Minggu, 28 November 2010

ADAB ZIARAH KUBUR

Dalam Islam, seluruh aspek kehidupan sudah punyai rambu masing-masing, termasuk tentang ziarah kubur. Awalnya Islam melarang perbuatan ini hingga akhirnya Nabi mengizinkan kembali. Diriwayatkan dari Buraidah, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda. ‘’ Dahulu saya melarang kalian berziarah ke kuburan, tapi (sekarang) ziarahilah kuburan tersebut sebab ia bisa mengingatkan akan Hari Akhirat.” (Riwayat Muslim)
Berikut beberapa hal yang berkaitan dengan ziarah kubur:
1. Tidak mengkhususkan waktu tertentu.
Ziarah kubur tak mengenal waktu khusus dan tertentu. Ia bisa dilakukan kapan saja. Tanpa ada perbedaaan dan keutamaan di dalamnya, sebagaimana perbuatan sebagian orang yang ramai berziarah kubur pada Jumat atau Hari Raya Ied.
2. Mendoakan mereka
Setiap Muslim disunnahkan membaca doa ketika melewati atau memasuki suatu kuburan. Memohonkan bagi mereka rahmat dan maghfirah (Pengampunan). Di antara doanya: Assalamuala ahli ad-diyar min al-mu’minina wa al-muslimin, wa yarhamu Allahu Al-mustaqdimina minna, wa inna insya allahu bikum lahiqun.
‘’ Segala keselamatan (semoga tercurah) kepada para penghuni kubur, yakni orang-orang mukmin dan Muslim, dan semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului kami. Insya Allah kamipun akan menyusul mereka.”
3. Tak mencela si mayit
Tak sepantasnya seseorang mencela mayat Muslim yang telah menilnlggal. Sabda Nabi,’’Janganlah kalian mencela mayat-mayat iut. Sesungguhnya mereka itu telah mendapatkan ganjaran dari apa yang mereka usahakan dahulu.” (Riwayat Al Bukhari)
4. Mengambil pelajaran dari orang mati
Hikmah terbesar dari ziarah kubur adalah mengingatkan manusia akan hakikat kehidupan ini. Adanya fase kematian sebagai pintu gerbang menuju kehidupan hakiki. Menjadikan hati bisa lunak dan bersih kembali, Nabi bersabda, ‘’ .. ziarahilah kuburan sesungguhnya terdapat ibrah (pelajaran) di dalamnya.”
Dalam riwayat Anas bin Malik dikatakan,’’ … Sesungguhnya ia bisa melunakkan hati, mengucurkan air mata, serta mengingatkan kalian akan hari Akhirat (Kematian)…’’ (riwayat Al Hakim dan al – Baihaqi).
5. Stop berbuat Ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap kuburan.
Diantara bentuk Ghuluw kaum terdahulu adalah menjadikan kuburan orang-orang saleh diantara mereka sebagai sesembahan. Kepadanya mereka berdoa, memohon bantuan, serta mengharapkan berkah dan keselamatan. Yang tak lain, semua itu termasuk perbuatan dilaknat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam pernah berdoa. ‘’ Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburan saya ini sebagai berhala yang disembah nantinya,” (Kitab Al-Muwattha Imam Malik)
6. Tidak menjadikan kuburan sebagai masjid.
Tak sepantasnya seorang Muslim menjadikan kuburan sebagai tempat shalat. Sebagaimana ia juga tak boleh mendirikan bangunan masjid di lokasi kuburan. Rasulullah bersabda, ‘’ Sesungguhnya manusia yang paling buruk adalah mereka yang masih hidup ketika Hari Kiamat tiba dan orang-orang yang menjadikan kuburan itu sebagai masjid.’’
(Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban, dan at-Thabrani).

Kamis, 18 November 2010

Pribadi Pemaaf (2)

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (199) وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (200) إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ (201) وَإِخْوَانُهُمْ يَمُدُّونَهُمْ فِي الْغَيِّ ثُمَّ لَا يُقْصِرُونَ (202)
Rasulullah SAW adalah seorang pemimpin, pemberi petunjuk, guru dan murabbi. Jadi, beliau lebih pantas untuk memberi maaf, bersikap mudah dan melupakan kesalahan. Dan demikianlah, Rasulullah SAW tidak pernah marah untuk dirinya sama sekali. Tetapi jika terkait agama Allah, maka tidak ada sesuatu pun yang bisa menahan amarah beliau! Semua pelaku dakwah diperintahkan hal yang sama dengan yang diperintahkan kepada Rasulullah SAW. Karena berinteraksi dengan jiwa manusia untuk memberinya petunjuk itu menuntut lapang dada, toleransi, bersikap mudah dan memudahkan, tanpa menyepelekan agama Allah.
“Dan perintahkanlah kebaikan…” Kata ‘urf berarti kebaikan yang dikenal, jelas, serta tidak memerlukan pengkajian dan perdebatan. Kebaikan yang diterima fitrah yang bersih dan jiwa yang lurus. Ketika jiwa telah terbiasa dengan kebiasaan ini, maka setelah itu jiwa akan mudah diarahkan, dan sukarela menerima berbagai macam kebaikan tanpa bersusah payah. Tidak ada faktor yang menghalangi jiwa dari kebaikan seperti kerumitan dan beban berat pada saat jiwa pertama kali mengenal berbagai taklif! Melatih jiwa itu pada mulanya harus ditempuh dengan cara yang mudah, agar ia mudah diarahkan dan terbiasa dengan sendirinya untuk memikul tugas yang lebih dengan ringan dan sukarela.
“Dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh…”
Kata al-jahilin terbentuk dari kata jahalah. Kata jahalah adalah lawan dari kata rusyd (bijak), dan juga lawan dari kata ‘ilm (mengetahui). Keduanya berdekatan. Berpaling maksudnya adalah mengabaikan dan menyepelekan tindakan dan ucapan yang mereka keluarkan secara bodoh; melewatinya layakanya orang-orang yang mulia; dan tidak memasuki perdebatan dengan mereka yang justeru berakhir pada kesulitan, serta membuang-buang waktu dan tenaga…
Terkadang, perdebatan berakibat sikap diam dari mereka. Berpaling juga dilakukan dengan mengacuhkan kebodohan mereka, lalu berusaha untuk melembutkan dan membina jiwa mereka, bukan sebaliknya; membalas dengan kaji dan keras kepala. Jika tidak mengakibatkan dampak seperti pada mereka, maka sikap tersebut akan membuat mereka menjauhi orang lain yang di hati mereka ada kebaikan, karena mereka melihat pelaku dakwah sebagai orang yang tegar dan berpaling dari kesia-sisaan, dan melihat orang-orang yang bodoh sebagai orang yang suka dendam dan berbuat bodoh, sebagai kedudukan orang-orang bodoh itu jatuh di mata orang-orang yang di dalam hatinya ada kebaikan, lalu menjauhi mereka!
Betapa sepantasnya pelaku dakwah mengikuti arahan rabbani dari Allah yang Maha mengetahui isi jiwa!
Tetapi Rasulullah SAW adalah manusia biasa. Terkadang kemarahannya bangkit terhadap kebodohan orang-orang yang bodoh. Jika Rasulullah SAW mampu mengontrolnya, namun tidak demikian dengan para pelaku dakwah di belakang beliau. Pada saat marah itulah setan membisikkkan ke dalam jiwa, sehingga jiwa menjadi kehilangan kontrol! Karena itu, Tuhannya memerintahkannya untuk memohon perlindungan kepada Allah agar memadamkan kemarahannya dan menghentikan langkah-langkah setan: “Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (200)
Ulasan ini, “Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” menetapkan bahwa Allah Maha Mendengar kebodohan orang-orang yang bodoh; Maha mengetahui dengan gangguan yang ditahan oleh jiwamu. Ulasan ini mengandung penenang dan penyejuk jiwa. Cukuplah bagi jiwa untuk mengetahui bahwa Yang Maha Mulai lagi Mahaagung mendengar dan mengetahui! Apa yang dicari jiwa setelah Allah mendengar dan mengetahui kebodohan yang dihadapinya saat ia mengajak orang-orang yang bodoh itu kepada-Nya?
Kemudian konteks surat menempuh jalan lain untuk menginspirasi jiwa pelaku dakwah agar rela dan menerima, serta mengingat Allah ketika marah, untuk menghentikan langkah setan dan bisikannya yang keji:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (201)
Ayat yang pendek ini mengungkapkan inspirasi-inspirasi yang menakjubkan dan hakikat-hakikat yang mendalam, yang terkadang dalam ungkapan Al-Qur’an yang sarat mukjizat lagi indah. Ditutupnya ayat dengan lafazh, “maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya” benar-benar memperkaya makna ayat.
Tidak ada lafazh lain yang sebanding dengannya. Ia menunjukkan bahwa bisikan setan itu dapat membutakan, menghapus pandangan, dan menutup mata hati. Tetapi, takwa kepada Allah, muraqabah (merasa diawasi oleh Allah), dan takut akan murka dan hukuman-Nya menjadi koneksi yang menghubungkan hati dengan dengan Allah, menyadarkannya dari kelalaian terhadap petunjuk-Nya..Ia mengingatkan orang-orang yang bertakwa. Dan ketika mereka teringat, maka pandangan batin mereka terbuka, dan selubung pun tersingkap dari mata mereka. “Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.”
Sesungguhnya bisikan setan itu membutakan, dan mengingat Allah itu membuka penglihatan. Sesungguhnya bisikan setan mengakibatkan kegelapan, dan ijttijah kepada Allah mengakibatkan cahaya. Sesungguhnya bisikan setan itu dapat dikalahkan dengan takwa, karena setan tidak punya kuasa atas orang-orang yang bertakwa..
Itulah hal ihwal orang-orang yang bertakwa. “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (201)

Pribadi Pemaaf (1)

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (199) وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (200) إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ (201) وَإِخْوَانُهُمْ يَمُدُّونَهُمْ فِي الْغَيِّ ثُمَّ لَا يُقْصِرُونَ (202)
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu setan-setan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan).” (QS Al-A’raf [7]: 199-202)
Arahan-arahan ini hadir di akhir surat, dari Allah Subhanah kepada wali-wali-Nya. Yaitu Rasulullah SAW dan orang-orang mukmin bersamanya, saat mereka berada di Makkah; tengah menghadapi jahiliyah di sekitar mereka di Jazirah Arab dan di seluruh muka bumi..
Arahan-arahan rabbani dalam mengahdapi jahiliyah yang keji, dan dalam menghadapi manusia yang sesat, mengajak pelaku dakwah –yaitu Nabi SAW—untuk berlapang dada dan bersikap mudah; untuk memerintahkan kebaikan yang jelas dan dikenal fitrah manusia karena sederhananya, tidak memperumit dan tidak mempersulit; serta berpaling dari jahiliyah, tidak merespon mereka, tidak mendekat mereka, dan tidak melayani mereka. Jika mereka melampaui batas, mengusik kemarahannya dengan sikap keras kepala dan menghalangi manusia dari kebenaran, dan ketika setan menghembuskan amarah, maka hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah agar ia menjadi tenang dan sabar.
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS Al-A’raf [7]: 199-201)
Kemudian Al-Qur’an memberitahu beliau tentang watak orang-orang jahil tersebut, waswas yang ada di balik mereka dan yang mendorong mereka untuk berlaku sesat. Al-Qur’an juga menyebut satu sisi dari perilaku mereka terhadap Rasulullah SAW dan tuntutan mereka terhadap berbagai mukjizat.
Tujuan Al-Qur’an adalah untuk mengarahkan beliau mengenai apa yang dikatakan kepada mereka, untuk mengenalkan kepada mereka akan watak risalah dan hakikat Rasulullah SAW, dan untuk mengoreksi persepsi mereka tentang risalah, Rasulullah SAW, dan hubungan beliau dengan Rabb-nya yang Maha Mulia. “Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu setan-setan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan). Dalam konteks isyarat mengenai Al-Qur’an yang diwahyukan Allah kepada Rasulullah SAW, hadir arahan kepada orang-orang mukmin mengenai etika untuk menyimak Al-Qur’an ini dan etika dzikrullah, dengan disertai peringatan untuk mengontinukan dzikir tersebut serta tidak melalaikannya. Karena para malaikat yang tidak pernah salah saja selalu berdzikir, bertasbih dan bersujud, apalagi manusia yang banyak salah itu seharusnya tidak perlah melupakan dzikir, tasbih dan sujud.
“Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nya lah mereka bersujud.” (203-206)
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (199-201)
Ambillah sikap memaafkan yang memudahkan terhadap akhlak manusia dalam bergaul dan berteman, janganlah engkau menuntut kesempurnaan dari mereka, janganlah bebani mereka dengan akhlak yang berat, dan maafkanlah segala kesalahan, kelemahan dan kekurangan mereka.
Semua itu berlaku dalam hubungan personal, bukan dalam akidah dan kewajiban syar’i. Karena di dalam akidah Islam dan syari’at Allah tidak ada toleransi. Dengan demikian kehidupan akan berjalan dengan mudah dan ringan. Karena melupakan kelemahan manusiawi, bersikap santun dan toleran terhadapnya merupakan kewajiban orang-orang yang besar dan kuat terhadap orang-orang yang kecil dan lemah.

WAKAF UANG 3

Menurut Al-Quran
Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:

“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267)

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92)

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah (2): 261)

Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.

Menurut Hadis

Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya.

Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah; “Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya? Sabda Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.”

Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya.”

Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim sejak masa awal Islam hingga sekarang.

Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004.
Comments Wakaf dihukumi sah apabila orang yang berwakaf (wakif) memenuhi keriteria berikut:
a. dewasa;
b. berakal sehat;
c. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan
d. pemilik sah harta benda wakaf.

Jika ketika mengucapkan Ikrar Wakaf adik anda memenuhi keriteria di atas berarti dihukumi sah.

Ketika tanah tersebut sudah sah menjadi tanah wakaf, maka selamanya tidak boleh ditarik kembali, dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, dan diwariskan.

WAKAF UANG

Pendapat Ulama

Menurut pendapat Imam al-Zuhri (wafat tahun 124 H), mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada para penerima wakaf atau mauquf 'alaih (Abu Su'ud Muhammad, Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, 1997).

Sementara itu, ulama dari madzhab Hanafi, juga membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-'Urfi. Pendapat ulama dari madzhab Hanafi ini berdasarkan atsar dari Abdullah bin Mas'ud RA. "Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk." (Wahbah al-Zuhaili, al Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, 1985).

Pendapat sebagian ulama madzhab al-Syafi'i, "Abu Tsyar meriwayatkan dari Imam al-Syafi'i tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)." (Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, 1994).

Mudah dan Cepat

Banyak manfaat yang bisa diambil hikmah dari Wakaf Uang. Antara lain, wakaf uang bisa dilakukan siapa saja, tanpa harus menunggu kaya. Minimal Rp1 juta, seseorang sudah bisa menjadi wakif (orang yang berwakaf), dan mendapat Sertifikat Wakaf Uang.

Kemudian, jaringan wakaf uang sangat luas. Karena bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja untuk menyetorkannya. Bahkan, Badan Wakaf Indonesia (BWI) telah bekerja sama dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) untuk memudahkan penyetoran.

Saat ini, baru ada lima LKS yang ditunjuk pemerintah (Menteri Agama) yang bisa menerima Wakaf Uang: Bank Muamalat Indonesia (No. Rek. 3012345615), Bank Syariah Mandiri (No. Rek. 3012345615), BNI Syariah (No. Rek. 333000003), DKI Syariah (No. Rek. 7017003939), dan Bank Mega Syariah Indonesia (No. Rek. 100.00.10.00011.111).

Selain itu, dengan berwakaf uang, harta juga tidak akan berkurang. Sebab, dana yang diwakafkan, akan berkembang melalui investasi yang dijamin aman, dengan pengelolaan secara amanah, bertanggung jawab, profesional dan transparan.

Manfaatnya pun berlipat ganda. Hasil investasi dana itu akan bermanfaat untuk peningkatan prasarana ibadah dan sosial, kesejahteraan masyarakat, serta membangun peradaban umat manusia. Wakaf uang juga merupakan investasi akhirat, karena pahalanya akan terus mengalir walaupun si pewakaf sudah meninggal dunia. []

WAKAF UANG

Masyarakat muslim umumnya hanya memahami bahwa harta yang bisa diwakafkan adalah benda yang tidak bergerak seperti tanah. Padahal, potensi wakaf yang berupa harta bergerak, jauh lebih besar dan akan makin besar bila diberdayakan dengan baik. Contohnya adalah wakaf uang, atau dikenal dengan istilah Waqf al-Nuqud atau Cash Waqf. Wakaf uang, memang belum dikenal di zaman Rasulullah. Wakaf uang baru dipraktikkan sejak awal abad kedua hijriah. Imam Az-Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al-hadits memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Bahkan, di Eropa, yaitu Turki, praktik wakaf uang baru familiar di tengah masyarakat pada abad ke-15.

Dan pada abad ke-20, baru muncul berbagai gagasan untuk mengimplementasikan berbagai ide-ide besar Islam dalam bidang ekonomi, berbagai lembaga keuangan lahir seperti bank, asuransi, pasar modal, institusi zakat, institusi wakaf, lembaga tabungan haji, dan lain-lain.

Wakaf uang biasanya merujuk pada cash deposits di lembaga-lembaga keuangan seperti bank. Wakaf uang biasanya diinvestasikan pada profitable business activities. Keuntungan dari hasil investasi tersebut digunakan pada sesuatu yang bermanfaat secara sosial keagamaan.

Pada tahapan inilah lahir ide-ide ulama dan praktisi untuk menjadikan wakaf uang salah satu basis dalam membangun perekonomian umat. Dari berbagai seminar, yang dilakukan masyarakat, maka ide-ide wakaf uang ini semakin menggelinding. Negara-negara Islam di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara sendiri memulainya dengan berbagai cara.

Di Indonesia, sebelum lahirnya UU Nomor 41 Tahun 2004, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa tentang Wakaf Uang tahun 2002 silam. Wakaf Uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.

Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh). Dan wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar'i. Selain itu, nilai pokok dari Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan. (BERSAMBUNG)

Rabu, 17 November 2010

APA ARTI ISLAM

Syaikhul-Islâm Ibnu Taymiyah (rahimahullâh) telah memberikan penjelasan tentang makna Al-Islâm dari segi bahasa, beliau berkata:
“Al-Islâm itu ialah penyerahan diri (pasrah) kepada Allâh, dan — penyerahan — itu ialah tunduk kepada-Nya dan melakukan peribadatan (’ubûdiyyah) kepada-Nya. Seperti ini pendapat para ahli lughah”.
(Lihat Fathul-Majîd hal. 97)
Coba bandingkan penjelasan Syaikhul-Islâm Ibnu Taymiyah ini dengan ucapan sang tokoh : “Islâm bukan nama agama, akan tetapi sikap pasrah pada kebenaran”. Maka orang yang menggunakan ‘aqal akan merasa betapa kabur, tidak jelas dan dangkalnya pernyataan ini.
Dalam kamus Al-Munjîd disebutkan beberapa arti Al-Islâm di tinjau dari segi bahasa, di antaranya ialah :
“Tunduk (patuh) kepada perintah pemberi perintah serta — menjauhi — larangannya tanpa membantah”.
(Lihat Al-Munjîd hal. 347)
Jadi, Al-Islâm adalah sikap tunduk dan patuh atau merendah (khudhu’) serta tidak membantah dalam menerima dan melaksanakan perintah atau menjauhi larangan dari Pemberi Perintah, dalam hal ini ialah Allâh SWT. Karena bagi kaum Muslimîn, Dia-lah satu-satunya yang berhak bertindak sebagai pemberi perintah dan larangan bagi manusia.
Kemudian kamus Al-Munjîd menyebutkan pengertian yang lain lagi tentang arti Al-Islâm :
“Dîn (agama) yang terkenal (populer), dan adakalanya — Al-Islâm — digunakan untuk pengertian (makna) kaum Muslimîn, dan yang dimaksud — adalah — para pemeluk Islâm”.
(Lihat Al-Munjîd hal. 347)
Dari pengertian ini, kita dapat menyimpulkan bahwa Al-Islâm itu adalah nama agama yang terkenal dan sudah dikenal secara luas. Dan adakalanya kata “Al-Islâm” digunakan dengan pengertian “Al-Muslimîn” yang merupakan isim fâ’il (nama pelaku) dari kata “Aslama”. Jadi, penggunaan mashdar — yaitu kata Al-Islâm — sebagai isim fâ’il pun sudah dimaklumi, maka penggunaannya sebagai isim atau nama bagi agama yang dibawa oleh Rasûlullâh saw. pun tentu lebih lumrah lagi. Dan Rasûlullâh saw. pernah menyebutkan bahwa Al-Islâm merupakan nama agama yang Beliau bawa, sebagaimana sabdanya :
“Akan datang satu masa pada manusia, — di mana — tidak tersisa dari Al-Islâm kecuali — hanya — namanya…..”.
(H.R. Al-Baihaqî dari ‘Ali. Lihat Ushulul-Imân hal. 42)
Di dalam hadits ini Rasûlullâh saw. menjelaskan bahwa Al-Islâm yang Beliau bawa akan mengalami degradasi sehingga pada satu masa ia (Al-Islâm) tinggal namanya saja, yaitu nama tanpa wujud yang nyata. Dan dalam hadits ini Beliau saw. menyebut kata “ismuhu” yang artinya namanya, dan dhamir “hu” (nya) kembali kepada kata Al-Islâm. Artinya, Rasûlullâh saw. pun telah menyatakan bahwa Al-Islâm adalah sebuah nama. Jadi, — sekali lagi — pernyataan sang tokoh bahwa Al-Islâm bukan nama agama adalah ngawur.
Untuk mendapat pengertian Al-Islâm secara komprehensif kita perlu, bahkan harus melihat penjelasan Rasûlullâh saw., karena Beliau-lah yang paling tahu dan paling mengerti tentang hal ini, bukan sang tokoh. Dalam salah satu hadits yang shahîh, Rasûlullâh saw. bersabda :
“Al-Islâm itu ialah: Jika engkau bersaksi bahwasanya tiada sesembahan selain Allâh dan Muhammad itu utusan Allâh, kemudian engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhân dan berhaji ke Baitullâh jika engkau mampu membiyayai perjalanan ke sana”.
(H.R. Muslim dari Ibnu ‘Umar)
Berdasarkan hadits ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Al-Islâm, yaitu penyerahan atau sikap menyerah pada kebenaran kalau kita pinjam pernyataan sang tokoh, mencakup lima aspek :
1 Bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allâh dan bahwasanya Muhammad itu utusan Allâh.
2 Menegakkan shalat.
3 Menunaikan zakat.
4 Berpuasa di bulan Ramadhân.
5 Melakukan ‘ibadah haji bila telah mampu.
Ini merupakan pengertian Al-Islâm dalam bentuk tindakan atau ketaatan yang nyata, lahiriyah atau transparan yang bisa disaksikan oleh sesama orang Islâm. Sedangkan dalam hadits yang lain Rasûlullâh saw. bersabda — ketika Beliau ditanya: Apakah Al-Islâm itu ? — :
“Al-Islâm ialah: Jika engkau menyerahkan hatimu kepada Allâh, memalingkan wajahmu kepada Allâh, kemudian engkau melakukan shalat yang wajib dan menunaikan zakat yang difardhukan”.
(H.R. Ahmad)
Hadits ini menekankan pengertian bahwa Al-Islâm itu adalah penyerahan hati kepada Allâh. Yang dimaksud penyerahan hati di sini mencakup: Imân, yaitu percaya sepenuhnya (tashdîq) kepada Allâh, ikhlâsh, berserah diri (tawâkal) dan takut kepada-Nya, serta ridhâ (rela) terhadap taqdir atau keputusan-Nya. Inilah bentuk ‘amal qalbu atau ‘amal hati atau ‘ubudiyah qalbu menurut Al-Imâm Ibnul-Qayyim (rahimahullâh).
Kemudian yang dimaksud memalingkan wajah kepada Allâh, ialah menghadap ke qiblat dengan sepenuh hati dan melakukan shalat wajib serta menunaikan zakat yang wajib. Inilah ‘amal yang zhahir atau nampak dan sekaligus merupakan penjelasan makna Al-Islâm yang berdimensi vertikal.
Kemudian dalam hadits yang lain lagi Rasûlullâh saw. pernah ditanya oleh para shahabatnya :
“Ya Rasûlullâh, manakah Al-Islâm yang lebih utama?”.
Rasûlullâh saw. pun menjawab :
“(Al-Islâm yang lebih utama) ialah orang yang menjaga ucapan dan perbuatannya terhadap — sesama — kaum Muslimîn”.
(H.R. Al-Bukhârî)
Hadits ini menjelaskan sikap Al-Islâm atau pribadi Islâmî yang paling utama atau paling terpuji dan berdimensi horisontal, yaitu kemampuan mengkontrol diri (self control) dalam berinteraksi. Menurut hadits ini seorang Islâm atau muslim yang lebih utama atau yang paling terpuji ialah yang selalu mengkontrol atau menjaga ucapan dan tindakannya terhadap sesama muslim lainnya, yaitu menjaga lisan dari ucapan-ucapan yang dapat menimbulkan keresahan, keributan, hasutan dan sebagainya, terutama sekali di kalangan kaum Muslimîn pada khususnya dan di tengah umat manusia pada umumnya. Begitu-juga dalam sebuah hadits yang lain, Rasûlullâh saw. pernah ditanya oleh seorang shahabatnya :
“Manakah Al-Islâm yang paling baik?”.
Rasûlullâh saw. pun menjawab :
“Jika engkau memberikan makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan orang belum engkau kenal”.
(H.R. Al-Bukhârî)
Hadits ini menegaskan sikap Al-Islâm atau pribadi Islâmî yang paling baik, yaitu berkaitan dengan akhlaq sosial dan juga berdimensi horisontal, ialah memberi makan kepada faqir-miskin atau orang yang membutuhkan makanan tentunya. Dan mengucapkan salam kepada orang yang telah dikenal dan belum dikenal. Ini adalah sikap egaliter, rendah hati dan tidak sombong terhadap sesama manusia.
Dalam sebuah hadits yang lain, Rasûlullâh saw. memadukan kedua sikap Al-Islâm yang berdimensi vertikal dan horisontal dengan indah sekali, Beliau bersabda :
“Al-Islâm ialah: Jika engkau menyerahkan hatimu kepada Allâh, sedangkan orang-orang Islâm (Muslimîn) yang lain merasa aman dari ucapan dan tindakanmu”.
(H.R. Ahmad dan Muhammad bin Nashri Al-Marwazî)
Jadi, bila kita menjumpai seorang atau sekelompok manusia yang mengaku muslim atau beragama Islâm, namun ucapan dan tindakannya selalu menimbulkan keresahan di kalangan kaum Muslimîn lainnya, maka kredibilitas ke-Islâman orang atau kelompok ini perlu dipertanyakan, atau bisa jadi ia belum memahami Al-Islâm sebagaimana mestinya alias masih awam, sehingga kita harus bisa memaklumi jika ucapannya ngawur atau tindakannya sering menimbulkan keresahan di kalangan kaum Muslimîn.

