Jumat, 31 Desember 2010

Penyebab Kesesatan Akidah 2

1.d. Kultus Individu atau Berlebihan dalam Menghormati Tokoh
Dalam setiap ummat biasanya muncul tokoh yang dihormati karena ketaqwaannya, keilmuannya, atau pengorbanannya, … Kadang penghormatan ini berubah menjadi kultus bagi sebagian masyarakat awam yang lemah pola pikirnya atau mereka yang jahil sampai pada tingkat menjadikan tokoh mereka sebagai tuhan atau seperti tuhan. Mungkin juga kesesatan ini didukung oleh “para cendekiawan” yang memanfaatkan kesesatan masyarakat demi kepentingan mereka. Diantara ummat yang kemudian menyekutukan Allah dengan mempertuhankan tokoh mereka adalah ummat Nasrani yang menuhankan Nabi Isa putra Maryam alaihimassalam, atau ummat Nabi Nuh yang mempertuhankan orang-orang shalih terdahulu yang mereka buat patung-patunya, yakni: Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr”. (Nuh (71): 23).
1.e. Filsafat Pemikiran yang Keliru
Akal manusia semata betapapun hebatnya tidak akan mampu mengetahui hakikat zat atau bentuk sesuatu yang ghaib tanpa informasi yang shahih dari wahyu yang pasti kebenarannya. Hal ini karena akal manusia tidak akan dapat menganalisa, merangkai, atau mengkhayalkan sesuatu kecuali bila bahan-bahannya sudah ada dalam memori otaknya. Sedangkan bahan-bahan itu tidak akan ada dalam memori kecuali melalui interaksi panca indra kita dengan alam nyata. Padahal alam ghaib tidak pernah ‘diakses’ oleh panca indra sama sekali. Sebagai contoh: kita tidak mungkin meminta orang yang buta sejak lahir untuk mengkhayalkan warna biru, dan kalau ia memaksakan diri mengkhayalkannya pastilah khayalannya itu keliru, karena ia sama sekali tidak pernah melihat warna apapun sehingga tidak ada bahan dasar untuk mengkhayalkannya. Orang yang tuli sejak lahir tidak akan mampu menganalisa atau mengkhayalkan suara musik tertentu karena ia tidak pernah mendengar apapun sehingga tidak ada bahan-bahan untuk menganalisa atau mengkhayalkannya… Begitulah kita melihat kesesatan aqidah muncul akibat akal yang dijadikan hakim penentu keimanan kepada yang ghaib tanpa mau melihat dan mengikuti petunjuk wahyu yang dibawa oleh para Rasul as. Demikian pula tidak benar menurut akal sehat apabila yang ghaib dianalogikan sepenuhnya dengan alam nyata karena adanya banyak kemungkinan perbedaan yang amat besar antara keduanya dalam hukum-hukumnya, sehingga ia tidak dapat diketahui oleh panca indra. Semua analisa terhadap yang ghaib dengan menggunakan hukum-hukum alam dunia ini menurut akal sehat adalah analisa dan analogi yang keliru. Mereka yang menganalogikan Allah swt dengan makhluk-Nya dalam Zat dan Sifat-Nya tanpa peduli dengan arahan wahyu, pasti ia akan terjatuh pada kesesatan tasybih (menyamakan Allah dengan makhluk) lalu mengatakan atau membayangkan Dia sebagai jasad yang memiliki batas-batas dan bentuk tertentu seperti makhluk– Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan. Atau mereka membayangkan bahwa Allah swt adalah ruh yang perlu menyatu dengan jasad makhluk tertentu dalam bentuk manusia, hewan, tumbuhan atau benda mati. Seperti kesesatan Nasrani yang mengatakan Tuhan bersatu dengan Isa alaihissalam, atau beberapa firqah (kelompok) yang mengaku muslimin tetapi sesungguhnya telah murtad karena meyakini aqidah wahdatul wujud (Allah menyatu dengan imam mereka yang mereka kultuskan) Atau seperti mereka yang mengatakan Allah seperti makhluk yang juga mempunyai istri, anak atau kebutuhan lain…. – Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan. Seandainya mereka yang tersesat itu mau mendengar arahan wahyu melalui lisan Rasul-Nya pasti mereka akan mengatakan seperti ucapan seorang mukmin yang mengakui keterbatasan akalnya: كُلُّ مَا خَطَرَ بِبَالِكَ فَاللهُ بِخِلاَفِ ذَلِكَ. \
Apapun yang terlintas dalam benakmu, pasti Allah tidak seperti itu. Karena mengkultuskan akal dalam memikirkan yang ghaib, para filosuf terjatuh pada kesesatan menganggap hari akhirat hanya merupakan alam ruh saja. Dengan sebab itu pula penganut ideologi materialisme dan Dahriyyun mengingkari hari akhir. Seandainya mereka mau berpikir dan mengakui keterbatasan akal mereka, pastilah mereka akan mengatakan: “Sesungguhnya akal kami terbatas dengan batasan yang dimiliki panca indra, karenanya dengan akal semata kami tidak akan mampu mengkhayalkan bentuk yang ghaib dengan benar. Maka kami menerima semua informasi yang ghaib dari para Nabi dan Rasul yang pasti benar karena mereka didukung oleh mukjizat dan bukti ilmiah nyata tentang kebenaran pengakuan kenabian atau kerasulan mereka.”
Benarlah apa yang dikatakan Imam Syafi’i rahimahullah:
إِنَّ لِلْعَقْلِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ كَمَا أَنَّ لِلْبَصَرِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ.
Sesungguhnya akal itu memiliki batas akhir seperti penglihatan yang juga memiliki batas akhir.
2. Penyimpangan Jiwa dari Mental-Perilaku yang Lurus.
Ada beberapa kelompok masyarakat tersesat bukan karena ketidaktahuan mereka tentang kebenaran atau bukan karena mereka memiliki pola pikir yang menyimpang, tapi kesesatan mereka disebabkan karena mereka lari dari kebenaran yang sudah mereka ketahui demi memenuhi keinginan hawa nafsu. Ketika seseorang sudah lari dari kebenaran, maka ia akan berusaha menganut paham kebatilan untuk menggantikan kebenaran yang ia hindari dan terus menerus berupaya keras membuat dirinya dan orang lain menerima kebatilan itu hingga akhirnya dianggap sebagai kebaikan. Ia melakukan hal ini, karena bagaimanapun pemikiran dan aqidah yang lurus itu akan menghalangi dirinya untuk mengikuti hawa nafsu, maka ia berusaha menggantinya dengan pemikiran dan aqidah yang sesat agar tidak terjadi kontradiksi atau perang batin antara hawa nafsu dengan prinsip hidupnya. Maka hawa nafsu yang dibantu oleh syaithan menghiasi perbuatan buruk agar terlihat baik, dengan mencari-cari alasan pembenaran meskipun amat jauh sampai keburukan itu betul-betul diterima sepenuhnya oleh jiwa dan tanpa memikirkan argumentasi lagi. Manusia yang sampai pada kondisi jiwa seperti ini benar-benar terjatuh kepada mentalitas dan perilaku terendah – semoga Allah melindungi kita darinya. (bersambung 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar