menyampaikan da'wah), dan Fathanah (Cerdas) tetap terpelihara, tidak terkontaminasi.
Rasulullah saw bersabda: "Inna Nabiyallahu Dawud 'Alaihis-Salam Ya'kulu Min 'Amali Yadihi"; artinya: "Sesungguhnya Nabi Allah Dawud a.s., ia makan dari hasil kerja tangannya" (H.R. Al-Bukhari). Nabi Dawud adalah seorang raja, penguasa dan kaya raya, namun ia tetap bekerja mencari nafqah dengan membuat industri baju besi dan peralatan perang dari besi (lihat surah As-Saba' (34) ayat 10&11)

Imam Al-Qurthubi mengatakan bahwa Nabi Dawud adalah seorang yang memiliki banyak keistimewaan dari Allah, namun ia masih juga bekerja keras mencari nafqah dengan mempelajari & memproduksi peralatan dari besi. Sikap Nabi Dawud ini sama sekali tidak mengurangi kedudukannya, justru menambah kemuliaannya.

Karena seorang yang bekerja keras dan halal akan mendapatkan 3 (tiga) keistimewaan di luar hasil materi, yang justru nilainya jauh melebihi materi.
Tiga (3) keistimewaan itu ialah :
(1) Sifat Tawadhu' (rendah hati), tidak angkuh
(2) Tidak bergantung kepada orang lain; memiliki rasa percaya diri yang kuat
(3) Bersih dari omongan-2 negatif; mendapat penghargaan dari orang lain (Lihat Tafsir Al-Qurthubi juz VII hal.553).

Dalam hadits lain Nabi saw bersabda: "Wa Kana Zakariyya Najjaran"; artinya: "Adalah Nabi Zakariyya itu seorang tukang kayu" (H.R. Ibnu Majah). Jika Nabi Dawud seorang ahli besi, maka Nabi Zakariyya seorg yang ahli kayu. Demikianlah para nabi, manusia pilihan Allah, mereka semua bekerja mencari nafqah termasuk Rasulullah saw.

Mereka (para nabi) semuanya terus menerus berda'wah memperjuangkan agama Allah dengan ikhlas dan tidak menjadikan tugas & kewajiban da'wah mereka sebagai sarana
mencari materi. Mereka semua berkata: "Wa Ma As-Alukum 'Alaihi Min Ajrin In Ajriya Illa 'Ala Rabbil-'Alamin; artinya: "Dan aku se-kali-kali tidak minta upah pada kalian --atas da'wah itu--, upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam".(Surah26 ayat 109,127,145,164&180).
Bekerja, Mencari Nafkah Menurut Islam
Nabi saw bersabda: "Man Sa'a 'Ala Walidaih Fafi Sabilillah, Wa Man Sa'a 'Ala 'Iyalihi Fafi Sabilillah,Wa Man Sa'a 'Ala Nafsihi Liya'iffahu Fahuwa Fi Sabilillah; artinya: "Siapa-saja yang berusaha --mencari rezeki-- untuk kedua orang tuanya, maka --ia-- di dalam Sabilillah, dan siapa-saja yang berusaha --mencari rezeki--untuk keluarga -- yang ia tanggung--, maka ia dalam Sabilillah. Dan siapa-saja yang bekerja --mencari rezeki-- untuk kehormatan dirinya, maka ia di dalam Sabilillah.. (H.R. Al-Bazzar,Abu Nu'aim dan Ash-Bahani.Al-Ahaditsush-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani juz V hal. 272 no.2232).
Hadits ini menyatakan 3 (tiga) motivasi (niat) yang membuat "bekerja mencari nafqah" itu sama nilainya dengan "Jihad Fi Sabilillah", tentunya yang dimaksud disini melakukan pekerjaan yang halal.
Pertama: Dengan motivasi untuk menolong kedua orang tua.
Kedua : Dengan motivasi untuk keluarga yang ia tanggung.
Ketiga : Dengan motivasi untuk menjaga kehormatan diri, yaitu agar tidak menjadi beban orang lain.

Adapun yang dimaksud dengan "Fi Sabilillah", ialah jika seseorang bekerja dengan 3 (tiga) motivasi atau salah satu dari 3(tiga) tersebut, lalu ia wafat, maka ia terhitung sebagai orang yang "mati syahid". Subhanallah Wal-Hamdulillah.

Mati syahid, adalah kematian yang sangat istimewa. Nabi saw. berkata ada 6 (enam) keistimewaan yang diperoleh oleh seorang yang mati syahid:
(1) Ketika tetesan darah yang pertama --jatuh ke bumi--, dihapuskan seluruh dosanya
(2) Ketika itu ia melihat tempat tinggalnya di Sorga
(3) Ia akan dinikahkan dengan bidadari yang cantik.
(4) Ia akan diselamatkan dari ketakutan besar --yg melanda manusia--
pada hari Kiamat
(5) Ia akan diselamatkan dari siksa kubur
(6) Ia akan dihiasi dengan pakaian keimanan (H.R. Ahmad).
Demikianlah ganjaran yang akan diterima bagi seorang muslim yang bekerja mencari nafqah dengan motivasi untuk orang tuanya, atau keluargannya atau dirinya.

Jadi, menurut Islam, bekerja mencari nafqah dengan motivasi tersebut, merupakan keshalehan atau amal-shaleh yang luar-biasa. Seluruh rasul (nabi) pun bekerja mencari nafqah, sebagaimana firman Allah: "Wa Ma Arsalnaka Qablaka Minal-Mursalina Illa Inahum Laya'kukunath-Tha'am Wa Yamsyuna Fil-Aswaq", artinya:
"Dan tidaklah Kami mengutus seluruh utusan (nabi) sebelum engkau
(Muhammad), kecuali mereka mengkonsumsi makanan dan berjalan di pasar".
(Surah Al-Furqan ayat 20). Jadi, menurut ayat ini, seluruh rasul (nabi) adalah manusia biasa yang membutuhkan makanan, dan mereka juga berjalan di pasar pasar untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Bersambung 1
PERMOHONAN MAAF
Sudah menjadi tradisi setiap kali masuk bulan puasa, telepon genggam dipenuhi sms berbunyi:
Selamat berpuasa dan mohon maaf lahir batin dan akan banyak dalam lebaran.
Namun akan lebih berarti kalau permohonan maaf disampaikan bukan sekedar basa basi, melainkan sungguh-sungguh merupakan refleksi batin, sekaligus sebagai komitmen memperbaiki diri dan tidak mengulangi kesalahan.
Al Qur’an mengajarkan sedikitnya ada tiga hal harus dilakukan terhadap mereka yang berbuat salah, yaitu menahan amarah, memaafkan , dan berbuat baik (3:134)

(Yaitu orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan), bahkan sekalipun mereka bersumpah tidak akan berbuat baik kepada kita, tetap dianjurkan member maaf dan melupakan kesalahannya (An-Nur:22)



(Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dari kelapangan diantara kamu Bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabatnya, orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (ayat ini turun berkenaan dengan kisah Abu Bakar ash-Shiddiq R.A ketika bersumpah tidak akan memberikan nafkah apapun kepada misthah bin Utsatsah setelah ia menuduh ‘Aisyah R.A.
Hakekatnya, puasa membangun dan memperkuat sifat kemanusiaan manusia setinggi-tingginya sehingga pada akhirnya manusia penuh diliputi cinta kasih dan kemurahan hati, kemampuan menahan amarah serta keinginan tulus meminta maaf dan memaafkan sesama. Sikap-sikap terpuji inilah sesungguhnya wujud nyata dari fitrah manusia (Ar- Rum 30:30)



(Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam) ; sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid, kalau ada manusia tidak beragama tauhid maka hal itu tidaklah wajar. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus (Kitabullah yaitu Al Qur’an) tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.








Kesadaran akan fitrah manusia dan kenyataan bahwa dalam realitas tidak ada manusia luput dari dosa, dan kesalahan membawa pada kesadaran baru akan perlunya meminta maaf kepada sesame, terutama orang tua dan kerabat dekat, dari segala dosa dan kesalahan, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Tidak hanya meminta maaf, tetapi juga memberi maaf kepada sesama tidak kalah pentingnya. Sebesar apapun kesalahan orang lain tidak perlu dihitung. Biarlah Allah yang mengetahui kewajiban kita sebagai sesama manusia hanyalah memberi maaf dan berusaha menunjukkan sikap yang jauh lebih baik.
Bukanlah perkara mudah memaafkan kesalahan orang lain umumnya lebih suka membayar ganti rugi atau membayar saksi daripada meminta maaf. Mengapa? Meminta maaf sering dianggap identik dengan kehilangan harga diri atau kehilangan muka.

Untuk membangun sikap mudah memaafkan. Perlu direnungkan sifat-sifat Allah yang baik (Al-Asmaul husna) empat berkaitan dengan sifat pemaaf, yakni sifat al-ghaffar, al-ghafur, al-Thawwab dan al-Afwu.
Sebagai Al Ghaffat Allah SWT senantiasa berjanji menutupi kesalahan orang-orang yang bertobat, bahkan kesalahan mereka akan ditukar dengan kebajikan (Al-furqan 25:70


Kecuali orang-orang yang bertobat dan beriman dan mengajarkan kebajikan; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan Kebaikan. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang) Allah SWT menyambut permohonan tulus para hamba, termasuk hamba yang berdosa sekalipun dengan syarat tidak mempersekutukan Allah SWT
Allah memerintahkan manusia agar meneladani-Nya dalam memberi maaf dan ampunan (Al-Jasiah 45;15
Barang siapa mengerjakan kebajikan, maka itu untuk dirinya sendiri, dan barang siapa mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri; kemudian kepada Rabmu kamu dikembalikan), bahkan ditegaskan: “tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia” (Asy-Syura 42;43).
Ampunan Allah sungguh sangat luas, tak bertepi dan tak ternilai oleh apapun. Hanya satu syarat, jangan mempersekutukan Allah dengan suatu apapun, Renungkan makna hadist Qudsi berikut: “ HambaKu, seandainya kalian datang kepadaKu dengan membawa dosa sepenuh isi bumi, Aku pun pasti menyambut kalian dengan ampunan sepenuh isi bumi, asalkan kalian tidak mempersekutukan Aku (HR Tarmidzi dari Anas ibnu Malik) lalu mengapa enggan memohon maaf ?

Pesan moral yang ingin dinyatakan al Qur’an adalah: berilah maaf sebelum yang bersalah meminta maaf, dengan demikian maaf yang diberikan itu tidak terkesan terpaksa. Slogan “tiada maaf bagimu” jangan pernah ada dalam kamus kehidupan umat Islam. Sikap saling minta maaf dan memberi maaf inilah sesungguhnya fondasi utama bagi pemulihan dan penguatan hubungan silaturahim.Puasa seharusnya menjadi media yang memperkokoh fondasi tersebut. Wallahu a’lam bi as-shawab
Harian Republika - Rabu, 02 September 2009
Sukses Muhammad Yunus dengan konsep Grameen Bank memberdayakan perekonomian masyarakat miskin Bangladesh memberi ilham kepada banyak orang. Dengan memberikan kredit ringan pada orang miskin dan tanpa adanya jaminan, kredit itu berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin di negara dengan populasi 132 juta jiwa itu.
Konsep yang menginspirasi banyak pihak itu tak kecuali mengilhami berdirinya BMT Berkah Madani, yang melakukan upaya penyaluran pembiayaan dengan konsep serupa. Bersama dengan UKM Center Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, BMT Berkah Madani mengembangkan konsep tersebut khusus pembiayaan produktif yang disalurkan bagi perempuan miskin.

Ketua Pengurus BMT Berkah Madani, Wawan Windhu Setiawan, mengatakan, sebelumnya telah terdapat pilot project penyaluran pembiayaan dengan pola seperti Grameen Bank di Rangkapan Jaya, Depok. Proyek pertama tersebut pun cukup sukses memberdayakan sekitar 70 orang perempuan di kelurahan Rangkapan Jaya, sejak dua bulan lalu. Namun seiring waktu, pola pembiayaan tersebut akan diperluas ke seluruh kecamatan di kota Depok.

"Sosialisasi program pembiayaan ini akan dilakukan bertahap ke wilayah lainnya,"kata Wawan. Soal dana yang akan disalurkan kepada program tersebut, BMT Berkah Madani akan mengajukan dana ke Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Kementerian Negara Koperasi dan UKM.

Dalam program tersebut, BMT yang berlokasi di Kelapa Dua, Depok itu menargetkan dapat menjaring hingga 6.000 peserta dari seluruh kota Depok. Untuk tahap awal, tahun ini Wawan berharap setidaknya dapat mengajak serta 500 orang. Secara bertahap, dalam jangka waktu tiga tahun, diharapkan terdapat 6.000 peserta ikut program ini. Penyaluran pembiayaan dengan akad murabahah tersebut memberikan modal minimal Rp 200 ribu dan maksimal Rp 5 juta.

"Setelah usaha para peserta berkembang dan membutuhkan pembiayaan melebihi plafon yang ditetapkan, mereka harus beralih ke program pembiayaan biasa," ujar Wawan. Untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan bagi 6000 peserta setidaknya BMT membutuhkan dana sekitar Rp 1,3 miliar.

Secara bertahap, kata Wawan, Berkah akan berusaha memenuhi kebutuhan dana tersebut, sesuai pertumbuhan para peserta. Tim dari FEUI akan menyeleksi kelayakan calon peserta yang akan ikut dalam program tersebut.

Ada hal lain yang tak kalah penting. Jika program tersebut berjalan sukses, UKM Center FEUI akan membuat kajian kebijakan publik. Wawan menuturkan, sebelumnya pola Grameen Bank juga pernah diterapkan di Kabupaten Tangerang, dan berjalan baik. "Jika ternyata di Depok berjalan baik, kami akan mengajukan (cara itu) ke Departemen Dalam Negeri. Isinya, konsep Grameen Bank sukses jugta dilakukan di kota dan desa. Semoga dengan begitu akan jadi program nasional pemerintah daerah,"kata Wawan.

Tahun ini, BMT yang berdiri sejak 19 Oktober 2004 itu juga menambah sumber pendanaan. Dari sebelumnya hanya mengandalkan simpanan anggota, mencoba cara-cara lain yang kreatif. Misalnya saja, tahun ini BMT bekerja sama dengan PT Aneka Tambang, Tbk. (Antam), akan menyalurkan Program Dana Kemitraan perusahaan itu. Di tahap awal dari program tersebut BMT Berkah Madani memperoleh alokasi Rp 200 juta, disalurkan untuk wilayah Depok dan Jakarta Selatan. BMT juga memperoleh dana LPDB sebesar Rp 200 juta pada semester pertama, dan masuknya dana dari Surat Utang Koperasi sebesar Rp 200 juta.

Penjajakan linkage program pun dilakukan dengan Bank Syariah Mandiri, untuk penyaluran dana berpola channeling. Wawan mengharapkan, jalinan kerja sama dengan BSM itu dapat terealisasi tahun depan. Saat ini ia mengaku, BMT Berkah fokus pada pengembangan program Grameen Bank.

Kian beragamnya sumber pendanaan ini membuat penyaluran dana BMT Berkah Madani telah mencapai Rp 7 miliar. Untuk penyaluran pembiayaan baru BMT menargetkan mencapai Rp 10 miliar. Sementara di sisi aset, Wawan optimistis dapat mencapai sekitar Rp 4,5 miliar, akhir tahun. Saat ini BMT Berkah Madani tercatat memiliki aset Rp 3,6 miliar. gie
Last Updated on Monday, 07 September 2009 14:38