SEKAPUR SIRIH

Da’wah Islâm yang dikumandangkan oleh Rasûlullâh saw. merupakan satu peristiwa yang paling menakjubkan dalam sejarah manusia. Dalam tempo hanya satu abad saja, dari gurun yang tandus dan suku bangsa yang terbelakang, Islâm telah tersebar hampir menggenangi separuh dunia dan menciptakan revolusi berpikir dalam jiwa bangsa-bangsa. Dan sekaligus membina satu dunia baru, yaitu Dunia Islâm.
Betapa besar kontribusi yang diberikan Islâm kepada kemanusiaan, khususnya bangsa ‘Arab, yang pada waktu itu merupakan bangsa yang terbelakang, tak terkenal, tak punya tempat dan kedudukan dalam sejarah, namun dalam waktu yang singkat mereka muncul memimpin bangsa-bangsa di dunia. Ini semua berkat Islâm dan Al-Qur-ân serta bimbingan Nabi besar Muhammad saw. Benarlah apa yang diucapkan oleh ‘Umar bin Al-Khaththâb r.a. :

“Kita—bangsa ‘Arab – adalah bangsa yang paling hina, maka Allâh memuliakan kita dengan Islâm. Karena itu, apabila kita mencari kemuliaan selain – Islâm –, pastilah Allâh akan menjadikan kita kembali hina”.
Dengan Islâm dan Al-Qur-ân, serta pembinaan yang dilakukan terus menerus oleh Nabi Muhammad saw. bangsa yang terbelakang ini menjadi sebuah kekuatan yang maha dahsyat, bagaikan topan badai yang berhembus dari padang pasir, menerjang dinding jazirah ‘Arabia, menggempur pasukan Romawi yang terkenal kuat dan berdisiplin serta pasukan baju besi Persia yang terkenal, dan membuatnya hancur berantakan.
Islâm telah membuat mereka menjadi manusia-manusia yang adil, berani, berakhlaq tinggi, berwatak mulia serta cinta terhadap ilmu pengetahuan, sehingga tak sampai dua abad dari detik kelahirannya, benderanya telah berkibar antara pegunungan Pyrenia dan Himalaya, antara padang pasir di tengah Asia sampai ke padang pasir di dua benua Afrika.
Namun, pada pertengahan abad 18 Masehi, Dunia Islâm jatuh ke jurang keruntuhan yang terdalam. Pengajaran terhenti, di mana-mana terjadi pembekuan dan umat Islâm pun tenggelam dalam kebodohan, dan hal itu masih terus berlangsung hingga kini. Umat Islâm saat ini telah begitu awam terhadap hakikat Islâm dan kandungan Al-Qur-ân. Sebagaimana sabda Rasûlullâh saw. :

“Telah dekat suatu masa bagi manusia, dimana tidak tertinggal dari Islâm melainkan — sekedar — namanya saja, dan Al-Qur-ân pun hanya tinggal sekedar tulisannya. Masjid-masjid mereka penuh sesak, namun kosong dari hidayah. Sedangkan kaum ‘ulama mereka –saat itu — merupakan seburuk-buruknya manusia di kolong langit, karena dari merekalah timbulnya berbagai macam fitnah dan — fitnah itu — akan kembali kepada diri mereka sendiri”.
(H.R. Baihaqî)
Beginilah kondisi umat Islâm saat ini; mereka tidak mengenal Islâm kecuali sekedar nama tanpa hakikat, tidak mengenal Al-Qur-ân kecuali sekedar tulisan tanpa pemahaman. Bahkan, lebih banyak lagi di antara mereka yang tidak mampu membaca tulisan Al-Qur-ân, apalagi memahaminya sebagai hidayah Allâh bagi umat manusia.
Pendek kata, kehidupan Islâm telah lenyap, meninggalkan ritus tak berjiwa dan kemunduran merata. Benarlah yang dikatakan oleh seorang cendikiawan muslim, bahwa Dunia Islâm saat ini sedang mengalami kevakuman besar. Ia sedang melalui masa paling kritis yang belum pernah ada dalam sejarahnya. Ajaran Islâm yang bersumber dari Al-Qur-ân dan As-Sunnah saat ini telah menjadi asing bagi kaum Muslimîn sendiri, sebagaimana sabda Rasûlullâh saw. :

