Doktrin Khatam an-Nabiyyin ini mengantarkan pada satu titik simpul, bahwa tidak ada Nabi setelah Muhammad (saw) wafat. Jikapun ada seorang tokoh agama yang berpengaruh setelahnya, tokoh itu tak pernah bisa disebut sebagai Nabi. Dalam teologi Syiah, tokoh tersebut dikenal sebagai Imam, sehingga Syiah mengenal teologi tentang imam dua belas (itsna asyariyah). Kelompok Sunni menyebutnya dengan beragam istilah: mujaddid, wali, ulama, kyai, ajengan dan lain sebagainya. Intinya, para pembaharu yang oleh Nabi Muhammad dijanjikan akan hadir pada setiap satu abad itu, tetap tidak bisa menyebut dirinya, atau disebut oleh pengikutnya, sebagai Nabi. Di pesantren Asshogiri Bogor, misalnya, Abdul Qadir Zaelani diagungkan dengan gelar yang sangat tinggi: Sulthan al-Awliya (Raja para wali) tetapi tetap tak disebut Nabi. Sebab, para pemuka agama tak lebih dari pewaris Nabi.
Meski telah berkali-kali Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) menjelaskan bahwa mereka mengucapkan kalimat syahadat yang sama, namun masyarakat muslim Indonesia tak percaya dengan penjelasan tersebut. Hal ini disebabkan dua hal. Hal Pertama: teologi Ahmadiyah memilah tiga istilah Nabi. Yaitu “naby mustaqil” (nabi independen), “naby ghayr mustaqil” (nabi tidak independen) dan naby al-dzil (nabi bayangan). Naby mustaqil adalah mereka yang kepadanya diturunkan kitab suci, seperti Nabi Musa, Isa, dan Muhammad (saw). Naby ghayr mustaqil adalah para Nabi yang kepada mereka tidak diberikan kitab suci dan bertugas melanjutkan risalah sebelumnya, seperti Nabi Harun yang melanjutkan tugas Musa. Sedangkan Nabi al-dzil adalah para pembaharu dan tokoh agama yang bertugas “memberi kabar baik dan buruk”.
Para pengikut Ahmadiyah Qadiyaniah memandang MGA sebagai naby ghayr mustaqill, sementara pengikut Ahmadiyah Lahore menganggapnya sebagai naby al-dzill. Kedua-duanya tetap menggunakan istilah Nabi. Istilah yang tidak dapat diterima oleh kalangan Islam karena doktrin khatam an-Nabiyyin yang sudah final tersebut. Hal inilah yang menyebabkan mereka dinyatakan non-muslim di Pakistan.
Hal Kedua: sebagai salah satu bukti penyebutan istilah Nabi yang terus dilakukan, stasiun TV Ahmadiyah (MTA channel), dengan tegas dan jelas, setiap kali nama MGA disebut, selalu dibarengi dengan doa, “Alaihi Salam”. Bagi kalangan Islam (Sunni), doa tersebut hanya diperuntukkan bagi para nabi sebelum Nabi Muhammad saw seperti Isa, Musa, Ismail, dan yang lainnya. Untuk para sahabat Nabi Muhammad saja, teologi Sunni hanya menyebutkan doa, “radiallahu anhu” (Semoga Allah meridhoinya). Artinya, bagi umat Islam, pelafalan kaum Ahmadiyah dengan do’a “allaihi salam” menunjukkan bahwa MGA lebih mulia dari sahabat Nabi, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab dan lain-lain. Alasan-alasan teologis seperti inilah yang mengusik ketenangan masyarakat Pakistan, empat puluh tahun lalu, dan mereka menyelesaikannya dengan menyatakan Ahmadiyah non-muslim, baik kelompok Ahmadiyah Qadiani atau Lahore. Ketegangan yang sama kini tengah merebak di Indonesia.
Kedua: Secara hukum. Sejak Surat Keputusan Bersama (SKB) dikeluarkan pada bulan Juni tahun 2008 menyusul kasus kerusuhan Monas, penyerangan Ahmadiyah di Pandeglang adalah yang terparah dan paling mengerikan di awal tahun 2011 ini. Menurut saya, muara dari persoalan ini adalah ketidaktegasan aturan dalam SKB itu. Jika di Pakistan, Ahmadiyah dengan tegas disebut non-muslim dalam konstitusi mereka, kita hanya mengaturnya dengan SKB yang menggunakan bahasa bersayap seperti “Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad S.a.w;” (Poin 2 SKB).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar