Jumat, 31 Desember 2010

Penyebab Kesesatan Akidah 4 (tamat)

2.d. Dendam Kesumat Daulah Islam pernah selama berabad-abad mencapai kekuatannya yang amat besar dengan kebenaran dan keadilan yang dibawanya dalam jihad. Seiring dengan itu ada negara dengan aqidah sesatnya yang tersingkir seperti Imperium Persia yang kemudian sebagian rakyatnya masuk Islam dengan keikhlasan. Namun ada pula unsur-unsur diantara mereka yang menyimpan dendam kesumat terhadap Islam dan kaum muslimin karena mereka masih kuat rasa ashabiyahnya terhadap negara dan aqidah mereka namun tidak berani melawan secara terang-terangan. Dendam kesumat ini melahirkan berbagai makar dan persekongkolan jahat terhadap Islam dan kaum muslimin sejak dulu hingga kini. Ada yang melakukan perang pemikiran dengan cara-cara licik untuk menyesatkan kaum muslimin dari aqidah yang benar sehingga ummat Islam berpecah belah karena aqidahnya terkena polusi. Ada pula yang melakukan perang secara fisik dengan pengerahan kekuatan demi menghancurkan kekuatan Islam. Mereka yang menyimpan dendam ini amat khawatir terhadap kemurnian aqidah ummat Islam yang akan menimbulkan kembalinya persatuan mereka kembali.

2.e. Motivasi Politis Beberapa faktor penyimpangan jiwa boleh jadi terkumpul manjadi satu dan membentuk motivasi politis berupa keinginan kuat untuk menjadi penguasa. Motivasi politis ini mendorong pemiliknya untuk mencapai kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Seringkali mereka menganggap aqidah yang benar dalam hati manusia yang beriman sebagai penghalang terbesar hawa nafsu mereka. Oleh karenanya, mereka lantas menyebarkan aqidah sesat seperti atheisme atau permissivisme ke tengah-tengah masyarakat agar memberi dukungan. Kadang kala mereka menggunakan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan untuk membungkus motivasi mereka dengan kedok ilmiah dan menipu para pelajar dan mahasiswa.
Ketika mereka sudah berkuasa biasanya kekuasaan itu mereka gunakan untuk menyesatkan aqidah masyarakat seperti yang dilakukan oleh Namrudz di masa Ibrahim as, atau Fir’aun di masa Musa as.
Sangat mungkin pula mereka yang ingin meraih kekuasaan kemudian menciptakan agama atau ideologi baru dengan kemasan yang menarik orang-orang yang juga memiliki kelainan jiwa atau kemasan yang terlihat baik dari luar untuk menipu orang-orang awam dan lugu. Hal ini mereka lakukan karena motivasi keagamaan sering kali ampuh untuk memompa semangat para pengikut dalam berjuang dan berkorban melawan lawan politiknya yang sedang berkuasa. Diantara mereka adalah orang-orang yang menciptakan aqidah Syiah karena dendam dan motivasi politik sehingga menjadikan isu “Mencintai Ali ra & keluarga Rasulullah saw” sebagai modal untuk menyesatkan aqidah ummat Islam.

3. Kelemahan Iradah Dalam episode perjalanan sejarah, cukup banyak manusia yang lemah iradah-nya (tidak memiliki keinginan dan keberanian untuk melawan) di hadapan kehendak para penguasa politik yang sesat, atau kekuatan sosial yang mendominasi mereka, atau di hadapan tokoh menyimpang yang berpengaruh.
Ketika iradah melemah akan terhentilah potensi berpikir kritis seseorang dan membuatnya membeo kepada pihak yang kuat. Sebaliknya para penguasa akan memanfaatkan mentalitas budak pengikutnya untuk kepentingan tertentu yang menyesatkan.
Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik. (Az-Zukhruf (43): 54).
Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: “(Tidak). Sebenarnya tipu daya(mu) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kamu menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya”. Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat azab. Dan Kami pasang belenggu di leher orang-orang yang kafir, mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan. (Saba (34): 33).
___
Diringkas dari:
Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah Wa Ususuha, ‘Abdurrahman Hasan Habannakah Al-Maidani, Darul Qalam – Dasmaskus, hlm 587-600. (Tamat)

Penyebab Kesesatan Akidah 3

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (Al-A’raf (7): 175-176). Jika saja orang seperti itu menggunakan akal sehatnya dan berusaha untuk berperilaku lurus, maka ia akan menghilangkan perang batin di dalam dirinya justru dengan menguatkan aqidah kebenaran dan memenuhi keinginan-keinginannya dengan cara yang halal serta mengarahkan keinginan melakukan yang haram dengan merasakan kenikmatan melaksanakan kewajiban dan ketinggian akhlaq. Penelitian dan pengalaman menunjukkan bahwa kelezatan melaksanakan kewajiban dan komitmen dengan perbuatan mulia jauh melebihi kenikmatan hawa nafsu rendah dan lebih menenangkan jiwa. Penyimpangan mental perilaku ini dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
2.a. Hasad (Dengki) Adalah salah satu penyakit jiwa yang amat buruk yang mendorong orang untuk melecehkan kebenaran dan mengingkarinya meskipun kebenaran itu didukung oleh argumentasi dan bukti yang amat jelas. Hasad ditambah ittiba’ul hawa (mengikuti hawa nafsu) menjadi faktor utama pengingkaran dan pembangkangan serta makar Yahudi terhadap kebenaran yang dibawa oleh Nabi Isa as. Oleh karenanya mereka berusaha untuk membunuh Nabi Isa as – namun Allah swt menyelamatkan beliau – sebagaimana telah mereka lakukan terhadap nabi-nabi Bani Israil lainnya alaihimussalam. Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus (Jibril). Apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan (hawa nafsu) mu lalu kamu menyombong; maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh? (Al-Baqarah (2): 87). Hasad juga yang menjadi penyebab utama permusuhan Yahudi terhadap Rasulullah saw sehingga mereka melakukan berbagai makar terhadap beliau dan dakwahnya, kemudian makar itu terus berlanjut sepanjang sejarah Islam dari khilafah Abu Bakar sampai hari ini. Ahbar (para tokoh agama) Yahudi hasad kepada Nabi Isa karena mereka khawatir Nabi Isa merebut kepemimpinan agama yang sedang mereka pegang atas Bani Israil yang dengan kepemimpinan itu mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sedangkan hasad semua Yahudi – kecuali yang masuk Islam – kepada bangsa Arab di masa Rasulullah saw adalah karena mereka telah menanti seorang nabi untuk memerangi bangsa Arab yang menyembah berhala, namun justru bangsa Arab malah beriman kepada Nabi Muhammad saw, maka mereka mengingkari Nabi yang telah mereka ketahui kedatangannya sebelumnya. Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka , padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la’nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. (Al-Baqarah (2): 89). Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya . Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Baqarah (2): 109). 2.b. Kecenderungan Jiwa yang Menuntut Pemenuhan dengan Cara Menyimpang Akibat pendidikan yang rusak atau jauh dari manhaj Islam, sangat mungkin tumbuh dalam diri manusia kecendrungan yang tidak wajar seperti tumbuhnya virus jahat dalam tubuh, lalu ia menyebar dan menguasai jiwanya. Bila demikian maka orang ini akan kehilangan keseimbangan kemanusiaannya yang normal dan akalnya seperti tidak mau lagi mengakui kebenaran. Kecerdasannya lalu diarahkan untuk melakukan kelicikan dan keculasan demi memenuhi keinginan jiwa yang telah menyimpang itu. Orang seperti ini akan menyembelih akhlaq mulia dengan dalih kebaikan, melakukan kejahatan dengan syiar kemanusiaan, dan menghancurkan bangunan al-haq dengan alasan memberantas kebatilan. Bila ada ayat Al-Quran atau hadits Rasulullah saw menghadang di depannya, ia akan mengingkarinya atau menafsirkannya sesuai hawa nafsunya. Golongan atau kelompok masyarakat yang mengidap penyakit ini diantaranya adalah para penganut paham ibahiyyah (permissif/serba boleh), juga mereka yang mengingkari Allah atau hari akhir, atau orang-orang yang mengaku nabi, atau bahkan menyatakan dirinya tuhan seperti terjadi dalam beberapa episode sejarah.
2.c. Al-Kibr (Sombong) kesombongan yang menguasai jiwa seseorang menyebabkan ia berani menolak kebenaran dan melecehkan para pendukung kebenaran. Lalu ia mencari paham kebatilan dan berusaha menghiasinya dengan argumentasi palsu yang tidak berdasar sama sekali. الكِبْرُ بَطَرُ الحقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ (رواه مسلم Kesombongan itu sikap menolak kebenaran dan melecehkan orang lain. (HR. Muslim). Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya, dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya. (Al-A’raf (7): 146). Sesungguhhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya. Maka mintalah perlindungan kepada Allah, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Al-Mu’min (40): 56).( Bersambung 3)

Penyebab Kesesatan Akidah 2

1.d. Kultus Individu atau Berlebihan dalam Menghormati Tokoh
Dalam setiap ummat biasanya muncul tokoh yang dihormati karena ketaqwaannya, keilmuannya, atau pengorbanannya, … Kadang penghormatan ini berubah menjadi kultus bagi sebagian masyarakat awam yang lemah pola pikirnya atau mereka yang jahil sampai pada tingkat menjadikan tokoh mereka sebagai tuhan atau seperti tuhan. Mungkin juga kesesatan ini didukung oleh “para cendekiawan” yang memanfaatkan kesesatan masyarakat demi kepentingan mereka. Diantara ummat yang kemudian menyekutukan Allah dengan mempertuhankan tokoh mereka adalah ummat Nasrani yang menuhankan Nabi Isa putra Maryam alaihimassalam, atau ummat Nabi Nuh yang mempertuhankan orang-orang shalih terdahulu yang mereka buat patung-patunya, yakni: Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr”. (Nuh (71): 23).
1.e. Filsafat Pemikiran yang Keliru
Akal manusia semata betapapun hebatnya tidak akan mampu mengetahui hakikat zat atau bentuk sesuatu yang ghaib tanpa informasi yang shahih dari wahyu yang pasti kebenarannya. Hal ini karena akal manusia tidak akan dapat menganalisa, merangkai, atau mengkhayalkan sesuatu kecuali bila bahan-bahannya sudah ada dalam memori otaknya. Sedangkan bahan-bahan itu tidak akan ada dalam memori kecuali melalui interaksi panca indra kita dengan alam nyata. Padahal alam ghaib tidak pernah ‘diakses’ oleh panca indra sama sekali. Sebagai contoh: kita tidak mungkin meminta orang yang buta sejak lahir untuk mengkhayalkan warna biru, dan kalau ia memaksakan diri mengkhayalkannya pastilah khayalannya itu keliru, karena ia sama sekali tidak pernah melihat warna apapun sehingga tidak ada bahan dasar untuk mengkhayalkannya. Orang yang tuli sejak lahir tidak akan mampu menganalisa atau mengkhayalkan suara musik tertentu karena ia tidak pernah mendengar apapun sehingga tidak ada bahan-bahan untuk menganalisa atau mengkhayalkannya… Begitulah kita melihat kesesatan aqidah muncul akibat akal yang dijadikan hakim penentu keimanan kepada yang ghaib tanpa mau melihat dan mengikuti petunjuk wahyu yang dibawa oleh para Rasul as. Demikian pula tidak benar menurut akal sehat apabila yang ghaib dianalogikan sepenuhnya dengan alam nyata karena adanya banyak kemungkinan perbedaan yang amat besar antara keduanya dalam hukum-hukumnya, sehingga ia tidak dapat diketahui oleh panca indra. Semua analisa terhadap yang ghaib dengan menggunakan hukum-hukum alam dunia ini menurut akal sehat adalah analisa dan analogi yang keliru. Mereka yang menganalogikan Allah swt dengan makhluk-Nya dalam Zat dan Sifat-Nya tanpa peduli dengan arahan wahyu, pasti ia akan terjatuh pada kesesatan tasybih (menyamakan Allah dengan makhluk) lalu mengatakan atau membayangkan Dia sebagai jasad yang memiliki batas-batas dan bentuk tertentu seperti makhluk– Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan. Atau mereka membayangkan bahwa Allah swt adalah ruh yang perlu menyatu dengan jasad makhluk tertentu dalam bentuk manusia, hewan, tumbuhan atau benda mati. Seperti kesesatan Nasrani yang mengatakan Tuhan bersatu dengan Isa alaihissalam, atau beberapa firqah (kelompok) yang mengaku muslimin tetapi sesungguhnya telah murtad karena meyakini aqidah wahdatul wujud (Allah menyatu dengan imam mereka yang mereka kultuskan) Atau seperti mereka yang mengatakan Allah seperti makhluk yang juga mempunyai istri, anak atau kebutuhan lain…. – Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan. Seandainya mereka yang tersesat itu mau mendengar arahan wahyu melalui lisan Rasul-Nya pasti mereka akan mengatakan seperti ucapan seorang mukmin yang mengakui keterbatasan akalnya: كُلُّ مَا خَطَرَ بِبَالِكَ فَاللهُ بِخِلاَفِ ذَلِكَ. \
Apapun yang terlintas dalam benakmu, pasti Allah tidak seperti itu. Karena mengkultuskan akal dalam memikirkan yang ghaib, para filosuf terjatuh pada kesesatan menganggap hari akhirat hanya merupakan alam ruh saja. Dengan sebab itu pula penganut ideologi materialisme dan Dahriyyun mengingkari hari akhir. Seandainya mereka mau berpikir dan mengakui keterbatasan akal mereka, pastilah mereka akan mengatakan: “Sesungguhnya akal kami terbatas dengan batasan yang dimiliki panca indra, karenanya dengan akal semata kami tidak akan mampu mengkhayalkan bentuk yang ghaib dengan benar. Maka kami menerima semua informasi yang ghaib dari para Nabi dan Rasul yang pasti benar karena mereka didukung oleh mukjizat dan bukti ilmiah nyata tentang kebenaran pengakuan kenabian atau kerasulan mereka.”
Benarlah apa yang dikatakan Imam Syafi’i rahimahullah:
إِنَّ لِلْعَقْلِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ كَمَا أَنَّ لِلْبَصَرِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ.
Sesungguhnya akal itu memiliki batas akhir seperti penglihatan yang juga memiliki batas akhir.
2. Penyimpangan Jiwa dari Mental-Perilaku yang Lurus.
Ada beberapa kelompok masyarakat tersesat bukan karena ketidaktahuan mereka tentang kebenaran atau bukan karena mereka memiliki pola pikir yang menyimpang, tapi kesesatan mereka disebabkan karena mereka lari dari kebenaran yang sudah mereka ketahui demi memenuhi keinginan hawa nafsu. Ketika seseorang sudah lari dari kebenaran, maka ia akan berusaha menganut paham kebatilan untuk menggantikan kebenaran yang ia hindari dan terus menerus berupaya keras membuat dirinya dan orang lain menerima kebatilan itu hingga akhirnya dianggap sebagai kebaikan. Ia melakukan hal ini, karena bagaimanapun pemikiran dan aqidah yang lurus itu akan menghalangi dirinya untuk mengikuti hawa nafsu, maka ia berusaha menggantinya dengan pemikiran dan aqidah yang sesat agar tidak terjadi kontradiksi atau perang batin antara hawa nafsu dengan prinsip hidupnya. Maka hawa nafsu yang dibantu oleh syaithan menghiasi perbuatan buruk agar terlihat baik, dengan mencari-cari alasan pembenaran meskipun amat jauh sampai keburukan itu betul-betul diterima sepenuhnya oleh jiwa dan tanpa memikirkan argumentasi lagi. Manusia yang sampai pada kondisi jiwa seperti ini benar-benar terjatuh kepada mentalitas dan perilaku terendah – semoga Allah melindungi kita darinya. (bersambung 2)

Penyebab Kesesatan Akidah

Oleh: Ahmad Sahal Hasan, Lc
Dari pengamatan terhadap sejarah orang-orang yang tersesat di muka bumi dan dengan melakukan pembahasan ilmiah terhadapnya, dapat disimpulkan bahwa penyebab utama kesesatan aqidah adalah tiga hal:
1. Penyimpangan pemikiran dari manhaj berpikir yang benar menurut Islam.
2. Penyimpangan jiwa dari manhaj mental-perilaku yang lurus.
3. Kelemahan iradah (kemauan/kehendak) di hadapan dominasi politik, atau dominasi sosial, atau dominasi spiritual, atau kelemahan iradah di hadapan orang yang memiliki kekuatan dan pengaruh, sehingga ia mampu menggiring mereka yang lemah iradah ini kepada kesesatan.
1. Penyimpangan Pemikiran dari Manhaj Berpikir yang Benar
Aqidah di dalam Islam tidak boleh masuk ke dalam hati atau jiwa seseorang kecuali setelah melalui proses seleksi yang benar dengan menggunakan metode yang ditetapkan oleh Allah swt. Namun banyak manusia yang menjadikan begitu saja dugaan-dugaan atau khayalan mereka menjadi aqidah yang mereka yakini tanpa melalui proses seleksi yang tepat sehingga aqidah mereka tidak didasari oleh ilmu.
Penyimpangan pemikiran ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
1.a. Ghurur (merasa diri besar) dan Silau dengan Pendapat Sendiri
Bisa jadi ada sebuah lintasan pikiran atau ide dalam benak seseorang lalu karena merasa dirinya hebat maka ide mentah itu menjadi luar biasa menurutnya, lalu tanpa mengujinya dengan metode yang benar langsung dijadikannya sebagai aqidah yang menjadi keyakinannya. Kemudian pemikiran yang sesat ini ia sebarkan di kalangan awam yang lemah metode berpikirnya dengan ucapan yang dihiasi hujjah palsu atau menggunakan kekuatan pribadinya sehingga mereka menjadi para pengikutnya yang setia.
1.b. Kelemahan Akal dan Menerima begitu saja Pemikiran Sesat yang Dikatakan
Di sebuah komunitas masyarakat biasanya muncul pemikiran yang menyimpang dari jalan yang lurus. Sering kali pemikiran sesat ini mendapat sambutan masyarakat disebabkan oleh keterbelakangan pola pikir mereka, kemudian dengan berlalunya zaman yang panjang pemikiran ini menjadi aqidah masyarakat tersebut yang diwarisi turun temurun dan tidak dapat didiskusikan lagi. Mungkin juga aqidah sesat ini tidak muncul dengan sendirinya, tapi direkayasa oleh pihak tertentu yang mengambil keuntungan dari kesesatan mereka.
Keterbelakangan pola pikir dan kelemahan akal ini biasanya menjadi sebab penyebaran aqidah sesat di masyarakat-masyarakat kuno atau terbelakang yang jauh dari pusat ilmu dan peradaban.
1.c. Ta’ashub & Taqlid Buta
Seseorang yang hidup dalam lingkungan sebuah masyarakat tertentu, pasti di sana ia memperolah banyak informasi dan keterampilan, juga beragam kebiasaan dan perilaku. Perolehan dari lingkungan ini ada yang benar dan ada yang salah. Namun karena ia berasal dari daerah tersebut, terbentuklah perasaan ‘sudah biasa’ atau ‘akrab’ dengan semua itu tanpa peduli benar atau salah. Ketika ia merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakatnya boleh jadi terbentuk perasaan ta’ashub (fanatisme) terhadap keluarga, masyarakatnya, dan semua adat kebiasaan serta keyakinan mereka tanpa memberi kesempatan kepada akal sehatnya untuk merenungkan dan mendiskusikan kebenaran keyakinan masyarakatnya dengan timbangan yang benar.
Dengan kata lain bahwa banyak aqidah yang diyakini oleh berbagai bangsa di dunia ternyata adalah aqidah turun temurun dan dapat terpatri dalam jiwa hanya disebabkan oleh ta’ashub terhadap pendahulu atau nenek moyang mereka, baik yang memiliki landasan yang benar maupun tidak. Dan dari pengamatan, ternyata banyak sekali bangsa yang tidak memiliki hujjah sama sekali atas kepercayaan yang mereka yakini selain alasan kepercayaan yang sudah temurun kemudian mereka ikuti dan mereka bersikap ta’ashub terhadapnya.
Bangsa-bangsa tersebut diantaranya adalah bangsa-bangsa penyembah berhala atau penganut polytheisme di dataran Cina, India, Afrika, dan tempat-tempat lain. Seharusnya kepercayaan paganisme khurafat seperti itu tidak mungkin bertahan di era ilmu pengetahuan dan peradaban sekarang ini, ia hanya dapat hidup di zaman kegelapan yang jauh dari ilmu dan pola pikir yang benar. Satu-satunya yang memberi kekuatan bagi kepercayaan berhala khurafat itu untuk hidup di zaman moderen ini hanyalah taqlid buta dan ta’ashub para pemeluknya terhadap kepercayaan nenek moyang mereka.
Bangsa Arab sebelum dan pada permulaan Rasulullah saw diutus termasuk ke dalam kelompok ini. Ketika beliau saw mengajak mereka kepada tauhid dengan logika yang mengalahkan argumentasi mereka, Al-Quran mengabadikan jawaban mereka: Bahkan mereka berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka”. (Az-Zukhruf (43): 22).
Oleh karenanya, Al-Quran menjatuhkan alasan ini dan menyatakannya sebagai argumentasi yang tidak dapat diterima akal sehat:
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqarah (2): 170).
Maksudnya: “Masuk akalkah kalau mereka berpegangteguh dengan keyakinan nenek moyang hanya karena alasan taqlid tanpa berpikir sama sekali?! Seandainya nenek moyang mereka tersesat, apakah tetap akan diikuti, padahal mereka telah merasakan kehancuran?! (bersambung 1)

Kamis, 30 Desember 2010

Hal-hal Yang Merusak Tauhid 6

Ciri-ciri orang munafik: Di pembukaan surat Al-Baqarah setelah menceritakan ciri-ciri orang-orang beriman dan ciri-ciri orang-orang kafir, Allah lalu menceritakan ciri-ciri orang-orang munafik secara panjang lebar. Ringkasnya sebagai berikut: (a) Di mulut mereka mengatakan beriman kepada Allah dan hari Kiamat, sementara hati mereka kafir (lihat Al-Baqarah:8-10) (b) Ketika dikatakan kepada mereka agar jangan berbuat kerusakan, mereka mengaku berbuat baik(lihat Al-Baqarah:11-12). (c) Ketika bertemu dengan orang-orang beriman mereka menampakkan keimanan, tetapi ketika kembali ke kawan-kawan mereka sesama syaitan mereka kembali kafir. (d) Ibarat orang berbisnis mereka sedang membeli kekafiran dengan keimanan. Sebab setiap saat wajah mereka berganti-ganti tergantung dengan siapa mereka pada saat itu sedang bersama-sama. (e) Ibarat pejalan dalam kegelapan, setiap kali mereka menyalakan obor, seketika obor itu padam kembali. (d) Ibarat orang-orang yang ketakutan mendengarkan petir saat hujan turun, mereka selalu menutup telinga karena takut kebenaran yang disampaikan Rasulullah saw. Masuk ke hati mereka.

Hal-hal Yang Merusak Tauhid 5

Imam Ashfahani dalam bukunya mufradaat alfadhil Qur’an mengatakan bahwa kata al ilhaad artinya menyimpang dari kebenaran. Dalam hal ini –kata Al-Ashfahani- ada dua makna: Pertama, ilhad yang identik dengan syirik, bila ini dilakukan maka otomatis seseorang menjadi kafir. Kedua, ilhad yang mendekati syirik, ini tidak membuat seseorang menjadi kafir, tetapi setidaknya telah mengurangi kemurnian tauhid nya. Termasuk sikap ini apa yang digambarkan dalam firman Allah:
وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih (Al-Hajj:25).Dalam menafsirkan ayat
وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ
(dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya), Imam Al-Ashfahani menyebutkan bahwa ada dua macam dalam ilhaad kepada nama-nama Allah: (a) menyifati Allah dengan sifat-sifat yang tidak pantas disebut sebagai sifat Allah (b) menafsirkan nama-nama Allah dengan makna yang tidak sesuai dengan keagungannya (Lihat Mufradat Alfaadzul Qur’an h.737).
Hakikat Ilhad
berdasarkan keterangan di atas baik ditinjau dari segi bahasa maupun definisi yang disampaikan para ulama nampak bahwa istilah ilhad digunakan untuk segala tindakan yang menyimpang dari kebenaran. Jadi setiap penyimpangan dari kebenaran disebut ilhad. Tetapi secara definitif ia lebih khusus digunakan untuk sikap yang menafikan sifat-sifat, nama-nama dan perbuatan Allah. Dengan kata lain para mulhidun adalah mereka yang tidak percaya adanya sifat-sifat, nama-nama dan perbuatan Allah.
Berbeda dengan kafir yang di dalamnya bisa berupa pengingkaran kepada Allah, menyekutukan-Nya dan pengingkaran terhadap nikmat-nikmat-Nya. Sementara ilhad lebih kepada pengingkaran sifat-sifat, nama-nama dan perbuatan Allah saja. Dari sini nampak bahwa tidak setiap kafir ilhad. Karenanya –seperti dikatakan dalam buku Al-Furuuq Al-Lughawiyah- orang-orang Yahudi dan Nasrani sekalipun mereka tergolong kafir, tetapi mereka tidak termasuk mulhiduun. Tetapi setiap tindakan ilhad itu termasuk kafir.
Bahaya-bahaya ilhaad
Pertama, bahwa para ulama sepakat bahwa tauhid mempunyai tiga dimensi: (a) tauhid uluhiyah, (b) tauhid rububiyah (c) tauhid asma’ dan sifat. Karena ilhad adalah tindakan menafikan sifat-sifat, nama-nama dan perbuatan Allah maka dengan melakukan ilhad seseorang telah menghapus satu dimensi dari dimensi tauhid yang sudah baku. Para ulama sepakat bahawa mengingkari salah satu dari dimensi-dimensi tauhid adalah kafir. Karena itu orang-orang mulhid tergolong orang kafir.
Kedua, bahwa dengan menafikan sifat-sifat dan nama-nama Allah berarti ia telah mengingkari ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan adanya nama-nama dan sifat-sifat Allah. Para ulama sepakat bahwa mengingkari satu ayat dari ayat-ayat Al-Qur’an adalah kafir.
Ketiga, bahwa mengingkari perbuatan Allah berarti mengingkari segala wujud di alam ini sebagai ciptaan-Nya. Bila ini yang diyakini berarti telah mengingkari kekuasaan Allah sebagai Pencipta. Mengingkari kekuasaan Allah adalah kafir.
3. An Nifaaq (Wajahnya Islam, Hatinya Kafir)
Imam Al-Ashfahani menerangkan bahwa an nifaaq diambil dari kata an nafaq artinya jalan tembus. Dalam surat Al-An’aam dikatakan:
وَإِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكَ إِعْرَاضُهُمْ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَبْتَغِيَ نَفَقًا فِي الْأَرْضِ أَوْ سُلَّمًا فِي السَّمَاءِ فَتَأْتِيَهُمْ بِآيَةٍ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَمَعَهُمْ عَلَى الْهُدَى فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Dan jika perpalingan mereka (darimu) terasa amat berat bagimu, maka jika kamu dapat membuat lubang di bumi atau tangga ke langit lalu kamu dapat mendatangkan mukjizat kepada mereka, (maka buatlah). Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil (Al-An’aam:35). Orang Arab berkata: naafaqal yarbu’ binatang yarbu’ telah melakukan nifak, karena ia masuk ke satu lubang lalu keluar dari lubang yang lain. Dalam pengertian ini kata an nifaaq digunakan. Sebab orang-orang munafik ketika bertemu dengan orang-orang Islam mereka suka menampakkan dirinya sebagai seorang muslim, sementara ketika bertemu dengan kawan-kawan mereka sesama kafir, mereka kembali lagi ke wajah mereka yang asli, sebagai orang-orang kafir. Karenanya Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik” (At Taubah:67).

Hal-hal Yang Merusak Tauhid 4

(c) taqliid (taklid buta). Di dalam Al-Qur’an selalu digambarkan orang-orang yang menyekutukan Allah dengan alasan karena mengikuti jejak nenek moyang mereka. Allah berfirman, “Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah, “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (Al-A’raf:28). Dalam surat Al-Baqarah:170, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” Dalam surat Al-Maidah:104, “Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?
2. Al-Ilhaad (Menyimpang Dari Kebenaran)
Penggunaan istilah al ilhaad dalam Al-Qur’an: Al-Qur’an menggunakan istilah ilhaad di banyak tempat, kadang berbentuk kosa kata yulhiduun sebagaimana berikut: Dalam surat Al-A’raf:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. Dalam surat An Nahl 10:
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ
Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)”. Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa `Ajam, sedang Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang. Dalam surat Fushshilat:4:
إِنَّ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي ءَايَاتِنَا لَا يَخْفَوْنَ عَلَيْنَا أَفَمَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ خَيْرٌ أَمْ مَنْ يَأْتِي ءَامِنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.Kadang berbentuk kosa kata ilhaad, Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الَّذِي جَعَلْنَاهُ لِلنَّاسِ سَوَاءً الْعَاكِفُ فِيهِ وَالْبَادِ وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zhalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih (Al-Hajj:25) Dan kadang berbentuk kosa kata multahadaa Allah berfirman:
وَاتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ رَبِّكَ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَلَنْ تَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا
Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhan-mu (Al-Qur’an). Tidak ada (seorang pun) yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain daripada-Nya (Al-Kahfi:27)
قُلْ إِنِّي لَنْ يُجِيرَنِي مِنَ اللَّهِ أَحَدٌ وَلَنْ أَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا
Katakanlah, “Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorang pun yang dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya” Al-Jin:22).Arti al ilhaad menurut para ulama: Al-Farra’ mengatakan bahwa kata yulhiduun atau yalhaduun artinya condong kepadanya. Imam Al-Harrani dari Ibn Sikkit mengatakan: al mulhid artinya orang yang menyimpang dari kebenaran, dan memasukkan sesuatu yang lain kepadanya. Dalam Lisanul Arab dikatakan: al ilhaad artinya menyimpang dari maksud yang sebenarnya. Meragukan Allah juga termasuk ilhaad. Dikatakan juga bahwa setiap tindak kezhaliman dalam bahasa Arab disebut ilhaad. Karenanya dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa monopoli makanan di tanah haram itu termasul ilhad. Ketika dikatakan laa tulhid fil hayaati itu artinya jangan kau menyimpang dari kebenaran selama hidupmu.

Hal-hal Yang Merusak Tauhid 3

Adapun syirik Ashghar yang khafiy, biasanya berupa niat atau keinginan, seperti riya’ dan sum’ah. Yaitu melakukan tindak ketaatan kepada Allah dengan niat ingin dipuji orang dan lain sebagainya. Seperti menegakkan shalat dengan nampak khusyu’ karena sedang di samping calon mertuanya, supaya dipuji sebagai orang saleh, padahal di saat shalat sendirian tidak demikian. Riya’ adalah termasuk dosa hati yang sangat berbahaya. Sebab Islam sangat memperhatikan perbuatan hati sebagai factor yang menentukan bagi baik tidaknya perbuatan zhahir. Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebut nya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (Al-Baqarah:264). Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda: man samma’a sammallahu bihii, waman yraa’ii yraaillahu bihii (Siapa yang menampakkan amalnya dengan maksud riya’ Allah akan menyingkapnya di hari Kiamat, dan siapa yang menunjukkan amal shalehnya dengan maksud ingin dipuji orang, Allah mengeluarkan rahasia tersebut di hari Kiamat (HR. Bukhari:288 dan Muslim no. 2987).
d) Bahaya-bahaya Syirik: Pertama, Syirik adalah kezhaliman yang nyata. Allah berfirman: innasy syirka ladzlumun adziim (sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar) (Luqman:13). Mengapa sebab dengan berbuat syirik seseorang telah menjadikan dirinya sebagai hamba makhluk yang sama dengan dirinya, tidak berdaya apa-apa.
Kedua, Syirik merupakan sumber khurafat, sebab orang-orang yang meyakini bahwa selain Allah seperti bintang, matahari, kayu besar dan lain sebagainya bisa memberikan manfaat atau bahaya berarti ia telah siap melakukan segala khurafat dengan mendatangi para dukun, kuburan-kuburan angker dan mengalungkan jimat di lehernya.
Ketiga, Syirik sumber ketakutan dan kesengsaraan, Allah berfirman, “Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zhalim” (Ali Imran:151)
Keempat, Syirik merendahkan derajat kemanusiaan, Allah berfirman, “Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh” (Al-Hajj:31).
Kelima, syirik menghancurkan kecerdasan manusia, Allah berfirman, “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata, “Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah”. Katakanlah, “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu)” (Yunus:18).
Keenam, di akhirat nanti orang-orang musyrik tidak akan mendapatkan ampunan Allah, dan akan masuk neraka selama-lamanya. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya” (An Nisaa’:116) Dalam surat Al-Maidah:72, “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun”.
e) Sebab-sebab Syirik: Ada beberapa sebab fundamental munculnya syirik: (a) Al-Jahlu (kebodohan). Karenanya masyarakat sebelum datangnya Islam disebut dengan masyarakat jahiliyah. Sebab mereka tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dalam kondisi yang penuh dengan kebodohan itu, orang-orang cenderung berbuat syirik. Karenanya semakin jahiliyah suatu kaum, bisa dipastikan kecenderungan berbuat syirik semakin kuat. Dan biasanya di tengah masyarakat jahiliyah para dukun selalu menjadi rujukan utama. Mengapa, sebab mereka bodoh, dan dengan kebodohannya mereka tidak tahu bagaimana seharusnya mengatasi berbagai persoalan yang mereka hadapi. Ujung-ujungnya para dukun sebagai nara sumber yang sangat mereka agungkan.
(b) dhu’ful iimaan (lemahnya iman). Seorang yang lemah imannya cenderung berbuat maksiat. Sebab rasa takut kepada Allah tidak kuat. Lemahnya rasa takut akan dimanfaatkan oleh hawa nafsu untuk menguasai dirinya. Ketika seseorang dibimbing oleh hawa nafsunya maka tidak mustahil ia akan jatuh ke dalam perbuatan-perbuatan syirik, seperti memohon kepada pohonan besar karena ingin segera kaya, datang ke kuburan para wali untuk minta pertolongan agar ia dipilih jadi presiden atau selalu merujuk kepada para dukun untuk supaya penampilannya tetap memikat hati banyak orang dan lain sebagainya.

Hal-hal Yang Merusak Tauhid 2

Keempat, menyembah para nabi, seperti Nabi Isa as. yang disembah kaum Nasrani dan Uzair yang disembah kaum Yahudi. Keduanya sama-sama dianggap anak Allah. Allah berfirman, “Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair itu putra Allah” dan orang Nasrani berkata, “Al-Masih itu putra Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (At-Taubah:30). Dalam surat Al-Maidah:72, “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah adalah Al-Masih putra Maryam”, padahal Al-Masih (sendiri) berkata, “Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun”.
Kelima, Menyembah Rahib atau Pendeta, Allah berfirman, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. Adi bin Hatim ra. pernah bertanya kepada Rasulullah mengenai hal tersebut, seraya berkata, “Sebenarnya mereka tidak menyembah Pendeta atau Rahib mereka?” Rasululah saw. menjawab: Benar, tetapi para rahib atau pendeta itu telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, sementara mereka mengikutinya. Bukankah itu tindak penyembahan terhadap mereka?
Keenam, menyembah Thagut. Istilah thagut diambil dari kata thughyaan artinya melampaui batas. Maksudnya: segala sesuatu yang disembah selain Allah. Setiap seruan para rasul intinya adalah mengajak kepada tauhid dan menjauhi thagut. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)” (An-Nahl:36). Dan tauhid yang murni tidak akan bisa dicapai tanpa menghindar dari menyembah thagut, Allah berfirman: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Al-Baqarah:256). Allah bangga dengan orang-orang beriman yang menjauhi thagut, “Dan orang-orang yang menjauhi thagut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku: (Az Zumar:17).
Ketujuh, menyembah hawa nafsu. Hawa nafsu adalah kecenderungan untuk melakukan keburukan. Seseorang yang menuhankan hawa nafsu ia mengutamakan keinginan nafsunya di atas cintanya kepada Allah. Dengan demikian ia telah mentaati hawa nafsunya dan menyembahnya. Allah berfirman: Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (Al-Furqaan:43). Dalam surat Al-Jatsiyah:23, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”
c) Macam-macam Syirik: Ada dua macam syirik: (a) Syirik besar (b) syirik kecil. Masing-masing dari kedua macam ini mempunyai dua dimensi: zhahir (nampak) dan khafiy (tersembunyi). Marilah kita bahas satu-satu persatu dari kedua macam syirik tersebut.
Pertama, Syirik besar (Asy Syirkul Akbar), yaitu tindakan menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya. Dikatakan syirik besar karena dengannya seseorang tidak akan diampuni dosanya dan tidak akan masuk surga. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya” (An Nisaa’:116). Ilustarsi syirik besar ini dibagi dua dimensi: dzahir dan khafiy. Yang zhahir bisa dicontohkan seperti menyembah bintang, matahari, bulan, patung-patung, batu-batu, pohon-pohon besar, manusia (seperti menyembah Fir’un, raja-raja, Budha, Isa ibn Maryam, malaikat, Jin dan Syetan. Sementara yang khafiy bisa dicontohkan seperti meminta kepada orang-orang yang sudah mati dengan keyakinan bahwa mereka bisa memenuhi apa yang mereka yakini, atau menjadikan seseorang sebagai pembuat hukum, menghalalkan dan mengharamkan seperti Allah swt.
Kedua, syirik kecil (Asyirkul Ashghar), yaitu suatu tindakan yang mengarah kepada syirik, tetapi belum sampai ketingkat keluar dari tauhid, hanya saja mengurangi kemurnian nya. Syirik Ashghar ini juga dua dimensi: zhahir dan khafiy. Yang zhahir bisa berupa lafal (pernyataan) dan perbuatan. (a) Yang berupa lafal contohnya: bersumpah dengan nama selain Allah dan mengarah ke syirik, seperti pernyataan: demi Nabi, demi Ka’bah, demi Kakek dan Nenek dan lain sebagainya. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda: man halafa bighirillahi faqad kafara wa asyraka (siapa yang bersumpah dengan selain maka ia kafir dan musyrik) (HR. Turmidzi no 1535). Termasuk lafal yang mengarah ke syirik pernyataan: kalau tidak karena Allah dan si fulan niscaya ini tidak akan terjadi, atau memberikan nama seperti abdul ka’bah dan lain sebagainya. (b) Adapun yang berupa perbuatan contohnya: mengalungkan jimat dengan keyakinan bahwa itu bisa menyelamatkan dari mara bahaya dan sebagainya.

Hal-hal Yang Merusak Tauhid

Dengan mengucapkan dua kalimat syahadat seseorang berarti telah mempersaksikan diri sebagai hamba Allah semata. Kalimat laa ilaaha illallaahu dan Muhammadur Rasuulullah selalu membekas dalam jiwanya dan menggerakkan anggota tubuhnya agar tidak menyembah selain-Nya. Baginya hanya Allah sebagai Tuhan yang harus ditaati, diikuti ajaran-Nya, dipatuhi perintah-Nya dan dijauhi larangan-Nya. Caranya bagaimana, lihatlah pribadi Rasulullah saw. sebab dialah contoh hamba Allah sejati.
Dalam pembukaan surat Al-Israa’, Allah telah mendeklarasikan bahwa Rasulullah saw. adalah hamba-Nya: Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha (Al-Israa’:1). Begitu juga dalam pembukaan surat Al-Kahfi, Allah berfirman: Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya (Al-Kahfi:1).
Ini menunjukkan bahwa agar makna dua kalimat syahadat – yang intinya adalah tauhid – benar-benar tercermin dalam jiwa dan perbuatan, tidak ada pilihan bagi seorang hamba kecuali mencontoh pribadi Rasulullah saw. dalam segala sisi kehidupannya, baik dari sisi aqidah dan ibadah, maupun sisi-sisi lainnya seperti sikapnya terhadap istri dan pelayannya di rumah, pergaulannya bersama-sahabatnya, akhlaqnya dalam melakukan transaksi bisnis dan kepemimpinannya sebagai kepala Negara. Maka untuk menjaga kemurnian tauhid, seperti yang dicontohkan Rasulullah saw. seorang hamba hendaknya menghindar jauh-jauh dari hal-hal yang merusak kemurnian tauhid sebagai cerminan dua kalimat syahadat tersebut, yang setidaknya ada tiga: (a) Syirik ( menyekutukan Allah (b) Ilhad (menyimpang dari kebenaran) (c) Nifaq (berwajah dua, menampakkan diri sebagai muslim, sementara hatinya kafir).
1. Syirik (menyekutukan Allah)
a). Definisi: Syirik adalah lawan kata dari tauhid. Yaitu sikap menyekutukan Allah secara zat, sifat, perbuatan dan ibadah. Adapun syirik secara zat adalah dengan meyakini bahwa zat Allah seperti zat makhluk-Nya. Aqidah ini dianut oleh kelompok mujassimah. Syirik secara sifat artinya: seseorang meyakini bahwa sifat-sifat makhluk sama dengan sifat-sifat Allah. Dengan kata lain bahwa makhluk mempunyai sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah, tidak ada bedanya sama sekali. Syirik secara perbuatan artinya: seseorang meyakini bahwa makhluk mengatur alam semesta dan rezki manusia seperti yang telah diperbuat Allah selama ini. Sedangkan syirik secara ibadah artinya: seseorang menyembah selain Allah dan mengagungkannya seperti mengagungkan Allah serta mencintainya seperti mencintai Allah. Syirik-syirik dalam pengertian tersebut secara eksplisit maupun implisit telah ditolak oleh Islam. karenanya seorang muslim harus benar-benar hat-hati dan menghindar jauh-jauh dari syirik-syirik seperti yang telah diterangkan di atas.
b) Bentuk-bentuk Syirik: Pertama, menyembah patung atau berhala (al ashnaam). Allah swt. dalam surat Al-Hajj:30 berfirman, “maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”. Dalam surat Maryam:42 diceritakan bahwa Nabi Ibrahim menegur ayahnya karena menyembah patung: Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya, “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun?”
Kedua, menyembah matahari, dalam surat Al-A’raaf:54 Allah menolak orang-orang yang menyembah matahari, bulan dan bintang, “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. Lalu dalam surat Fushshilat:37 lebih tegas lagi Allah berfirman, “Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah”.
Ketiga, menyembah malaikat dan jin, dalam surat Al-An’aam:100 Allah berfirman: Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan), “Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan”, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan”. Dalam surat Saba’:40-41, “Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat, “Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?”. Malaikat-malaikat itu menjawab, “Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka: bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu”. (bersambung 1)

Kamis, 09 Desember 2010

Bentuk syirik keempat adalah menyembah para nabi, seperti Nabi Isa a.s. yang disembah kaum Nasrani dan Uzair yang disembah kaum Yahudi. Keduanya sama-sama dianggap anak Allah.
Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair itu putera Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al masih itu putera Allah.” Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?” [QS. At-Taubah (9): 30]
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putera Maryam.” Padahal Al-Masih (sendiri) berkata, “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. [QS. Al-Maidah (5): 72]
Bentuk syirik yang kelima adalah menyembah rahib atau pendeta. Allah berfirman, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
Adi bin Hatim r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah mengenai hal tersebut, seraya berkata, “Sebenarnya mereka tidak menyembah pendeta atau rahib mereka.” Rasululah saw. menjawab, “Benar, tetapi para rahib atau pendeta itu telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, sementara mereka mengikutinya. Bukankah itu tindak penyembahan terhadap mereka?”
Bentuk syirik yang keenam, menyembah Thaghuut. Istilah thaghuut diambil dari kata thughyaan artinya melampaui batas. Maksudnya, segala sesuatu yang disembah selain Allah. Setiap seruan para rasul intinya adalah mengajak kepada tauhid dan menjauhi thaghuut. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu. Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” [QS. An-Nahl (16): 36].
Dan tauhid yang murni tidak akan bisa dicapai tanpa menghindar dari menyembah thaghuut. Allah berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thaghuut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. Al-Baqarah (2): 256]
Allah bangga dengan orang-orang beriman yang menjauhi thaghuut. “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku.” [QS. Az-Zumar (39): 17]
Bentuk syirik yang ketujuh adalah menyembah hawa nafsu. Hawa nafsu adalah kecendrungan untuk melakukan keburukan. Seseorang yang menuhankan hawa nafsu, mengutamakan keinginan nafsunya di atas cintanya kepada Allah. Dengan demikian ia telah mentaati hawa nafsunya dan menyembahnya. Allah berfirman, “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” [QS. Al-Furqaan (25): 43]
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” [QS. Al-Jatsiyah (45): 23]
(bersambung 2)

Bahaya Menyekutukan Allah

Definisi syirik adalah lawan kata dari tauhid, yaitu sikap menyekutukan Allah secara dzat, sifat, perbuatan, dan ibadah. Adapun syirik secara dzat adalah dengan meyakini bahwa dzat Allah seperti dzat makhlukNya. Akidah ini dianut oleh kelompok mujassimah. Syirik secara sifat artinya seseorang meyakini bahwa sifat-sifat makhluk sama dengan sifat-sifat Allah. Dengan kata lain, mahluk mempunyai sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah. Tidak ada bedanya sama sekali.Sedangkan syirik secara perbuatan artinya seseorang meyakini bahwa makhluk mengatur alam semesta dan rezeki manusia seperti yang telah diperbuat Allah selama ini. Sedangkan syirik secara ibadah artinya seseorang menyembah selain Allah dan mengagungkannya seperti mengagungkan Allah serta mencintainya seperti mencintai Allah. Syrik-syirik dalam pengertian tersebut, secara eksplisit maupun implisit, telah ditolak oleh Islam. Karenanya, seorang muslim harus benar-benar berhat-hati dan menghindar jauh-jauh dari syirik-syirik seperti yang telah diterangkan di atas.Contoh bentuk-bentuk syirik ada banyak. Di antaranya, pertama, menyembah patung atau berhala (al-ashnaam). Allah swt. menyebutnya dalam ayat berikut ini.
Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. [QS. Al Hajj (22): 30]
Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya, “Wahai Bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?” [QS. Maryam (19): 42]
Menyembah matahari adalah bentuk syirik yang kedua. Allah menolak orang-orang yang menyebah matahari, bulan, dan atau bintang.
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. [QS. Al A'raaf (7): 54]
“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah”. [QS. Fushshilat (41): 37]
Bentuk syirik yang ketiga adalah menyembah malaikat dan jin.
Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan) bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan. [QS. Al An'aam (6): 100]
“Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat, “Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?” Malaikat-malaikat itu menjawab, “Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka. Bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.”. [QS. Saba' (34): 40-41] (Bersambung 1)

Tiga Tugas Dai Dalam Memenangkan Dakwah

Siyasah Da’wah (politik dakwah) menegaskan prinsip bahwa kader penggerak dakwah adalah aset utama gerakan (rashidul harakah). Kekuatan dakwah bertumpu pada daya soliditas, responsivitas, dan produktivitas para kader penggeraknya dalam melakukan manuver dakwah (munawarah da’wiyah). “Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikutnya yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146)Selain unsur kader penggerak dakwah adalah kekuatan sarana (anashirul-wasail) dan sifatnya hanya sebagai pendukung kesuksesan manuver dakwah para kader penggerak dakwah. “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak ketahui, sedang Allah mengetahuinya….” (Al-Anfaal: 60)Berpijak pada prinsip itu, ada tiga tugas penting yang harus dijalankan pada dai dalam kancah ma’rakah da’wah (bisa dalam bentuk amal tabligh, siyasiyah (politik) hingga ghazwah (perang)). Pertama, seorang kader penggerak dakwah harus punya tugas moral untuk menjadi penggerak semua rekan-rekan seperjuangnya untuk mau berpartisipasi dalam pemenangan dakwah. Ini dilakukan dengan membangkitkan orientasi perjuangan (ittijah jihadiyah) sebagai bukti kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu dari orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (Al-Anfaal: 65) Kedua, seorang penggerak dakwah yang sejati senantiasa mengawal perjuangan rekan-rekan seperjuangannya agar mampu menjaga syakhsiyah rabbaniyah, sebagaimana telah ditempa sebelumnya dalam proses panjang tarbiyah. Ma’rakah siyasiyah, sebagai contoh, adalah medan ujian bagi soliditas kepribadian (matanah syakhsiyah) para kader penggerak dakwah, sebagai medan aktualisasi nilai dan fikrah yang diyakini kebenarannya, serta sebagai medan tarbiyah maydaniyah (pendidikan lapangan) yang sangat berharga. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan musuh, maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah….” (Al-Anfaal: 45-47)
Ketiga, seorang penggerak dakwah yang istiqomah akan selalu melakukan konsolidasi kepribadian dan barisan dengan rekan-rekan seperjuangannya, baik ketika bersiap maupun ketika kembali dari medan ma’rakah. Tidak bisa dinafikan bahwa akan muncul masalah-masalah operasional (qadhaya tathbiqiyah) yang menimpa sebagian jajaran kader dakwah sebagai konsekuensi gesekan dan benturan di lapangan dakwah. Terutama ketika medan yang mereka masuki adalah medan ma’rakah siyasiyah yang penuh fitnah. Karena itu, konsolidasi dan merapatkan barisan adalah solusi yang harus senantiasa dilakukan; dan sarananya adalah kembali melakukan tarbiyah. “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya (dari medan perang), supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)
Inilah tiga tugas penting yang harus dilakukan seorang kader penggeraka dakwah jika ingin memenangkan dakwah di setiap medan ma’rakah. Tugas ini harus dilakukan secara terus menerus. Dengan begitu, ia bisa menjadi kader penggerak dakwah yang responsif secara cepat dan tepat kala dakwah membutuhkannya.
Tentu saja untuk menjadi kader dakwah yang seperti itu bukan perkara ringan. Namun, itu juga sebuah kemestian. Sebab, kelalaian seorang kader penggerak dakwah untuk menunaikan ketiga tugasnya itu, akan berakibat fatal. Setidaknya dakwah harus membayar perjuangan meraih kemenangannya dengan harga yang lebih mahal karena terjadi kekeroposan pada kekuatan internal para pengasungnya. Bila ini terjadi, kejayaan Islam, tegaknya syariat Allah di muka bumi, dan umat yang memiliki izzah (harga diri) hanya tinggal mimpi. Naudzu billahi min dzalik.

Minggu, 28 November 2010

ADAB ZIARAH KUBUR

Dalam Islam, seluruh aspek kehidupan sudah punyai rambu masing-masing, termasuk tentang ziarah kubur. Awalnya Islam melarang perbuatan ini hingga akhirnya Nabi mengizinkan kembali. Diriwayatkan dari Buraidah, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda. ‘’ Dahulu saya melarang kalian berziarah ke kuburan, tapi (sekarang) ziarahilah kuburan tersebut sebab ia bisa mengingatkan akan Hari Akhirat.” (Riwayat Muslim)
Berikut beberapa hal yang berkaitan dengan ziarah kubur:
1. Tidak mengkhususkan waktu tertentu.
Ziarah kubur tak mengenal waktu khusus dan tertentu. Ia bisa dilakukan kapan saja. Tanpa ada perbedaaan dan keutamaan di dalamnya, sebagaimana perbuatan sebagian orang yang ramai berziarah kubur pada Jumat atau Hari Raya Ied.
2. Mendoakan mereka
Setiap Muslim disunnahkan membaca doa ketika melewati atau memasuki suatu kuburan. Memohonkan bagi mereka rahmat dan maghfirah (Pengampunan). Di antara doanya: Assalamuala ahli ad-diyar min al-mu’minina wa al-muslimin, wa yarhamu Allahu Al-mustaqdimina minna, wa inna insya allahu bikum lahiqun.
‘’ Segala keselamatan (semoga tercurah) kepada para penghuni kubur, yakni orang-orang mukmin dan Muslim, dan semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului kami. Insya Allah kamipun akan menyusul mereka.”
3. Tak mencela si mayit
Tak sepantasnya seseorang mencela mayat Muslim yang telah menilnlggal. Sabda Nabi,’’Janganlah kalian mencela mayat-mayat iut. Sesungguhnya mereka itu telah mendapatkan ganjaran dari apa yang mereka usahakan dahulu.” (Riwayat Al Bukhari)
4. Mengambil pelajaran dari orang mati
Hikmah terbesar dari ziarah kubur adalah mengingatkan manusia akan hakikat kehidupan ini. Adanya fase kematian sebagai pintu gerbang menuju kehidupan hakiki. Menjadikan hati bisa lunak dan bersih kembali, Nabi bersabda, ‘’ .. ziarahilah kuburan sesungguhnya terdapat ibrah (pelajaran) di dalamnya.”
Dalam riwayat Anas bin Malik dikatakan,’’ … Sesungguhnya ia bisa melunakkan hati, mengucurkan air mata, serta mengingatkan kalian akan hari Akhirat (Kematian)…’’ (riwayat Al Hakim dan al – Baihaqi).
5. Stop berbuat Ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap kuburan.
Diantara bentuk Ghuluw kaum terdahulu adalah menjadikan kuburan orang-orang saleh diantara mereka sebagai sesembahan. Kepadanya mereka berdoa, memohon bantuan, serta mengharapkan berkah dan keselamatan. Yang tak lain, semua itu termasuk perbuatan dilaknat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam pernah berdoa. ‘’ Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburan saya ini sebagai berhala yang disembah nantinya,” (Kitab Al-Muwattha Imam Malik)
6. Tidak menjadikan kuburan sebagai masjid.
Tak sepantasnya seorang Muslim menjadikan kuburan sebagai tempat shalat. Sebagaimana ia juga tak boleh mendirikan bangunan masjid di lokasi kuburan. Rasulullah bersabda, ‘’ Sesungguhnya manusia yang paling buruk adalah mereka yang masih hidup ketika Hari Kiamat tiba dan orang-orang yang menjadikan kuburan itu sebagai masjid.’’
(Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban, dan at-Thabrani).

Kamis, 18 November 2010

Pribadi Pemaaf (2)

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (199) وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (200) إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ (201) وَإِخْوَانُهُمْ يَمُدُّونَهُمْ فِي الْغَيِّ ثُمَّ لَا يُقْصِرُونَ (202)
Rasulullah SAW adalah seorang pemimpin, pemberi petunjuk, guru dan murabbi. Jadi, beliau lebih pantas untuk memberi maaf, bersikap mudah dan melupakan kesalahan. Dan demikianlah, Rasulullah SAW tidak pernah marah untuk dirinya sama sekali. Tetapi jika terkait agama Allah, maka tidak ada sesuatu pun yang bisa menahan amarah beliau! Semua pelaku dakwah diperintahkan hal yang sama dengan yang diperintahkan kepada Rasulullah SAW. Karena berinteraksi dengan jiwa manusia untuk memberinya petunjuk itu menuntut lapang dada, toleransi, bersikap mudah dan memudahkan, tanpa menyepelekan agama Allah.
“Dan perintahkanlah kebaikan…” Kata ‘urf berarti kebaikan yang dikenal, jelas, serta tidak memerlukan pengkajian dan perdebatan. Kebaikan yang diterima fitrah yang bersih dan jiwa yang lurus. Ketika jiwa telah terbiasa dengan kebiasaan ini, maka setelah itu jiwa akan mudah diarahkan, dan sukarela menerima berbagai macam kebaikan tanpa bersusah payah. Tidak ada faktor yang menghalangi jiwa dari kebaikan seperti kerumitan dan beban berat pada saat jiwa pertama kali mengenal berbagai taklif! Melatih jiwa itu pada mulanya harus ditempuh dengan cara yang mudah, agar ia mudah diarahkan dan terbiasa dengan sendirinya untuk memikul tugas yang lebih dengan ringan dan sukarela.
“Dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh…”
Kata al-jahilin terbentuk dari kata jahalah. Kata jahalah adalah lawan dari kata rusyd (bijak), dan juga lawan dari kata ‘ilm (mengetahui). Keduanya berdekatan. Berpaling maksudnya adalah mengabaikan dan menyepelekan tindakan dan ucapan yang mereka keluarkan secara bodoh; melewatinya layakanya orang-orang yang mulia; dan tidak memasuki perdebatan dengan mereka yang justeru berakhir pada kesulitan, serta membuang-buang waktu dan tenaga…
Terkadang, perdebatan berakibat sikap diam dari mereka. Berpaling juga dilakukan dengan mengacuhkan kebodohan mereka, lalu berusaha untuk melembutkan dan membina jiwa mereka, bukan sebaliknya; membalas dengan kaji dan keras kepala. Jika tidak mengakibatkan dampak seperti pada mereka, maka sikap tersebut akan membuat mereka menjauhi orang lain yang di hati mereka ada kebaikan, karena mereka melihat pelaku dakwah sebagai orang yang tegar dan berpaling dari kesia-sisaan, dan melihat orang-orang yang bodoh sebagai orang yang suka dendam dan berbuat bodoh, sebagai kedudukan orang-orang bodoh itu jatuh di mata orang-orang yang di dalam hatinya ada kebaikan, lalu menjauhi mereka!
Betapa sepantasnya pelaku dakwah mengikuti arahan rabbani dari Allah yang Maha mengetahui isi jiwa!
Tetapi Rasulullah SAW adalah manusia biasa. Terkadang kemarahannya bangkit terhadap kebodohan orang-orang yang bodoh. Jika Rasulullah SAW mampu mengontrolnya, namun tidak demikian dengan para pelaku dakwah di belakang beliau. Pada saat marah itulah setan membisikkkan ke dalam jiwa, sehingga jiwa menjadi kehilangan kontrol! Karena itu, Tuhannya memerintahkannya untuk memohon perlindungan kepada Allah agar memadamkan kemarahannya dan menghentikan langkah-langkah setan: “Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (200)
Ulasan ini, “Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” menetapkan bahwa Allah Maha Mendengar kebodohan orang-orang yang bodoh; Maha mengetahui dengan gangguan yang ditahan oleh jiwamu. Ulasan ini mengandung penenang dan penyejuk jiwa. Cukuplah bagi jiwa untuk mengetahui bahwa Yang Maha Mulai lagi Mahaagung mendengar dan mengetahui! Apa yang dicari jiwa setelah Allah mendengar dan mengetahui kebodohan yang dihadapinya saat ia mengajak orang-orang yang bodoh itu kepada-Nya?
Kemudian konteks surat menempuh jalan lain untuk menginspirasi jiwa pelaku dakwah agar rela dan menerima, serta mengingat Allah ketika marah, untuk menghentikan langkah setan dan bisikannya yang keji:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (201)
Ayat yang pendek ini mengungkapkan inspirasi-inspirasi yang menakjubkan dan hakikat-hakikat yang mendalam, yang terkadang dalam ungkapan Al-Qur’an yang sarat mukjizat lagi indah. Ditutupnya ayat dengan lafazh, “maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya” benar-benar memperkaya makna ayat.
Tidak ada lafazh lain yang sebanding dengannya. Ia menunjukkan bahwa bisikan setan itu dapat membutakan, menghapus pandangan, dan menutup mata hati. Tetapi, takwa kepada Allah, muraqabah (merasa diawasi oleh Allah), dan takut akan murka dan hukuman-Nya menjadi koneksi yang menghubungkan hati dengan dengan Allah, menyadarkannya dari kelalaian terhadap petunjuk-Nya..Ia mengingatkan orang-orang yang bertakwa. Dan ketika mereka teringat, maka pandangan batin mereka terbuka, dan selubung pun tersingkap dari mata mereka. “Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.”
Sesungguhnya bisikan setan itu membutakan, dan mengingat Allah itu membuka penglihatan. Sesungguhnya bisikan setan mengakibatkan kegelapan, dan ijttijah kepada Allah mengakibatkan cahaya. Sesungguhnya bisikan setan itu dapat dikalahkan dengan takwa, karena setan tidak punya kuasa atas orang-orang yang bertakwa..
Itulah hal ihwal orang-orang yang bertakwa. “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (201)

Pribadi Pemaaf (1)

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (199) وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (200) إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ (201) وَإِخْوَانُهُمْ يَمُدُّونَهُمْ فِي الْغَيِّ ثُمَّ لَا يُقْصِرُونَ (202)
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu setan-setan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan).” (QS Al-A’raf [7]: 199-202)
Arahan-arahan ini hadir di akhir surat, dari Allah Subhanah kepada wali-wali-Nya. Yaitu Rasulullah SAW dan orang-orang mukmin bersamanya, saat mereka berada di Makkah; tengah menghadapi jahiliyah di sekitar mereka di Jazirah Arab dan di seluruh muka bumi..
Arahan-arahan rabbani dalam mengahdapi jahiliyah yang keji, dan dalam menghadapi manusia yang sesat, mengajak pelaku dakwah –yaitu Nabi SAW—untuk berlapang dada dan bersikap mudah; untuk memerintahkan kebaikan yang jelas dan dikenal fitrah manusia karena sederhananya, tidak memperumit dan tidak mempersulit; serta berpaling dari jahiliyah, tidak merespon mereka, tidak mendekat mereka, dan tidak melayani mereka. Jika mereka melampaui batas, mengusik kemarahannya dengan sikap keras kepala dan menghalangi manusia dari kebenaran, dan ketika setan menghembuskan amarah, maka hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah agar ia menjadi tenang dan sabar.
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS Al-A’raf [7]: 199-201)
Kemudian Al-Qur’an memberitahu beliau tentang watak orang-orang jahil tersebut, waswas yang ada di balik mereka dan yang mendorong mereka untuk berlaku sesat. Al-Qur’an juga menyebut satu sisi dari perilaku mereka terhadap Rasulullah SAW dan tuntutan mereka terhadap berbagai mukjizat.
Tujuan Al-Qur’an adalah untuk mengarahkan beliau mengenai apa yang dikatakan kepada mereka, untuk mengenalkan kepada mereka akan watak risalah dan hakikat Rasulullah SAW, dan untuk mengoreksi persepsi mereka tentang risalah, Rasulullah SAW, dan hubungan beliau dengan Rabb-nya yang Maha Mulia. “Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu setan-setan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan). Dalam konteks isyarat mengenai Al-Qur’an yang diwahyukan Allah kepada Rasulullah SAW, hadir arahan kepada orang-orang mukmin mengenai etika untuk menyimak Al-Qur’an ini dan etika dzikrullah, dengan disertai peringatan untuk mengontinukan dzikir tersebut serta tidak melalaikannya. Karena para malaikat yang tidak pernah salah saja selalu berdzikir, bertasbih dan bersujud, apalagi manusia yang banyak salah itu seharusnya tidak perlah melupakan dzikir, tasbih dan sujud.
“Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nya lah mereka bersujud.” (203-206)
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (199-201)
Ambillah sikap memaafkan yang memudahkan terhadap akhlak manusia dalam bergaul dan berteman, janganlah engkau menuntut kesempurnaan dari mereka, janganlah bebani mereka dengan akhlak yang berat, dan maafkanlah segala kesalahan, kelemahan dan kekurangan mereka.
Semua itu berlaku dalam hubungan personal, bukan dalam akidah dan kewajiban syar’i. Karena di dalam akidah Islam dan syari’at Allah tidak ada toleransi. Dengan demikian kehidupan akan berjalan dengan mudah dan ringan. Karena melupakan kelemahan manusiawi, bersikap santun dan toleran terhadapnya merupakan kewajiban orang-orang yang besar dan kuat terhadap orang-orang yang kecil dan lemah.

WAKAF UANG 3

Menurut Al-Quran
Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:

“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267)

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92)

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah (2): 261)

Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.

Menurut Hadis

Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya.

Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah; “Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya? Sabda Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.”

Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya.”

Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim sejak masa awal Islam hingga sekarang.

Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004.
Comments Wakaf dihukumi sah apabila orang yang berwakaf (wakif) memenuhi keriteria berikut:
a. dewasa;
b. berakal sehat;
c. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan
d. pemilik sah harta benda wakaf.

Jika ketika mengucapkan Ikrar Wakaf adik anda memenuhi keriteria di atas berarti dihukumi sah.

Ketika tanah tersebut sudah sah menjadi tanah wakaf, maka selamanya tidak boleh ditarik kembali, dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, dan diwariskan.

WAKAF UANG

Pendapat Ulama

Menurut pendapat Imam al-Zuhri (wafat tahun 124 H), mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada para penerima wakaf atau mauquf 'alaih (Abu Su'ud Muhammad, Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, 1997).

Sementara itu, ulama dari madzhab Hanafi, juga membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-'Urfi. Pendapat ulama dari madzhab Hanafi ini berdasarkan atsar dari Abdullah bin Mas'ud RA. "Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk." (Wahbah al-Zuhaili, al Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, 1985).

Pendapat sebagian ulama madzhab al-Syafi'i, "Abu Tsyar meriwayatkan dari Imam al-Syafi'i tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)." (Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, 1994).

Mudah dan Cepat

Banyak manfaat yang bisa diambil hikmah dari Wakaf Uang. Antara lain, wakaf uang bisa dilakukan siapa saja, tanpa harus menunggu kaya. Minimal Rp1 juta, seseorang sudah bisa menjadi wakif (orang yang berwakaf), dan mendapat Sertifikat Wakaf Uang.

Kemudian, jaringan wakaf uang sangat luas. Karena bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja untuk menyetorkannya. Bahkan, Badan Wakaf Indonesia (BWI) telah bekerja sama dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) untuk memudahkan penyetoran.

Saat ini, baru ada lima LKS yang ditunjuk pemerintah (Menteri Agama) yang bisa menerima Wakaf Uang: Bank Muamalat Indonesia (No. Rek. 3012345615), Bank Syariah Mandiri (No. Rek. 3012345615), BNI Syariah (No. Rek. 333000003), DKI Syariah (No. Rek. 7017003939), dan Bank Mega Syariah Indonesia (No. Rek. 100.00.10.00011.111).

Selain itu, dengan berwakaf uang, harta juga tidak akan berkurang. Sebab, dana yang diwakafkan, akan berkembang melalui investasi yang dijamin aman, dengan pengelolaan secara amanah, bertanggung jawab, profesional dan transparan.

Manfaatnya pun berlipat ganda. Hasil investasi dana itu akan bermanfaat untuk peningkatan prasarana ibadah dan sosial, kesejahteraan masyarakat, serta membangun peradaban umat manusia. Wakaf uang juga merupakan investasi akhirat, karena pahalanya akan terus mengalir walaupun si pewakaf sudah meninggal dunia. []

WAKAF UANG

Masyarakat muslim umumnya hanya memahami bahwa harta yang bisa diwakafkan adalah benda yang tidak bergerak seperti tanah. Padahal, potensi wakaf yang berupa harta bergerak, jauh lebih besar dan akan makin besar bila diberdayakan dengan baik. Contohnya adalah wakaf uang, atau dikenal dengan istilah Waqf al-Nuqud atau Cash Waqf. Wakaf uang, memang belum dikenal di zaman Rasulullah. Wakaf uang baru dipraktikkan sejak awal abad kedua hijriah. Imam Az-Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al-hadits memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Bahkan, di Eropa, yaitu Turki, praktik wakaf uang baru familiar di tengah masyarakat pada abad ke-15.

Dan pada abad ke-20, baru muncul berbagai gagasan untuk mengimplementasikan berbagai ide-ide besar Islam dalam bidang ekonomi, berbagai lembaga keuangan lahir seperti bank, asuransi, pasar modal, institusi zakat, institusi wakaf, lembaga tabungan haji, dan lain-lain.

Wakaf uang biasanya merujuk pada cash deposits di lembaga-lembaga keuangan seperti bank. Wakaf uang biasanya diinvestasikan pada profitable business activities. Keuntungan dari hasil investasi tersebut digunakan pada sesuatu yang bermanfaat secara sosial keagamaan.

Pada tahapan inilah lahir ide-ide ulama dan praktisi untuk menjadikan wakaf uang salah satu basis dalam membangun perekonomian umat. Dari berbagai seminar, yang dilakukan masyarakat, maka ide-ide wakaf uang ini semakin menggelinding. Negara-negara Islam di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara sendiri memulainya dengan berbagai cara.

Di Indonesia, sebelum lahirnya UU Nomor 41 Tahun 2004, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa tentang Wakaf Uang tahun 2002 silam. Wakaf Uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.

Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh). Dan wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar'i. Selain itu, nilai pokok dari Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan. (BERSAMBUNG)

Rabu, 17 November 2010

APA ARTI ISLAM

Syaikhul-Islâm Ibnu Taymiyah (rahimahullâh) telah memberikan penjelasan tentang makna Al-Islâm dari segi bahasa, beliau berkata:
“Al-Islâm itu ialah penyerahan diri (pasrah) kepada Allâh, dan — penyerahan — itu ialah tunduk kepada-Nya dan melakukan peribadatan (’ubûdiyyah) kepada-Nya. Seperti ini pendapat para ahli lughah”.
(Lihat Fathul-Majîd hal. 97)
Coba bandingkan penjelasan Syaikhul-Islâm Ibnu Taymiyah ini dengan ucapan sang tokoh : “Islâm bukan nama agama, akan tetapi sikap pasrah pada kebenaran”. Maka orang yang menggunakan ‘aqal akan merasa betapa kabur, tidak jelas dan dangkalnya pernyataan ini.
Dalam kamus Al-Munjîd disebutkan beberapa arti Al-Islâm di tinjau dari segi bahasa, di antaranya ialah :
“Tunduk (patuh) kepada perintah pemberi perintah serta — menjauhi — larangannya tanpa membantah”.
(Lihat Al-Munjîd hal. 347)
Jadi, Al-Islâm adalah sikap tunduk dan patuh atau merendah (khudhu’) serta tidak membantah dalam menerima dan melaksanakan perintah atau menjauhi larangan dari Pemberi Perintah, dalam hal ini ialah Allâh SWT. Karena bagi kaum Muslimîn, Dia-lah satu-satunya yang berhak bertindak sebagai pemberi perintah dan larangan bagi manusia.
Kemudian kamus Al-Munjîd menyebutkan pengertian yang lain lagi tentang arti Al-Islâm :
“Dîn (agama) yang terkenal (populer), dan adakalanya — Al-Islâm — digunakan untuk pengertian (makna) kaum Muslimîn, dan yang dimaksud — adalah — para pemeluk Islâm”.
(Lihat Al-Munjîd hal. 347)
Dari pengertian ini, kita dapat menyimpulkan bahwa Al-Islâm itu adalah nama agama yang terkenal dan sudah dikenal secara luas. Dan adakalanya kata “Al-Islâm” digunakan dengan pengertian “Al-Muslimîn” yang merupakan isim fâ’il (nama pelaku) dari kata “Aslama”. Jadi, penggunaan mashdar — yaitu kata Al-Islâm — sebagai isim fâ’il pun sudah dimaklumi, maka penggunaannya sebagai isim atau nama bagi agama yang dibawa oleh Rasûlullâh saw. pun tentu lebih lumrah lagi. Dan Rasûlullâh saw. pernah menyebutkan bahwa Al-Islâm merupakan nama agama yang Beliau bawa, sebagaimana sabdanya :
“Akan datang satu masa pada manusia, — di mana — tidak tersisa dari Al-Islâm kecuali — hanya — namanya…..”.
(H.R. Al-Baihaqî dari ‘Ali. Lihat Ushulul-Imân hal. 42)
Di dalam hadits ini Rasûlullâh saw. menjelaskan bahwa Al-Islâm yang Beliau bawa akan mengalami degradasi sehingga pada satu masa ia (Al-Islâm) tinggal namanya saja, yaitu nama tanpa wujud yang nyata. Dan dalam hadits ini Beliau saw. menyebut kata “ismuhu” yang artinya namanya, dan dhamir “hu” (nya) kembali kepada kata Al-Islâm. Artinya, Rasûlullâh saw. pun telah menyatakan bahwa Al-Islâm adalah sebuah nama. Jadi, — sekali lagi — pernyataan sang tokoh bahwa Al-Islâm bukan nama agama adalah ngawur.
Untuk mendapat pengertian Al-Islâm secara komprehensif kita perlu, bahkan harus melihat penjelasan Rasûlullâh saw., karena Beliau-lah yang paling tahu dan paling mengerti tentang hal ini, bukan sang tokoh. Dalam salah satu hadits yang shahîh, Rasûlullâh saw. bersabda :
“Al-Islâm itu ialah: Jika engkau bersaksi bahwasanya tiada sesembahan selain Allâh dan Muhammad itu utusan Allâh, kemudian engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhân dan berhaji ke Baitullâh jika engkau mampu membiyayai perjalanan ke sana”.
(H.R. Muslim dari Ibnu ‘Umar)
Berdasarkan hadits ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Al-Islâm, yaitu penyerahan atau sikap menyerah pada kebenaran kalau kita pinjam pernyataan sang tokoh, mencakup lima aspek :
1 Bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allâh dan bahwasanya Muhammad itu utusan Allâh.
2 Menegakkan shalat.
3 Menunaikan zakat.
4 Berpuasa di bulan Ramadhân.
5 Melakukan ‘ibadah haji bila telah mampu.
Ini merupakan pengertian Al-Islâm dalam bentuk tindakan atau ketaatan yang nyata, lahiriyah atau transparan yang bisa disaksikan oleh sesama orang Islâm. Sedangkan dalam hadits yang lain Rasûlullâh saw. bersabda — ketika Beliau ditanya: Apakah Al-Islâm itu ? — :
“Al-Islâm ialah: Jika engkau menyerahkan hatimu kepada Allâh, memalingkan wajahmu kepada Allâh, kemudian engkau melakukan shalat yang wajib dan menunaikan zakat yang difardhukan”.
(H.R. Ahmad)
Hadits ini menekankan pengertian bahwa Al-Islâm itu adalah penyerahan hati kepada Allâh. Yang dimaksud penyerahan hati di sini mencakup: Imân, yaitu percaya sepenuhnya (tashdîq) kepada Allâh, ikhlâsh, berserah diri (tawâkal) dan takut kepada-Nya, serta ridhâ (rela) terhadap taqdir atau keputusan-Nya. Inilah bentuk ‘amal qalbu atau ‘amal hati atau ‘ubudiyah qalbu menurut Al-Imâm Ibnul-Qayyim (rahimahullâh).
Kemudian yang dimaksud memalingkan wajah kepada Allâh, ialah menghadap ke qiblat dengan sepenuh hati dan melakukan shalat wajib serta menunaikan zakat yang wajib. Inilah ‘amal yang zhahir atau nampak dan sekaligus merupakan penjelasan makna Al-Islâm yang berdimensi vertikal.
Kemudian dalam hadits yang lain lagi Rasûlullâh saw. pernah ditanya oleh para shahabatnya :
“Ya Rasûlullâh, manakah Al-Islâm yang lebih utama?”.
Rasûlullâh saw. pun menjawab :
“(Al-Islâm yang lebih utama) ialah orang yang menjaga ucapan dan perbuatannya terhadap — sesama — kaum Muslimîn”.
(H.R. Al-Bukhârî)
Hadits ini menjelaskan sikap Al-Islâm atau pribadi Islâmî yang paling utama atau paling terpuji dan berdimensi horisontal, yaitu kemampuan mengkontrol diri (self control) dalam berinteraksi. Menurut hadits ini seorang Islâm atau muslim yang lebih utama atau yang paling terpuji ialah yang selalu mengkontrol atau menjaga ucapan dan tindakannya terhadap sesama muslim lainnya, yaitu menjaga lisan dari ucapan-ucapan yang dapat menimbulkan keresahan, keributan, hasutan dan sebagainya, terutama sekali di kalangan kaum Muslimîn pada khususnya dan di tengah umat manusia pada umumnya. Begitu-juga dalam sebuah hadits yang lain, Rasûlullâh saw. pernah ditanya oleh seorang shahabatnya :
“Manakah Al-Islâm yang paling baik?”.
Rasûlullâh saw. pun menjawab :
“Jika engkau memberikan makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan orang belum engkau kenal”.
(H.R. Al-Bukhârî)
Hadits ini menegaskan sikap Al-Islâm atau pribadi Islâmî yang paling baik, yaitu berkaitan dengan akhlaq sosial dan juga berdimensi horisontal, ialah memberi makan kepada faqir-miskin atau orang yang membutuhkan makanan tentunya. Dan mengucapkan salam kepada orang yang telah dikenal dan belum dikenal. Ini adalah sikap egaliter, rendah hati dan tidak sombong terhadap sesama manusia.
Dalam sebuah hadits yang lain, Rasûlullâh saw. memadukan kedua sikap Al-Islâm yang berdimensi vertikal dan horisontal dengan indah sekali, Beliau bersabda :
“Al-Islâm ialah: Jika engkau menyerahkan hatimu kepada Allâh, sedangkan orang-orang Islâm (Muslimîn) yang lain merasa aman dari ucapan dan tindakanmu”.
(H.R. Ahmad dan Muhammad bin Nashri Al-Marwazî)
Jadi, bila kita menjumpai seorang atau sekelompok manusia yang mengaku muslim atau beragama Islâm, namun ucapan dan tindakannya selalu menimbulkan keresahan di kalangan kaum Muslimîn lainnya, maka kredibilitas ke-Islâman orang atau kelompok ini perlu dipertanyakan, atau bisa jadi ia belum memahami Al-Islâm sebagaimana mestinya alias masih awam, sehingga kita harus bisa memaklumi jika ucapannya ngawur atau tindakannya sering menimbulkan keresahan di kalangan kaum Muslimîn.

SEKAPUR SIRIH

Da’wah Islâm yang dikumandangkan oleh Rasûlullâh saw. merupakan satu peristiwa yang paling menakjubkan dalam sejarah manusia. Dalam tempo hanya satu abad saja, dari gurun yang tandus dan suku bangsa yang terbelakang, Islâm telah tersebar hampir menggenangi separuh dunia dan menciptakan revolusi berpikir dalam jiwa bangsa-bangsa. Dan sekaligus membina satu dunia baru, yaitu Dunia Islâm.
Betapa besar kontribusi yang diberikan Islâm kepada kemanusiaan, khususnya bangsa ‘Arab, yang pada waktu itu merupakan bangsa yang terbelakang, tak terkenal, tak punya tempat dan kedudukan dalam sejarah, namun dalam waktu yang singkat mereka muncul memimpin bangsa-bangsa di dunia. Ini semua berkat Islâm dan Al-Qur-ân serta bimbingan Nabi besar Muhammad saw. Benarlah apa yang diucapkan oleh ‘Umar bin Al-Khaththâb r.a. :

“Kita—bangsa ‘Arab – adalah bangsa yang paling hina, maka Allâh memuliakan kita dengan Islâm. Karena itu, apabila kita mencari kemuliaan selain – Islâm –, pastilah Allâh akan menjadikan kita kembali hina”.
Dengan Islâm dan Al-Qur-ân, serta pembinaan yang dilakukan terus menerus oleh Nabi Muhammad saw. bangsa yang terbelakang ini menjadi sebuah kekuatan yang maha dahsyat, bagaikan topan badai yang berhembus dari padang pasir, menerjang dinding jazirah ‘Arabia, menggempur pasukan Romawi yang terkenal kuat dan berdisiplin serta pasukan baju besi Persia yang terkenal, dan membuatnya hancur berantakan.
Islâm telah membuat mereka menjadi manusia-manusia yang adil, berani, berakhlaq tinggi, berwatak mulia serta cinta terhadap ilmu pengetahuan, sehingga tak sampai dua abad dari detik kelahirannya, benderanya telah berkibar antara pegunungan Pyrenia dan Himalaya, antara padang pasir di tengah Asia sampai ke padang pasir di dua benua Afrika.
Namun, pada pertengahan abad 18 Masehi, Dunia Islâm jatuh ke jurang keruntuhan yang terdalam. Pengajaran terhenti, di mana-mana terjadi pembekuan dan umat Islâm pun tenggelam dalam kebodohan, dan hal itu masih terus berlangsung hingga kini. Umat Islâm saat ini telah begitu awam terhadap hakikat Islâm dan kandungan Al-Qur-ân. Sebagaimana sabda Rasûlullâh saw. :

“Telah dekat suatu masa bagi manusia, dimana tidak tertinggal dari Islâm melainkan — sekedar — namanya saja, dan Al-Qur-ân pun hanya tinggal sekedar tulisannya. Masjid-masjid mereka penuh sesak, namun kosong dari hidayah. Sedangkan kaum ‘ulama mereka –saat itu — merupakan seburuk-buruknya manusia di kolong langit, karena dari merekalah timbulnya berbagai macam fitnah dan — fitnah itu — akan kembali kepada diri mereka sendiri”.
(H.R. Baihaqî)
Beginilah kondisi umat Islâm saat ini; mereka tidak mengenal Islâm kecuali sekedar nama tanpa hakikat, tidak mengenal Al-Qur-ân kecuali sekedar tulisan tanpa pemahaman. Bahkan, lebih banyak lagi di antara mereka yang tidak mampu membaca tulisan Al-Qur-ân, apalagi memahaminya sebagai hidayah Allâh bagi umat manusia.
Pendek kata, kehidupan Islâm telah lenyap, meninggalkan ritus tak berjiwa dan kemunduran merata. Benarlah yang dikatakan oleh seorang cendikiawan muslim, bahwa Dunia Islâm saat ini sedang mengalami kevakuman besar. Ia sedang melalui masa paling kritis yang belum pernah ada dalam sejarahnya. Ajaran Islâm yang bersumber dari Al-Qur-ân dan As-Sunnah saat ini telah menjadi asing bagi kaum Muslimîn sendiri, sebagaimana sabda Rasûlullâh saw. :

“Islâm itu dimulai dengan asing, maka ia akan kembali asing seperti semula”.
Ketauhîdan yang diajarkan Rasûlullâh saw. telah diselubungi oleh khurafat dan paham kesufian sehingga membuat sebagian dari kaum Muslimîn bahkan menghias diri mereka dengan azimat, penangkal penyakit dan tasbih serta berziarah ke kuburan-kuburan orang keramat untuk memohon keselamatan, berkah, rezeki, jodoh dsb., yang semua itu merupakan perbuatan syirik yang dilarang keras oleh Islâm.
Sedangkan sebagian yang lain meniru-niru dan menjadi pengikut setia Barat dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Maka, dibutuhkan kemauan yang keras dan waktu yang panjang untuk memperbaiki kondisi kaum Muslimîn yang sudah sangat parah ini. Dan sejarah mengajarkan kepada kita, bahwa dimana benar-benar ada kemauan untuk perbaikan, maka perbaikan itu akan datang juga.
Sebagai langkah awal dari perbaikan itu ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk kembali memahami ajaran Islâm dari sumbernya yang bersih, yaitu: Al-Qur-ân dan As-Sunnah dengan mengikuti metode yang dilaksanakan oleh generasi Salaf, generasi awal umat ini, yaitu para sahabat Rasûlullâh saw., para tâbi’în (generasi setelah para sahabat) dan tâbi’ut-tâbi’în (generasi selanjutnya), yang merupakan generasi terbaik umat ini, sebagaimana firman Allâh SWT. :

“Dan orang-orang yang terdahulu, lagi yang pertama-tama ( masuk Islâm) daripada orang-orang Muhâjirîn dan Anshâr, dan orang-orang — berikutnya — yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya, dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan itulah kemenangan yang besar”.
(Surah At-Taubah (9) : 100)
Ayat ini secara tegas menyatakan, bahwa Allâh SWT. telah ridha kepada generasi awal Islâm, yang terdiri dari kalangan Muhâjirîn dan Anshâr, dan orang-orang yang datang kemudian, yang mengikuti jejak mereka dengan sebaik-baiknya. Dan sabda Rasûlullâh saw. :

“Sebaik-baik umat-ku ialah kurun orang-orang yang semasa dengan-ku, kemudian — generasi — orang-orang berikutnya, kemudian — generasi — orang-orang berikutnya”.
(H.R. Muslim)
Hadits ini pun menunjukkan bahwa umat Islâm yang paling baik pemahaman, iman dan ‘amalnya ialah mereka yang hidup semasa dengan Rasûlullâh saw., yaitu para sahabat Beliau. Kemudian generasi berikutnya, yaitu para tâbi’în, kemudian generasi berikutnya yaitu tâbi’ut-tâbi’în.
Fenomena Dunia Islâm dan kaum Muslimîn saat ini membuktikan kebenaran isi hadits di atas. Kaum Muslimîn dewasa ini telah begitu jauh meninggalkan ajaran Islâm. Mereka lebih tertarik untuk mengkonsumsi ajaran-ajaran filsafat Barat yang sekular atau mengakses ajaran agama dari para tokoh ahli bid’ah yang tidak bertanggung jawab. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak mempedulikan ajaran agama sama sekali. Akibatnya, mereka terombang- ambing dalam kesesatan dan ketidak pastian
Al-Ustadz As-Syaikh Abul-Hasan An-Nadwy (rahimahullâh) mengatakan, bahwa Al-Qur’-ân dan As-Sunnah adalah dua kekuatan luar biasa besarnya yang sanggup mengobarkan api semangat dan keimanan di dalam Dunia Islâm. Oleh karena itu sangat penting bagi kaum Muslimîn untuk mengakses informasi Islâm dari sumbernya, yaitu Al-Qur’-ân dan As-Sunnah.

Minggu, 10 Oktober 2010

Terkait dengan menara Abraj Al Bait atau "Mecca Royal Clock Hotel Tower" yang diresmikan beberapa waktu lalu juga bermaksud menjadikan waktu Mekah Makkah Meam Time (MMT) seperti halnya Greenwich Mean Time (GMT). Demikian menurut Muhammad Al-Arkubi, General Manager Hotel tersebut dalam jumpa pers di Dubai.
Proyek Abraj Al Bait ini harus diakui merupakan kelanjutan dari konferensi internasional dua tahun sebelumnya, tepatnya 19 April 2008 di Doha, Qatar yang bertema “Mecca the Center of the Earth, Theory and Practice”. Sheikh Yusuf Qardawi, salah satu ulama terkenal dan bertindak selaku pembicara dalam konferensi tersebut menegaskan bahwa ilmu sains modern sekurangnya telah memiliki bukti bahwa Mekkah merupakan pusat bumi yang sebenarnya. Salah satu butir hasil konferensi tersebut adalah keputusan untuk merekomendasikan bahwa kota Mekkah harus dijadikan patokan waktu bagi umat Islam sebagaimana saat ini kota Greenwich menjadi patokan waktu GMT.
Buku Ka'bah Universal Time (KUT) dapat melengkapi literatur khasanah yang dapat digunakan untuk mendukung Makkah Mean Time (MMT). Tidak hanya itu, buku yang terdiri atas empat bab ini juga membahas lebih luas tentang masalah-masalah yang terkait dengan sistem tata waktu dalam Islam. Pada Bab I membahas tentang awal munculnya gagasan KUT. Pada Bab II dijelaskan mengenai konsepsi KUT, paradigma keterkecohan dan kembali kepada Kitabullah. Bab III membahas awal hari bagi umat Islam meliputi sistem almanak Masehi dan sistem almanak Hijriyah, mu’jizat Falaqiyah dan Imsyakiyah di balik peristiwa Hijrah, lalu pada Bab IV dijelaskan soal penampakan hilal terbaik dan penetapan awal hari atau awal bulan dalam sistem Hijriyah.
Buku KUT ini jelas perlu dimiliki dan dibaca oleh para pemerhati, pengamat, dan seluruh stakeholders yang terlibat dengan masalah penetapan waktu-waktu penting dalam Islam misalnya awal Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, tahun baru Islam, dan sebagainya yang selama ini sering menjadi sumber perbedaan di kalangan umat Islam.*** (Safril & Muntasir Alwy) (Bersambung 3)