“Islâm itu dimulai dengan asing, maka ia akan kembali asing seperti semula”.
Ketauhîdan yang diajarkan Rasûlullâh saw. telah diselubungi oleh khurafat dan paham kesufian sehingga membuat sebagian dari kaum Muslimîn bahkan menghias diri mereka dengan azimat, penangkal penyakit dan tasbih serta berziarah ke kuburan-kuburan orang keramat untuk memohon keselamatan, berkah, rezeki, jodoh dsb., yang semua itu merupakan perbuatan syirik yang dilarang keras oleh Islâm.
Sedangkan sebagian yang lain meniru-niru dan menjadi pengikut setia Barat dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Maka, dibutuhkan kemauan yang keras dan waktu yang panjang untuk memperbaiki kondisi kaum Muslimîn yang sudah sangat parah ini. Dan sejarah mengajarkan kepada kita, bahwa dimana benar-benar ada kemauan untuk perbaikan, maka perbaikan itu akan datang juga.
Sebagai langkah awal dari perbaikan itu ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk kembali memahami ajaran Islâm dari sumbernya yang bersih, yaitu: Al-Qur-ân dan As-Sunnah dengan mengikuti metode yang dilaksanakan oleh generasi Salaf, generasi awal umat ini, yaitu para sahabat Rasûlullâh saw., para tâbi’în (generasi setelah para sahabat) dan tâbi’ut-tâbi’în (generasi selanjutnya), yang merupakan generasi terbaik umat ini, sebagaimana firman Allâh SWT. :

“Dan orang-orang yang terdahulu, lagi yang pertama-tama ( masuk Islâm) daripada orang-orang Muhâjirîn dan Anshâr, dan orang-orang — berikutnya — yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya, dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan itulah kemenangan yang besar”.
(Surah At-Taubah (9) : 100)
Ayat ini secara tegas menyatakan, bahwa Allâh SWT. telah ridha kepada generasi awal Islâm, yang terdiri dari kalangan Muhâjirîn dan Anshâr, dan orang-orang yang datang kemudian, yang mengikuti jejak mereka dengan sebaik-baiknya. Dan sabda Rasûlullâh saw. :

“Sebaik-baik umat-ku ialah kurun orang-orang yang semasa dengan-ku, kemudian — generasi — orang-orang berikutnya, kemudian — generasi — orang-orang berikutnya”.
(H.R. Muslim)
Hadits ini pun menunjukkan bahwa umat Islâm yang paling baik pemahaman, iman dan ‘amalnya ialah mereka yang hidup semasa dengan Rasûlullâh saw., yaitu para sahabat Beliau. Kemudian generasi berikutnya, yaitu para tâbi’în, kemudian generasi berikutnya yaitu tâbi’ut-tâbi’în.
Fenomena Dunia Islâm dan kaum Muslimîn saat ini membuktikan kebenaran isi hadits di atas. Kaum Muslimîn dewasa ini telah begitu jauh meninggalkan ajaran Islâm. Mereka lebih tertarik untuk mengkonsumsi ajaran-ajaran filsafat Barat yang sekular atau mengakses ajaran agama dari para tokoh ahli bid’ah yang tidak bertanggung jawab. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak mempedulikan ajaran agama sama sekali. Akibatnya, mereka terombang- ambing dalam kesesatan dan ketidak pastian
Al-Ustadz As-Syaikh Abul-Hasan An-Nadwy (rahimahullâh) mengatakan, bahwa Al-Qur’-ân dan As-Sunnah adalah dua kekuatan luar biasa besarnya yang sanggup mengobarkan api semangat dan keimanan di dalam Dunia Islâm. Oleh karena itu sangat penting bagi kaum Muslimîn untuk mengakses informasi Islâm dari sumbernya, yaitu Al-Qur’-ân dan As-Sunnah.