Minggu, 29 Agustus 2010

Dinar Selamatkan Bangsa

Krisis ekonomi yang melanda berbagai Negara di dunia telah membuka mata sebagian intelektual muslim untuk mengkaji penerapan system keuangan Islam.
Salah satu pemikiran yang mengemuka adalah penggunaan kembali koin dinar dan dirham. Kedua nya dikenal sebagai mata uang yang dipakai umat Islam sejak era Rasulullah SAW hingga berakhirnya Kekhalifahan Osmani di Turki (1924).
Dinar adalah koin emas 22 karat seberat 4,25 gram sementara dirham, koin perak murni seberat 2.9 gram. Ide penggunaan dinar dan dirham itu tak hanya sebagai solusi keluar dari krisis, namun sekaligus upaya menegakkan kembali sunnah yang runtuh.
Buku Perampok Bangsa-bangsa, Kenapa Emas harus Jadi Mata Uang Internasional karya Ahamed Meedin Kameel Meera ini mengurai implementasi penerapan dinar dan dirham dalam konteks kekinian.Sebelum diterbitkan Mizan untuk Publik Indonesia, buku kaya Profesor bidang keuangan Islam yang mengajar di fakultas Ekonomi dan Manajemen International Islamic University Malaysia (IIUM) itu lebih dulu beredar di Malaysia dengan judul The Theft of Nations: Returning to Gold (2004).
Meera membagi bukunya dalam dua bagian. Bagian pertama berisi gambaran system keuangan modern yang kini jamak diterapkan berbagai Negara di dunia. Menurut Meera, bangunan system keuangan modern itu berdiri di atas fondasi RIBA. Pilarnya ada tiga: penggunaan uang kertas (Fiat money) yang dibuat perbankan, pungutan bunga (interest) dan kewajiban cadangan minimum bank sentral (fractional Reserve requirement). Melalui tiga pilat ini, Meera mengurai berbagai potret kehancuran ekonomi yang terjadi di berbagai Negara yang menerapkannya. Meera mengecam penggunaan uang kertas karena sejumlah dapak buruk yang ditimbulkannya. Meera mengetengahkan fakta-fakta berapa uang kertas adalah biang kerok berbagai malapetaka ekono diberbagai Negara. Dan selama Negara-negara di dunia masih menggunakan uang kertas, maka sepanjang itu pula krisis akan terus membayangi kehidupan mereka. Krisis itu berupa inflasi, devaluasi, hingga fluktuasi kurs. Terburuk adalah penggunaan uang kertas menciptakan ketidakadilan dalam perdagangan dunia. Negara yang memiliki mata uang kuat berpotensi merusak ekonomi Negara-negara yang nilai mata uangnya lebih lemah hingga pada puncaknya merampok kekayaan alam Negara-negara tersebut.
Melengkapi pembahasannya, Meera menunjukkan sosok kolonialisasi di era modern. Bila dulu kolonialisasi berupa kekuatan militer, kini menjelma melalui tipu muslihat riba. Medan tempurnya adalah penggunaan mata uang kertas tanpa nilai dan jebakan utang berbunga. Uang kertas plus jebakan bunga itu berhasil mengalihkan kekayaan Negara pengutang ke kelompok perbankan secara sistematis. Ini ironi sekaligus tragedy. Sebab apa yang disebut utang plus bunga itu sesungguhnya Cuma onggokan kertas cetakan atau sinyal elektrik di layar computer semata. Namun, Utang dan bunga itu harus dibayar dengan terkurasnya kekayaan alam Negara pengutang. Dalam skema uang kertas, kedaulatan sebuah Negara yang terjebak dalam utang berbunga menjadi pertaruhan.
Pada bagian kedua, Meera memaparkan jalan keluar dari system ekonomi berbasis riba itu. Meera menyerukan masyarakat di seluruh dunia harus kembali menggunakan mata uang emas dan pada saat bersamaan meninggalkan penggunaan mata uang kertas. Mata uang emas yang dimaksud tentu saja dinar. Meera menjelaskan berbagai kelebihan dinar dibandingkan uang kertas. Dinar misalnya bebas inflasi dan nilainya stabil dari masa ke masa. Sementara uang kertas, renten inflasi dan rawan gejolak.
Dibagian ini pula, penulis menjawab keberatan sejumlah kalangan yang menolak system emas dijadikan mata uang. Dalih penolakan umumnya berkutat pada isu bahwa emas adalah mata uang masa silam, tidak cocok untuk era modern, hingga soal alasan emas tidak praktis/kaku serta soal jumlah cadangan emas yang dinilai tidak mencukupi bila digunakan sebagai mata uang dalam perdagangan internasional. Semua keberatan itu dijawab Meera dengan argumentasi dan data bahwa jumlah emas akan tetap mencukupi dan pemanfaatan teknologi akan memudahkan berbagai transaksi hingga berskala internasional. Di tingkat praktis, implementasi dinar dalamkehidupan sehari-hari dilengkapi olehZaim Saidi, Direktur Wakala Induk Nusantara (WIN) yang menulis kata pengantar pada buku ini. Di Indonesia perbincangan tentang dinar dan dirham bukan hal baru. Di bawah komando WIN, ribuan keeping koin dinar-dirham sudah beredar luas melalui jaringan 70-an wakala, agen penukaran dinar dan dirham yang berdiri di berbagai daerah. Kedua koin itu digunakan sebagai alat tukar sekarela dalam perdangan. Ratusan pedagang yang tergabung dalam Jaringan Wirausahawan Pengguna Dinar dan Dirham (Jawara) rutin menggelar pasar terbuka di Jakarta dan Depok. Di pasar itu mereka menerima dinar dan dirham sebagai alat tukar.
Selain itu dinar dan dirham juga sudah digunakan untuk membayar zakat, infak dan sedekah (ZIS). Awal tahun 2010, Zaim mencanangkan program gerakan nasional infak dan sedekah sedirham untuk ketahan bangsa (Garnisun Bangsa) Sejumlah lembaga ZIS telah menyalurkan dinar-dinar kepada para duafa yang membutuhkannya. Termasuk bagi rakyat Palestina. Lainnya, dinar dan dirham digunakan sebagai mas kawin dan tabungan. Musisi Ivan slank mengaku menabung dalam dinar emas untuk ongkos naik haji.
Dukungan terhadap penerapan dinar dan dirham juga terus mengalir. Gubernur Nangroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf menyatakan pihaknya berencana mencetak dinar dan dirham. Hal tersebut disampaikan Irwandi saat bertemu Prof Umar Ibrahim Vadillo, pendiri Word Islamic Mint (WIM) dan delegasi Kerajaan Kesultanan Kelantan Malaysia diBanda Aceh, akhir Juli lalu. Selain itu disepakati pula, Aceh dan Kelantan siap menjalin kerja sama penggunaan alat tukar berbasis emas antar kawasan. (seputar Indonesia , ahad 29 agustus 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar